Sebuah gambar lewat di lini masa Twitterku. Tadinya pengin komen, bahkan ngamukin seseorang yang ada di situ (walaupun jelas gak bakal nyampe), tapi begitu kulihat caption-nya. Lah kok kayak gak nyambung!
Isinya gambar tangkapan layar dari laman play store. Seseorang yang suaminya kecanduan game Mobile Legends mengeluhkan tingkah suaminya yang tak pernah lepas dari game tersebut.
"Saya istri yang terkena dampak negatif. Kerjaan suami saya main mobile legend. Gak kerja. Gak bantu ngurus anak dua yang masih 1 dan 3 tahun. Kalau bisa diberi batas waktu satu atau dua jam saja sehari. Sampai-sampai anak sempat nyungsep terluka pas saya teriakin lagi nyuci minta tolong ke suami, sampai saya minta cerai gara-gara game ini. Mohon bantuannya saya harus berbuat apa? Benar-benar makan hati. HP saya aja ada aplikasi ML-nya didownload suami. Sekalinya ada uang bukannya kasih nafkah, malah beli diamond kalau kata yang ngerti," begitu curhatnya. Ditambah rate bintang satu.
Kemudian lihat caption yang membagikan screen shot itu! "Yang ngebet nikah, pikir-pikir lagi." Netijen gemblung pake cutbray. Gak nyambung, Bray!Â
Begini ya, Mblo. Gak ada yang salah dengan nikah muda. Yang tidak boleh itu, nikah buru-buru. Kalau psikis sudah siap, sebenarnya nikah muda justru bagus.
Asal, secara fisik, reproduksi juga mendukung, pasangan yang nikah muda jadi punya waktu lebih untuk belajar langsung praktik.
Kadang kita melihat ibu-anak yang seru-seruan seperti sahabat. Kecil kemungkinan perempuan yang nikah di atas 30 bisa begitu nantinya. Ya kalau setelah nikah langsung punya anak, kalau harus berobat dulu?
Sama sekali bukan mengecilkan yang nikah belakangan. Tidak ada istilah telat, asal memang sudah diupayakan. Lain hal dengan mereka yang sengaja gak mau nikah karena alasan karir dsb.
Nikah lewat 30 juga baik, secara psikologis rasanya sudah mantap banget. Tapi si istri kudu "kejar tayang" untuk segera punya momongan. Semua punya kelebihan dan kekurangan.
Tapi ketika suami candu game, kemudian istrinya menyalahkan game. Pasti banyak yang gak setuju. Apalagi pengembang gamenya. Ya iyalah!
Kemudian ada orang lain, yang bahkan mungkin belum pernah berpapasan malah menyalahkan nikah, itu lebih keliru lagi kan! Jadi siapa yang salah? Ya suaminya. Masa presiden!
Adik-adik satu tongkrongan kadang ada yang bertanya padaku, apa persiapan sebelum menikah? Biasanya lebih kurang kujawab begini:
Satu, ada pasangannya (siapa tahu yang nanya cuma jomlo halu). Kedua, orangtua kedua pihak setuju. Ketiga, kedua calon sama-sama baca buku psikologi laki-perempuan. Nikah itu lebih berat dari lambe Dilan, men!
Seorang adik yang belum lama nikah mengeluhkan istrinya padaku. Katanya tiba-tiba diam, gak jelas apa yang dimarahin. Hm, aku tahu dong. Kan aku cewek, ya begitu tabiatnya. Siapa bilang diam itu emas?
Jadi saranku simpel. Belikan makanan kesukaannya. Waktu dia makan, simpan HP-mu. Lalu tanya, ada masalah apa?
Kalau dia jawab, didengar. Jangan asyik dengan HP, karena kami tahu laki-laki tidak bisa memecah fokusnya. Lalu sentuh tangan atau kepala istrimu, selesai.
Ya kalau mau diteruskan sih, terserah.
Aku berani jawab begitu karena aku kenal istrinya. Sebelas dua belaslah denganku, dan seluruh cewek di dunia. Makan itu bagian dari skill.
Pasutri tersebut sudah kusarankan baca buku psikologi. Yang cewek lupa praktik, yang cowok ternyata gak patuh. Yang dia baca buku fikih. Aku jelas gak menyalahkan dia baca itu, haknya. Dan pastinya penting juga.
Tapi persoalan cara pandang laki-laki dan perempuan adalah ilmu jangka panjang yang dipakai seumur hidup. Laki-laki sebagai saudara, akan beda dengan laki-laki sebagai suami, kemudian nanti sebagai ayah. Itulah kenapa kubilang baca buku.
Berkaca dari pengalamanku sendiri, sudah 10 tahun lebih menikah, ilmu itu masih memaksa untuk dipraktikkan. Berat sekali, padahal ilmunya sudah punya. Apalagi yang belum.
Kembali ke persoalan game. Lalu bagaimana jika sudah telanjur begitu?
Aku meyakini kita semua punya fungsi sesuai dengan posisi. Baik di masyarakat, terlebih dalam keluarga. Jika fungsi kita nihil, apa gunanya keberadaan kita? Ada hak, ada kewajiban. Jika hak dituntut tapi kewajiban diabaikan, itu namanya zalim.
Ada baiknya para istri yang mendapati suaminya kecanduan game, seperti mbak-mbak yang curhat ke play store itu, mengajak suaminya berkonsultasi ke pihak yang dipercaya mampu menangani masalah mereka.
Aku percaya, gak semua laki-laki durjana. Dan enggak semua perempuan pengeluh. Masalahnya paling mungkin di komunikasi. Istri gak bilang kalau dia tidak suka, hanya cemberut dalam diam. Suami gak sensitif melihat perubahan istrinya. Ya gitu-gitu aja sampai mereka akhirnya baku hantam.
Nikah itu ibadah. Kalau ibadah kita batal, siapa yang senang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H