Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Strategi Investasi, Lebih Baik Diversifikasi atau Terkonsentrasi?

10 Oktober 2023   16:24 Diperbarui: 10 Oktober 2023   18:55 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Shutterstock)

Metode dan pilihan strategi investasi masih sering menimbulkan perdebatan. Di dunia saham misalnya, antara penganut strategi investasi jangka pendek (trader) dan jangka panjang (investor) seakan terus berlomba berusaha membuktikan bahwa aliran investasinya yang paling berhasil dan efektif.

Perdebatan lainnya adalah mengenai pilihan strategi investasi, apakah lebih baik dilakukan secara terkonsentrasi (fokus) pada satu aset saja atau justru harus terdiversifikasi alias mengalokasikan dana investasinya pada beberapa aset investasi sebagai langkah antisipasi meminimalkan risiko.

Masing-masing tentu punya alasan. Pihak yang pro terkonsentrasi tentu saja fokus dengan pemikiran bahwa keuntungan hasil investasi jelas akan lebih bisa dimaksimalkan.

Sementara pihak yang pro diversifikasi akan teguh memegang prinsip dan analogi "Don't put all your eggs in one basket". Jangan taruh semua telur yang kau punya dalam satu keranjang agar saat ada keranjang yang jatuh dan telur di dalamnya pecah, masih ada telur-telur di keranjang lain.       

Perdebatan pilihan melakukan diversifikasi atau terkonsentrasi bahkan secara spesifik terjadi juga di instrumen investasi saham. Ada yang menganjurkan portofolio saham yang terkonsentrasi, banyak juga yang menyarankan diversifikasi.

Warren Buffett, investor saham legendaris dunia pernah mengatakan "diversifikasi adalah alat untuk melindungi ketidaktahuan". Lo Kheng Hong, investor saham sukses di tanah air pun sering mengutip pernyataan itu.

Lo juga selalu mengatakan, "Saat peluang membeli saham perusahaan yang bagus di harga yang murah datang, jangan pernah ragu untuk menaruh seluruh uangmu di saham tersebut".

Lo berkisah, ia bahkan pernah sampai menjual villa mewah miliknya agar punya lebih banyak uang untuk membeli sebanyak-banyaknya saham perusahaan yang dinilainya sangat menarik.

Timbul pertanyaan dan ini masih sering ditanyakan ke Lo Kheng Hong dalam beberapa kesempatan. Bila memang menganjurkan strategi investasi saham yang terkonsentrasi, mengapa Lo Kheng Hong dari beberapa data yang ada justru diduga memiliki lebih dari sepuluh saham?

Apakah Lo Kheng berbohong dan sekadar cuap-cuap saja? Menganjurkan sesuatu ke orang banyak namun justru ia sendiri tak melakukannya?

Jawabannya ternyata sangat lugas dan sederhana. Ia mengaku sebenarnya sangat ingin melakukan investasi terkonsentrasi, namun terkadang tak bisa dilakukan karena uangnya masih sangat banyak.

Beberapa sumber menyebutkan, Lo Kheng Hong memang sudah punya dana investasi yang diperkirakan mencapai triliunan rupiah.   

Seringkali satu saham yang sudah dibelinya dengan total investasi puluhan bahkan ratusan miliar ternyata sudah "naik duluan" sehingga tak memberinya lagi kesempatan untuk membeli di harga yang murah.

Sementara Lo Kheng Hong sangat tegas dengan prinsipnya dalam membeli saham yaitu haruslah membeli dengan harga yang terdiskon atau sering diistilahkannya, "Beli mobil mercy seharga bajaj".      

Alasan pentingnya melakukan strategi investasi yang terkonsentrasi agar bisa memaksimalkan potensi keuntungan, jelas sangat logis dan mudah dipahami.

Sebagai contoh, misalnya saat ini kita sedang berinvestasi saham dengan total dana investasi sebesar Rp 100 juta dan dialokasikan dengan membeli sebanyak 10 saham perusahaan berbeda, masing-masing sebesar Rp 10 juta.

Suatu ketika, ada salah satu saham yang naik seratus persen artinya memberikan keuntungan sebesar Rp 10 juta. Artinya, total dana investasi kita sekarang sudah bertumbuh 10 persen menjadi Rp 110 juta. 

Dari yang Rp 100 juta (dana awal) bertambah Rp 10 juta (hasil keuntungan satu saham).

Kita otomatis akan merasa sangat senang bukan? Atau jangan-jangan malah jadi sibuk berandai-andai, kalau saja dana yang diinvestasikan di saham yang naik 100 persen itu lebih banyak, pasti keuntungannya jadi lebih besar.

Logikanya memang sangat masuk akal dan sederhana. Bila dana investasi Rp 100 juta tadi dibelikan satu saham saja dan naik 100 persen, maka keuntungannya bukan lagi Rp 10 juta melainkan Rp 100 juta. Total dana investasinya otomatis naik menjadi Rp 200 juta.

Dengan kata lain, cukup kenaikan harga saham diatas 10 persen saja bahkan sudah bisa mengalahkan keuntungan model investasi yang dibagi-bagi ke dalam 10 saham tadi meskipun ada salah satu sahamnya yang berhasil naik 100 persen.

Pilihan pribadi

Pilihan strategi investasi yang terdiversifikasi atau terkonsentrasi, menurut saya sebenarnya kembali lagi pada pilihan pribadi masing-masing.

Memang benar bahwa potensi memaksimalkan keuntungan bisa didapatkan bila kita memilih strategi terkonsentrasi. Namun jangan lupa bahwa filosofi "telur di dalam keranjang" itu pun pastilah ada benarnya.

Bagaimana bila ternyata satu-satunya aset investasi atau katakanlah satu-satunya saham yang sudah kita pilih itu ternyata terus turun? Atau bahkan lebih parah, kita salah pilih dan perusahaannya itu bangkrut? Bukankah itu berarti dana investasi kita otomatis hilang seluruhnya?

Terus terang, sampai saat ini saya cenderung meyakini dan menerapkan strategi investasi yang terdiversifikasi. Saya tidak ada masalah dengan pernyataan Buffett yang menyebut diversifikasi sebagai alat lindung ketidak tahuan.

Atau pernyataan yang lebih parah dari para penganut garis keras strategi terkonsentrasi yang menyebut strategi investasi terdiversifikasi hanyalah untuk orang-orang bodoh.

Alasan saya melakukan diversifikasi juga tentu bukan karena dana investasi yang saya punya sudah terlalu besar, seperti alasan Lo Kheng Hong. Namun lebih untuk merasa lebih tenang dan nyaman saja karena sudah membagi-bagi potensi risiko ke dalam beberapa "keranjang".

Dalam berinvestasi, saat ini saya menaruh dana investasi di instrumen saham, reksadana, dan crypto. Porsi terbesar ada di saham, disusul reksadana dan paling kecil ada di crypto. Ini lagi-lagi dengan mempertimbangkan keyakinan pribadi saya terhadap instrumen investasi yang bisa menumbuhkan investasi serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai.

Saya juga senang mengumpulkan logam mulia (fisik), tapi sekali lagi saya tak menganggapnya sebagai instrumen investasi, melainkan sebagai alat lindung nilai karena harganya yang cenderung paling stabil dibandingkan aset yang lain, serta sifatnya yang mudah "diuangkan" terutama saat dibutuhkan.

Sampai saat ini saya masih meyakini instrumen saham sebagai tempat paling nyaman sekaligus memungkinkan untuk bisa menumbuhkan dana investasi yang saya miliki dalam jangka panjang.

Sementara di reksadana, saya menaruh dana dengan tujuan tertentu khususnya di jangka pendek dan menengah, misalnya dana pendidikan anak, dan sebagainya.

Sementara di crypto, terus terang saya masih belum terlalu memahami dan yakin sehingga tak berani menaruh porsi dana investasi lebih banyak. Sampai saat ini saya masih tetap berusaha belajar dan mengikuti perkembangannya yang kian ramai diperbincangkan.

Dalam menyusun portofolio saham, saya juga tak berani menaruh seluruh dana investasi di satu saham saja. Pelan-pelan, saya memang masih sedang dalam tahap menyusun portofolio saham pribadi agar lebih yakin bisa menghasilkan keuntungan yang maksimal.

Sering menjadi masalah dan dialami oleh investor pemula (termasuk saya) saat awal-awal berinvestasi, portofolio saham yang dimiliki justru terlalu terdiversifikasi. Portofolio sahamnya malah jadi mirip toko serba ada karena terlalu banyak jenis saham perusahaan disana. Ini jelas tidak akan efektif.  

Bila ingin melakukan diversifikasi, tetaplah harus ada batasannya. Dalam investasi saham misalnya, bila total dana investasi kita masih terbatas katakanlah di bawah Rp 100 juta, maka cukup miliki maksimal 3-5 saham saja dalam portofolio.

Poin pentingnya, strategi investasi terdiversifikasi memang baik terutama bagi kita yang berstatus pemula dan mementingkan kenyamanan dan ketenangan saat berinvestasi. Namun tetap saja, jangan terlalu diversifikasi. Apapun namanya kalau sudah terlalu berlebihan, memang tidak baik.                                  

***

Jambi, 10 Oktober 2023   

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun