Kemudian ada orang lain, yang bahkan mungkin belum pernah berpapasan malah menyalahkan nikah, itu lebih keliru lagi kan! Jadi siapa yang salah? Ya suaminya. Masa presiden!
Adik-adik satu tongkrongan kadang ada yang bertanya padaku, apa persiapan sebelum menikah? Biasanya lebih kurang kujawab begini:
Satu, ada pasangannya (siapa tahu yang nanya cuma jomlo halu). Kedua, orangtua kedua pihak setuju. Ketiga, kedua calon sama-sama baca buku psikologi laki-perempuan. Nikah itu lebih berat dari lambe Dilan, men!
Seorang adik yang belum lama nikah mengeluhkan istrinya padaku. Katanya tiba-tiba diam, gak jelas apa yang dimarahin. Hm, aku tahu dong. Kan aku cewek, ya begitu tabiatnya. Siapa bilang diam itu emas?
Jadi saranku simpel. Belikan makanan kesukaannya. Waktu dia makan, simpan HP-mu. Lalu tanya, ada masalah apa?
Kalau dia jawab, didengar. Jangan asyik dengan HP, karena kami tahu laki-laki tidak bisa memecah fokusnya. Lalu sentuh tangan atau kepala istrimu, selesai.
Ya kalau mau diteruskan sih, terserah.
Aku berani jawab begitu karena aku kenal istrinya. Sebelas dua belaslah denganku, dan seluruh cewek di dunia. Makan itu bagian dari skill.
Pasutri tersebut sudah kusarankan baca buku psikologi. Yang cewek lupa praktik, yang cowok ternyata gak patuh. Yang dia baca buku fikih. Aku jelas gak menyalahkan dia baca itu, haknya. Dan pastinya penting juga.
Tapi persoalan cara pandang laki-laki dan perempuan adalah ilmu jangka panjang yang dipakai seumur hidup. Laki-laki sebagai saudara, akan beda dengan laki-laki sebagai suami, kemudian nanti sebagai ayah. Itulah kenapa kubilang baca buku.
Berkaca dari pengalamanku sendiri, sudah 10 tahun lebih menikah, ilmu itu masih memaksa untuk dipraktikkan. Berat sekali, padahal ilmunya sudah punya. Apalagi yang belum.