Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Balik Kabut Tak Ada Pelangi

2 November 2019   18:06 Diperbarui: 2 November 2019   18:05 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah tiga tahun lebih aku tak lagi serumah dengan Deni. Kami pindah ke rumah kakek-nenek dari pihak ibuku. Rumah Ayah peninggalan Nenek dijual, Deni dan Bi Rina entah tinggal di mana.

Hari pertama masuk SMA, aku bertemu Deni. Terbayarlah rinduku padanya. Refleks kupeluk dia di depan teman-temannya. Entah kenapa, saat itu bukan perasaan sebagai seorang adik. Dan memang aku bukan adiknya, hanya Nenek yang selalu membahasakan demikian.

Di hari yang sama, beberapa kakak kelas perempuan mendatangiku. Hampir sepuluh orang. Satu orang memegang kerah kemejaku, sisanya siap melakukan yang sama atau mungkin lebih buruk.

"Jangan dekati Deni, dia sudah punya pacar!"

Aku tidak tahu, yang mana di antara mereka yang pacar Deni. Tapi sungguh hatiku remuk. Apalagi setelah kejadian itu tidak tampak pembelaan dari Deni, bahkan ia seperti sungkan menemuiku.

Di rumah kutumpahkan seluruh perasaanku pada buku harian. Ayah dan Ibu pasti tak suka mendengar ceritaku. Bagi mereka, Deni dan Bi Rina adalah sejarah lama yang harus dihapus dari memori kami.

Aku tahu masih ada rasa bersalah Ayah karena menjual rumah Nenek, sebab pesan mendiang sangat jelas. Jangan usir Rina dan anaknya dari rumah ini!

Apakah Deni juga tahu hal itu? Kurasa tidak. Sejak kepergian Nenek, Deni tak pernah memasuki rumah utama. Hanya ibunya yang datang untuk masak dan membereskan rumah.

Masa SMA yang kata orang adalah masa terindah, menjadi saat terburuk dalam hidupku. Cintaku pada Deni berubah menjadi benci. Ia mengabaikanku, sebesar apa pun upayaku mendekatinya.

Setiap melihatnya, aku terkenang ucapan Ayah. Terkenang matanya yang sering basah, juga ibunya yang selalu ramah. Tapi sikapnya melunturkan semua empatiku. Tidak ada prestasi yang berhasil kupetik di sekolah itu. Habis sudah semuanya untuk cinta bodoh yang bertepuk sebelah tangan.

Yang akhirnya, lunas kubalas suatu hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun