Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jangan Main Saham tapi Jadilah Investor Saham

1 September 2023   23:16 Diperbarui: 2 September 2023   03:45 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay/SergeiTokmakov via Kompas.com)

Harta karun terbesar di dunia ada di pasar modal, bukan di dasar laut. Sangat disayangkan orang yang tidak mengenal pasar modal (Lo Kheng Hong)

Pasar modal lazim dikenal sebagai tempat orang-orang melakukan aktivitas jual-beli saham. Layaknya pasar, ada pembeli dan penjual yang saling berinteraksi sekaligus bertransaksi satu sama lain.

Sebenarnya bukan hanya saham yang bisa diperjual-belikan disana karena masih ada beberapa instrumen lain yaitu reksadana, surat utang (obligasi), ETF, dan derivatif.

Memang di pasar modal Indonesia saat ini bisa dikatakan saham menjadi instrumen yang paling populer.

Meskipun demikian, fakta menunjukkan bahwa ternyata masih banyak orang yang masih enggan, ragu bahkan mungkin "alergi" dengan saham. Jangankan mau berinvestasi, mendengar kata "saham" saja konotasinya sudah langsung negatif.

Agak mengherankan memang, mengingat aktivitas pasar modal di Indonesia sudah ada bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka.

Atau bila menggunakan periode 1977 yaitu saat pasar modal Indonesia diaktifkan kembali oleh pemerintah, artinya aktivitas transaksi jual-beli saham di pasar modal sudah berjalan lebih dari 46 tahun.

Namun mengapa sampai saat ini masih banyak orang yang meragukan bahkan mempertanyakan saham sebagai instrumen investasi?

Kalau konteksnya beberapa tahun lalu, barangkali kita masih bisa menuding sistem pendidikan kita sebagai penyebabnya. Saat itu (bahkan mungkin sampai saat ini) pembelajaran tentang investasi apalagi saham hampir tak pernah diajarkan di bangku pendidikan.

Buku-buku tentang investasi saham juga masih sangat sulit ditemukan. Jangankan buku yang ditulis penulis lokal, buku terjemahan para penulis asing pun masih langka. Andaipun ada, harganya pasti sangat mahal.

Bicara konteks hari ini, meskipun mungkin investasi saham masih belum juga diajarkan di bangku pendidikan formal, namun pembelajaran tentang itu sebenarnya sudah bisa dengan mudah kita temukan. Pertanyaannya, apakah ada keinginan untuk belajar atau tidak?

Media pembelajaran tentang investasi saham saat ini sangat beragam bahkan dikemas dengan menarik. Buku-buku tentang investasi saham sudah banyak dijual di toko buku, baik yang ditulis penulis asli Indonesia atau karya penulis asing yang sudah diterjemahkan.

Konten pembelajaran tentang investasi saham juga sudah bisa diakses dengan mudah baik dalam format tulisan maupun audio visual. Ada yang berbayar namun banyak pula yang gratisan.

Bagi yang ingin lebih serius memperdalam pengetahuan dan wawasannya tentang saham, tersedia juga banyak penawaran mengikuti "kelas saham" yang dimentori para investor senior.

Main versus Investasi 

Satu hal yang hampir selalu terdengar terkait saham, banyak orang masih lebih senang menggunakan istilah "main saham" daripada "investasi saham". Kembali lagi, mungkin karena mereka masih belum yakin atau belum bisa menerima saham sebagai instrumen investasi.

Ketika bicara investasi mungkin yang selalu terlintas dalam fikirannya hanyalah berupa logam mulia (emas), properti, atau beragam model bisnis lain.

Padahal sudah berulangkali dijelaskan bahwa saham merupakan bukti kepemilikan sebuah bisnis perusahaan. Di setiap lembar kepemilikan saham yang sudah dibeli, ada bisnis perusahaan yang bekerja.

Jadi sebenarnya yang dibeli bukan sekadar lembaran kertas, melainkan kepemilikan atas bisnis itu sendiri.

Persoalan paling mendasar dari penggunaan istilah "main saham" adalah secara tidak langsung akan memengaruhi sikap dan hati kita. Pengertian istilah "main" adalah melakukan sesuatu hal yang menyenangkan hati.

Saat sedang bermain sebenarnya kita tak akan ambil pusing bila misalnya dalam permainan itu kita menang atau kalah karena hal yang terpenting adalah bisa menikmatinya dan hati kita menjadi senang dan gembira.

Istilah "main saham" sebenarnya sudah keliru sejak awal. Untuk bisa beli saham, jelas harus menggunakan uang.

Apakah kita mau membeli saham dengan tujuan sekadar bermain dan tak akan peduli bila uang itu harus hilang asalkan hati kita senang? Saya yakin, takkan ada orang waras yang rela kehilangan uangnya begitu saja demi mendapatkan kesenangan saat membeli saham.

Atau kita sedang berpikir ingin main "adu keberuntungan" di saham dan tebak-tebakan membeli saham yang diharapkan bisa menghasilkan "cuan"? Lalu, apa bedanya itu dengan pejudi?  

Saat sedang melakoni "main saham" bisa dipastikan hati kita takkan pernah tenang. Selalu kuatir jangan-jangan uang kita akan hilang karena harga sahamnya turun. Demikian sebaliknya, saat harga sahamnya naik sedikit saja, kita pun akan langsung buru-buru ingin menjual karena kuatir harganya turun.

Harga saham naik, kuatir. Harga saham turun, lebih kuatir lagi.     

Akan sangat berbeda bila kita sudah belajar memahami dan menjadikan saham sebagai investasi. Kita takkan pernah membeli saham sebelum mempelajari dan memahami saham perusahaan yang akan kita beli tersebut.

Saat benar-benar yakin dengan kualitas perusahaannya, kita pun takkan ragu-ragu lagi untuk membeli sahamnya bahkan dengan jumlah nominal yang besar.

Ketika berinvestasi, kita juga sudah paham ada potensi keuntungan yang diharapkan sekaligus potensi risiko yang bisa timbul. Tugas seorang investor sebelum membeli saham, harus terlebih dulu melakukan kalkulasi potensi-potensi tersebut. Itulah pentingnya mempelajari dan memahami bisnis perusahaan.

Bila kita menemukan perusahaan yang selalu bertumbuh baik aset, penjualan maupun labanya dari tahun ke tahun karena produk yang dihasilkannya tidak bisa dikalahkan kompetitor, maka sebenarnya risiko yang mungkin timbul bagi kita sebagai pemegang saham perusahaan menjadi sangat kecil.

Seorang investor saham juga takkan terlalu memusingkan pergerakan harga sahamnya dalam jangka pendek. Saat harga sahamnya naik sedikit, ia takkan buru-buru menjual karena sudah punya target besar yang ingin dicapai.

Begitu pula saat harga sahamnya turun, ia takkan panik, melainkan akan melihat itu sebagai kesempatan bisa membeli lebih banyak saham dengan harga lebih murah alias diskon.

Seorang investor saham selalu percaya bahwa ketika ia sudah membeli saham perusahaan yang bagus dan bertumbuh maka cepat atau lambat harga sahamnya pasti akan naik. Ia hanya perlu bersabar dan menunggu.

Akhirnya, bila memang ingin terjun ke dunia saham, alangkah lebih bijak untuk lebih dulu belajar sehingga memiliki "mindset" yang benar sebagai seorang investor. 

Jangan pernah main saham, tapi jadilah investor saham.   

***

Jambi, 1 September 2023

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun