Mohon tunggu...
suray an
suray an Mohon Tunggu... Guru - A Daddy of Two

Currently residing in Jogja. Loves traveling, watching movies, listening to music. Carpe Diem: a motivation to enjoy even trivialities in life.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Iklannya Musti Pakai Orang Berkulit Terang? Entahlah

7 Desember 2018   12:25 Diperbarui: 20 Juni 2020   19:46 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap berhenti saat lampu merah di sebuah perempatan kota Jogja, mata ini disuguhi pemandangan landscape jejeran dan deretan baliho iklan raksasa dan "riksisi" di pojok kanan-kiri-depan pandanganku. Yup, iklan. Itulah entertainment(?) bagi mata di banyak perempatan kota ini.  Banyak yang mengeluhkan bagaimana Jogja telah jadi rimba iklan di sepanjang jalanan. 

Banyak yang mengeluhkan bagaimana keamanan baliho raksasa itu pas musim hujan yang lebat. Apa jadinya jika ada yang tumbang dan mengenai kendaraan yang lewat. Oh, tidak. Tak mau membayangkannya.  

Anyway, bukan itu yang jadi concern saya. Namun, itu lho, kog beberapa iklan pakai orang bule yang berkulit putih sih, padahal yang diiklanin adalah produk dan jasa lokal yang sakjane produk atau servisnya pun kemungkinan gedhe juga untuk orang-orang lokal. 

Belum lagi, kalau memang untuk orang Indonesia atau wong Newyorkarto, kenapa tho kog yo bahasa iklannya pakai bahasa Inggris? 

Wah, kalau saya juga mau ngomong tentang bahasa asing yang berseliweran di iklan-iklan negeri ini, nggak bakalan kelar ocehan singkat ini. 

Baiklah, balik ke isu dipakainya orang-orang bule tadi. 

Pagi tadi kulihat iklan besar sebuah mal di Jogja yang jelas-jelas itu malnya ada di Jogja. Lha wong aku juga sering ke sana. Itu mal sudah lama berdiri dan yang datang juga banyak orang-orang lokal---walaupun tentu saja turis atau warga asing pun juga ada. Iklan itu nampak dari jauh karena tulisannya gede-gueede dalam bahasa Inggris bertinta emas yang mengiming-imingi hadiah mobil. 

Wow. Siapa tak mau. Pasti banyak yang tertarik. Intinya dengan belanja di sana, siapa pun yang jadi anggota akan mendapat kesempatan memenangkan satu dari beberapa hadiahnya. Simpel sebenarnya. Namanya juga iklan. Pasti harus menarik. Saya saja tertarik. 

Namun, lagi-lagi, hati ini bertanya-tanya, tetapi kenapa ya kog pria dan wanita yang jadi bintang iklan sebuah mal di Jogja itu adalah orang yang bertampang bule? Ini iklan sebuah mal yang notabene para pengunjungnya juga banyak orang lokal lho. Tujuan iklan itu untuk menggaet orang lokal untuk jadi member mal itu dan ber-shopping ria di sana untuk siapa tahu dapat menggaet hadiahnya. 

Jadi, mengapa harus pakai dua pasang orang bule atau bertampang putih untuk menarik orang lokal? Saya langsung bertanya ke lubuk hati paling dalam, "Kalo misale yang jadi bintang iklan itu wong Jowo atau orang Indonesia atau orang lokal, apakah iklan itu juga akan tetap menarik?"

Nggak perlulah bintang iklannya harus orang lokal yang pakai blangkon dan baju kebaya untuk jadi bintangnya. Namun, mereka yang dilihat dari wajahnya saja  langsung terlihat orang lokal pun bisa bagus juga dipakai sebagai bintangnya. 

Terus, apakah karena orang lokal kulitnya nggak putih, makanya sebaliknya dipakai orang bule? 

Jikalau alasannya adalah seperti itu....hmmm..ini dia yang jadi concern saya. Kog seperti ada rasisme warna kulit. Karena kulit orang lokal sawo matang, maka itu dianggap jelek dan tak menjual karena kumalkah? Sementara, orang bule atau blasteran dengan kulit yang putih dianggap lebih eye-catching dan menjual sebagai daya tarik iklan? 

Waduh, saya harus bertanya lagi ke dalam hati yang terdalam. Intinya ada 2 usikan hati: (1) apakah ada rasisme warna kulit ya? (2) saya tertarik kan pas lihat iklan itu? 

Namun, jujur, saking terbiasanya melihat iklan yang orangnya kebanyakan berkulit putih, maka iklan yang bintangnya berkulit gelap atau sawo matang jadi terpinggirkan atau tak muncul dalam ingatanku ini. 

Terus, saya juga sempat kepikiran pas lihat iklan itu, apakah itu termasuk whitewashing. Hmm, kayaknya sih enggak karena kan biasanya istilah ini dipakai saat orang kulit putih memerankan atau pura-pura menjadi karakter orang yang tak berkulit putih. Orang putih pura-pura jadi orang Asia atau Afrika misalnya, dengan make-up agar memper atau mirip atau mendekati. 

Dari yang saya tahu sih, banyak hal itu terjadi di film-film Amrik sono. Di dunia iklan apalagi. Namuuuun, untuk kasus orang bule yang justru dipajang di iklan yang ditujukan buat orang Indonesia atau hmmm  kalangan orang Jowo di Ngayogjokarto iki....hmmm apa ya istilahnya? 

Gejala apa ya ini? 

Fenomena apa ya? 

Saya tak tahu istilah tepatnya apa. 

Ada yang tahu? 

Belum lagi, ada iklan lain, yaitu iklan sebuah properti di Newyorkarto alias Ngayogjokarto. Lagi-lagi...hmmm lha ini kan rumah yang mau dijual untuk orang Indonesia atau orang lokal...walaaaaah lha kog yang hidup di hunian itu jelas-jelas digambarkan memper kayak orang bule. Hehe. 

Wah...jadi tambah mikir lagi saya.Intinya, yang masuk ke pikiran akhirnya macem-macem. 

Apakah orang yang mampu beli-beli di mal itu hanya orang yang tampangnya bule? 

Apakah rumah itu hanya untuk orang bertampang bule?

Apakah hanya orang bertampang bule atau justru bule yang bisa kaya? 

Apakah hanya orang yang bertampang bule yang mampu beli rumah itu? 

Apakah justru itu menunjukkan bahwa status the haves itu hanya ada di kalangan yang kulitnya putih seperti yang ada di iklan itu?

Wah, jadi macem-macem, ngelantur pokoknya.

140 detik yang kuhabiskan di sebuah perempatan Jogja pagi ini....membikin diriku bertanya-tanya.

Teeett-Teeet-Teeet.....tanpa sadar....lampu hijau sudah menyala beberapa detik sebelumnya. 

Motor di belakangku mengingatkanku untuk bergerak.

By the way, dari tadi saya kog ngedobos sepertinya tak setuju dengan hal-hal yang berbau asing, padahal banyak kata dan istilah dalam ocehen ini yang kucomot langsung dari bahasa Inggris. 

Glek! Oya, ya, benar juga!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun