Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kenapa Penulis Cerpen Suka "Membunuh" Ibunya?

14 April 2020   07:08 Diperbarui: 14 April 2020   07:58 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Debby Hudson on Unsplash

Akhirnya blogku kembali menerima kiriman cerpen. Niatnya menghargai para penulis, walau dengan harga sangat murah. Apalagi sekarang cerpen mulai ditinggalkan orang.

Ketika aku posting cerpen dan ikut blog walking, beberapa pembaca berkomentar, "Ah jadi rindu nulis cerpen!"

Ingat zaman-zaman nulis cerpen dulu.

Hebat, masih nulis cerpen!

Gak ada yang salah sih, mungkin memang kebutuhan pasar di dunia kepenulisan sedang tidak berpihak pada cerpen. Akan ada masanya, cerpen kembali dinanti-nanti. Mungkin seratus tahun lagi. Eh!

Jadi sebagai sumbangsih remehku di dunia sastra, maka kupersilakan siapa saja yang hendak membagi buah imajinasinya di "rumah maya"ku itu.

dokpri | tangkapan layar blog, siapa tau kompasianer ada yang minat
dokpri | tangkapan layar blog, siapa tau kompasianer ada yang minat
Maka datanglah sebuah cerpen, untuk awalan, sepertinya akan kunaikkan. Semacam penglaris. Hanya menunggu waktu luang untuk kuedit terlebih dulu. Kalau memungkinkan, akan kuminta penulisnya mengganti penutup cerita.

Kenapa? Karena aku muak dengan ending begini, yang sudah kutemukan sejak belasan tahun silam. Serius belasan tahun? Sangat serius!

Sejak awal mendirikan salah satu komunitas menulis di Jambi, dalam diskusi anggota, menerima naskah untuk buletin, menjadi juri lomba, dll, 70% cerpen yang masuk berakhir dengan tragedi kematian.

Lebih durhaka lagi, jika ditentukan tema ibu, maka 90% dari cerpen yang masuk akan mematikan ibunya di akhir cerita. Kalian jahat!

Beda kejadian jika tema cinta, kebanyakan penulis akan membuat penutup "bahagia selama-lamanya". Padahal sejak awal sudah bahagia. Yang cantik dan baik, akan berjodoh dengan yang ganteng dan mapan.

Aku yakin mereka bukan terinspirasi dongeng Walt Disney, melainkan sinetron yang kalau tokohnya bicara dalam hati, se-Indonesia bisa mendengarnya.

Jadi kusimpulkan, ada 2 hal yang membuat para penulis (mungkin pemula) yang cenderung membunuh ibunya di akhir cerita.

Pertama, penulis terlalu jauh memisahkan diri dari tokoh. Jika terlalu dekat, bahkan sulit melepaskan diri, maka jadilah ia seperti kisah cinta negeri dongeng ala FTV itu. Dia sedang menceritakan mimpinya, alih-alih imajinasi logis.

Jika penulis menyentuh sisi "penulis sebagai tokoh" (dan ini sebenarnya tidak baik), maka ia tak akan sanggup membayangkan ibunya wafat, apalagi menuliskannya.

Jika pribadinya sebagai penulis bisa muncul dalam tokoh, kemudian ibunya mati juga, pasti lebih seru. Bisa karena pengalaman pribadi, atau selipan niat terdalam sebagai efek psikologis akibat trauma dan semacamnya. Seru, tapi aku tak menginginkan itu.

Kedua, penulis kurang membaca. Jika ia banyak membaca, tentu ia tahu ada miliaran naskah dengan ending serupa. Lalu apa istimewanya karya kita kalau begitu juga?

Dan inilah kesalahan fatal para penulis. Terlalu egois. Mau menulis tapi tak mau membaca.

Si sulung pernah curhat, "Mi, Kakak ni suko nulis. Tapi Kakak malas baco."

"Jangan nulis!" kataku.

"Kenapo? Ummi be penulis." Dia protes.

"Mau nulis, harus mau baco. Kalo nulis bae dak baco, Kakak bikin sesat orang!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun