Tiga bungkus pecel lele sudah rapi dalam kresek. Aku duduk lagi di hadapannya. Perempuan itu nampak senang, tapi kerut kesedihan masih tersisa di wajahnya. Ia berusaha menyembunyikan ekspresi itu dengan memandang ke sana kemari, lalu menunduk.
Alangkah hebat perempuan ini, pikirku. Istriku di rumah hanya tahu menerima kiriman dariku, tak kenal namanya mencari nafkah. Beda jauh dengan perempuan yang ada di hadapanku ini. Ia tegar, kuat, dan ayu.
Bulu matanya lentik. Hidung tinggi, dengan bibir yang penuh. Siapa laki-laki yang menyia-nyiakan perempuan seindah ini?
Suara sepeda motor Maman terdengar mendekat. Aku teringat, di dompetku masih ada lima lembar seratus ribuan.
"Ini, untuk bantu-bantu pengobatan anakmu. Besok-besok, mainlah kemari. Saya akan senanng membantu!" kutempelkan kelima lembar isi dompetku itu ke telapak tangannya yang halus.
Tak lupa tiga bungkus pecel lele spesial dengan menu terlengkap kuberikan ke tangannya yang satu lagi. Ketika lengan itu tersentuh, ada getaran yang sampai jauh ke dalam tubuhku.
Perempuan itu berterima kasih dan melangkah ringan menuju sepeda motornya. Kupandangi ia hingga jauh, tinggal titik, kemudian tak terlihat.
"Mas, hapemu mana? Ini anak-anak nelepon ke nomorku!" Maman berteriak sembari melemparkan ponsel kecilnya ke atas meja.
Aku terkesiap.
"Mas, itu angkat teleponnya!" Maman berteriak lagi.
Buru-buru kuraih ponsel Maman, lalu menjawab, "Iya anak Ayah, apa kabar?" sembari mata dan pikiranku ke sana kemari mencari di mana ponsel pintarku.