Hari itu ia datang dengan ekspresi yang berbeda---kau mulai hapal ekspresi kambing sejak kalian sering bertemu. Ia menempelkan tubuhnya padamu, lalu berbisik di telingamu. Kau tertawa, karena geli. Bukan karena mendengar ide darinya. Ia mengulangi kembali, untuk memastikan bahwa tawamu adalah tanda persetujuan.
"Aku punya gadis yang layak untukmu," bisiknya.
"Siapa?" kau bertanya. Penasaran, bagaimana pula seekor kambing tahu perkara jodoh menjodohkan.
"Anak Pak Ali. Ia cantik dan baik."
Refleks kau menggeleng. "Dia anak orang kaya, tak akan mau padaku yang terlampau miskin ini," keluhmu.
"Makanya, kau perkosa saja. Ajak kemari, lalu kau minumkan obat tidur."
Matamu mendelik. Kau tampar moncong kambing itu.
"Bapaknya orang terpandang. Dia pasti akan menutupi aib anaknya, dan langsung menikahkan kalian. Kalau kau bisa menaklukkan hati anaknya, apa pun yang ..."
Tamparan kedua mendarat sebelum kambing itu selesai dengan rencana briliannya.
Kau benar-benar murka!
Tapi justru sejak itu ia tak mau pulang kecuali kau usir. Dan sejak itu cerita yang sering ia ulang-ulang memudar dari kepalamu. Kau tak percaya lagi padanya. Kau merasa disesatkan.