Bagaimana tidak, setelah pembongkaran yang berhasil mengeruk tumpukan sampah plastik dari kedalaman tanah, dan pembersihan sampah sepanjang jalur di sekitarnya (untuk dipasangi tenda dalam rangka peresmian jembatan), sampah itu datang lagi dan lagi.
Bahkan sebelum jembatan diperbesar, aku pernah melihat spanduk larangan membuang sampah terbentang di jalur itu. Sedikitnya ada tiga buah. Nahas, mereka pun jadi sampah.
Demikian pula saat dipasang spanduk serupa setelah pembersihan yang menurutku luar biasa untuk bidang seluas itu. Sudah dilengkapi dengan ancaman denda, spanduk itu pun lagi-lagi bersatu padu dengan sampah. Aku sampai bingung, benarkah manusia yang buang sampah di situ?
Bukankah manusia itu suka keindahan? Setelah jembatan dipugar, jalanan bersih, menghirup udara terasa nyaman karena masih banyak pohon-pohon di belakang jalan raya, kenapa dipenuhi sampah lagi?
Bukannya manusia modern rata-rata bisa membaca? Berlembar-lembar spanduk dipasang, apa iya tidak terbaca?
Kalau merujuk pada ungkapan bijak "Pemimpin adalah cerminan dari yang dipimpin" maka tolong jangan lagi mengeluh soal kebersihan, kejujuran, kepedulian ... apalagi mental pejabat Indonesia! Tinggal pasang cermin, dan pandangilah bayangan yang muncul di sana. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H