"Sudah tahu ditutup, masih jugo makso lewat. Repot dewek, kan!" Seorang bapak merutuki pengendara mobil yang terpaksa balik arah karena jembatan yang hendak dilaluinya sedang dibongkar.
"Jembatan ngapo-ngapo idak dibongkar, cari gawe bae!" balas si pengendara, entah pada siapa.
Aku berada di posisi penonton.
Aku dan anak-anak menyebut jembatan itu dengan sebutan "Jembatan Sampah", karena lokasinya dekat dengan pembuangan sampah. Panjangnya area pembuangan sampah melebihi panjang jembatan. Aku dan anak-anak punya kemampuan menahan napas lebih lama berkat jalur sampah yang panjang itu.
Setiap pagi dan siang kami melewatinya, kecuali saat dibongkar yang memakan waktu berbulan-bulan lalu. Sebab jalur alternatif buatan kontraktor berupa jembatan kayu, yang tak jarang pengendara dari jalur berlawanan tak mau mengalah. Jembatan sempit yang seharusnya dilewati sepeda motor satu per satu, malah jadi dua jalur berlawanan.
Daripada ambil risiko mengorbankan anak-anak, lebih baik lewat jalur memutar. Minim keributan.
Setelah dibongkar dan diperbesar, baru kutahu. Nama jembatan itu adalah Jembatan Walisongo. Baru tahu beberapa hari, oleh wali kota diganti jadi Jembatan Wali Kota.
Apa pun namanya, aku akan tetap menyebutnya Jembatan Sampah.
Bagaimana tidak, setelah pembongkaran yang berhasil mengeruk tumpukan sampah plastik dari kedalaman tanah, dan pembersihan sampah sepanjang jalur di sekitarnya (untuk dipasangi tenda dalam rangka peresmian jembatan), sampah itu datang lagi dan lagi.
Bahkan sebelum jembatan diperbesar, aku pernah melihat spanduk larangan membuang sampah terbentang di jalur itu. Sedikitnya ada tiga buah. Nahas, mereka pun jadi sampah.
Demikian pula saat dipasang spanduk serupa setelah pembersihan yang menurutku luar biasa untuk bidang seluas itu. Sudah dilengkapi dengan ancaman denda, spanduk itu pun lagi-lagi bersatu padu dengan sampah. Aku sampai bingung, benarkah manusia yang buang sampah di situ?
Bukankah manusia itu suka keindahan? Setelah jembatan dipugar, jalanan bersih, menghirup udara terasa nyaman karena masih banyak pohon-pohon di belakang jalan raya, kenapa dipenuhi sampah lagi?
Bukannya manusia modern rata-rata bisa membaca? Berlembar-lembar spanduk dipasang, apa iya tidak terbaca?
Kalau merujuk pada ungkapan bijak "Pemimpin adalah cerminan dari yang dipimpin" maka tolong jangan lagi mengeluh soal kebersihan, kejujuran, kepedulian ... apalagi mental pejabat Indonesia! Tinggal pasang cermin, dan pandangilah bayangan yang muncul di sana. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H