Akhirnya blogku kembali menerima kiriman cerpen. Niatnya menghargai para penulis, walau dengan harga sangat murah. Apalagi sekarang cerpen mulai ditinggalkan orang.
Ketika aku posting cerpen dan ikut blog walking, beberapa pembaca berkomentar, "Ah jadi rindu nulis cerpen!"
Ingat zaman-zaman nulis cerpen dulu.
Hebat, masih nulis cerpen!
Gak ada yang salah sih, mungkin memang kebutuhan pasar di dunia kepenulisan sedang tidak berpihak pada cerpen. Akan ada masanya, cerpen kembali dinanti-nanti. Mungkin seratus tahun lagi. Eh!
Jadi sebagai sumbangsih remehku di dunia sastra, maka kupersilakan siapa saja yang hendak membagi buah imajinasinya di "rumah maya"ku itu.
Kenapa? Karena aku muak dengan ending begini, yang sudah kutemukan sejak belasan tahun silam. Serius belasan tahun? Sangat serius!
Sejak awal mendirikan salah satu komunitas menulis di Jambi, dalam diskusi anggota, menerima naskah untuk buletin, menjadi juri lomba, dll, 70% cerpen yang masuk berakhir dengan tragedi kematian.
Lebih durhaka lagi, jika ditentukan tema ibu, maka 90% dari cerpen yang masuk akan mematikan ibunya di akhir cerita. Kalian jahat!
Beda kejadian jika tema cinta, kebanyakan penulis akan membuat penutup "bahagia selama-lamanya". Padahal sejak awal sudah bahagia. Yang cantik dan baik, akan berjodoh dengan yang ganteng dan mapan.
Aku yakin mereka bukan terinspirasi dongeng Walt Disney, melainkan sinetron yang kalau tokohnya bicara dalam hati, se-Indonesia bisa mendengarnya.
Jadi kusimpulkan, ada 2 hal yang membuat para penulis (mungkin pemula) yang cenderung membunuh ibunya di akhir cerita.
Pertama, penulis terlalu jauh memisahkan diri dari tokoh. Jika terlalu dekat, bahkan sulit melepaskan diri, maka jadilah ia seperti kisah cinta negeri dongeng ala FTV itu. Dia sedang menceritakan mimpinya, alih-alih imajinasi logis.
Jika penulis menyentuh sisi "penulis sebagai tokoh" (dan ini sebenarnya tidak baik), maka ia tak akan sanggup membayangkan ibunya wafat, apalagi menuliskannya.
Jika pribadinya sebagai penulis bisa muncul dalam tokoh, kemudian ibunya mati juga, pasti lebih seru. Bisa karena pengalaman pribadi, atau selipan niat terdalam sebagai efek psikologis akibat trauma dan semacamnya. Seru, tapi aku tak menginginkan itu.
Kedua, penulis kurang membaca. Jika ia banyak membaca, tentu ia tahu ada miliaran naskah dengan ending serupa. Lalu apa istimewanya karya kita kalau begitu juga?
Dan inilah kesalahan fatal para penulis. Terlalu egois. Mau menulis tapi tak mau membaca.
Si sulung pernah curhat, "Mi, Kakak ni suko nulis. Tapi Kakak malas baco."
"Jangan nulis!" kataku.
"Kenapo? Ummi be penulis." Dia protes.
"Mau nulis, harus mau baco. Kalo nulis bae dak baco, Kakak bikin sesat orang!"