Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Inspirasi Grameen Bank: Akses Keuangan untuk Perempuan

5 November 2020   11:47 Diperbarui: 5 November 2020   12:03 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian dan pendiri Grameen bank (Kompas/Ferganata Indra Riatmoko)

Komite Nobel Perdamaian Dunia bersepakat menganugerahkan Nobel Perdamaian 2006 pada seorang warga Bangladesh bernama Muhammad Yunus. Siapa dan apa yang dilakukan Yunus sehingga dipilih sebagai penerima penghargaan bergengsi tingkat dunia tersebut? 

Dari berbagai literatur dijelaskan bahwa Muhammad Yunus merupakan lulusan Vanderbilt University di Tennessee, Amerika Serikat. Yunus menyandang gelar doktor di bidang ilmu ekonomi. 

Panggilan jiwa membuatnya mengambil keputusan penting untuk segera pulang ke kampung halamannya, Bangladesh. Meskipun sebenarnya, ia sudah punya pekerjaan yang cukup baik di Amerika Serikat.

Yunus melihat langsung negerinya sedang mengalami kemelut sosial yang sangat pelik yaitu kemiskinan dan kelaparan. Ia berpikir, apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. 

Sambil melaksanakan profesinya sebagai pengajar di salah satu kampus disana, ia melakukan observasi dan riset secara lapangan ke lapangan guna memahami situasi yang sedang terjadi.

Yunus menemukan fakta bahwa mayoritas masyarakat miskin ternyata memiliki pinjaman kepada "lintah darat" dengan imbalan bunga sangat tinggi, 10 % per minggu atau setara 520 % per tahun. 

Fakta menarik lainnya, bahwa sistem sosial Bangladesh saat itu masih mengalami ketimpangan gender. Dalam hal penyaluran kredit perbankan untuk perempuan, jumlahnya kurang dari 1 % dari total pinjaman bank.

Singkat cerita, Yunus menggagas sebuah konsep yang "menabrak" kebiasaan saat itu. Tidak heran, banyak yang menentangnya alih-alih memberikan dukungan. Pertama, Yunus memberikan kredit kepada masyarakat miskin, tanpa agunan. Kedua, ia juga merancang preferensi penyaluran kreditnya pada perempuan. 

Kerja keras Yunus berbuah manis. Program penyaluran kredit mikro yang digagasnya (meski melawan kebiasaan) ternyata cukup berhasil. Dengan cakupan program 500 orang, hasil percobaannya itu menunjukkan tingkat pengembalian yang tinggi, mencapai 99 %.

Bermodalkan kesuksesan tersebut, Yunus berupaya menggalang dana dari lembaga-lembaga donor untuk memperbesar skala penyaluran kreditnya. Kali ini penyaluran kreditnya berhasil menjangkau 10.000 peserta. Yunus sempat kuatir akan tingkat keberhasilannya. Ternyata hasilnya lagi-lagi sukses yaitu dengan tingkat pengembalian 99 %.

Setelah berhasil membuktikan konsep penyaluran kreditnya benar-benar aman dan berhasil, Yunus ingin memformalkan proyeknya itu menjadi sebuah lembaga perbankan yang legal dan diberinya nama Grameen Bank. Tentu saja, lembaga ini sangat berbeda jauh dengan bank pada umumnya.  

Bila kebanyakan bank beroperasi di kota, Grameen Bank justru memilih di desa. Bila semua bank mengharuskan adanya jaminan sebelum meminjam, Grameen Bank tidak. 

Semua bank lebih menyukai nasabah yang kaya, Grameen Bank justru lebih menyukai nasabah yang miskin untuk diberdayakan. Selanjutnya yang tidak kalah penting, bila mayoritas bank menyasar segmen laki-laki, Grameen Bank justru menyasar segmen perempuan.       

Inklusi bukan eksklusif

Tingkat literasi dan inklusi keuangan di negara kita sepertinya masih terus menjadi tantangan. Meski survei terakhir menunjukkan adanya peningkatan, tapi tetap dianggap belum memuaskan.

Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2019 yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, indeks literasi keuangan nasional mencapai 38,03 persen. 

Angka tersebut meningkat bila dibandingkan hasil survei OJK tahun 2016 yang hanya di kisaran 29,7 persen. Sementara itu indeks inklusi keuangan sebesar 76,19 persen. Angka tersebut juga meningkat bila dibandingkan tahun 2016 yang hanya sebesar 67,8 persen.

Mengapa capaian dan peningkatan tersebut masih belum memuaskan? Kita gunakan logika sederhana. Indeks literasi keuangan nasional yang mencapai 38,03 persen bukankah menunjukkan bahwa masih ada lebih dari separuh jumlah penduduk kita yang masuk dalam kategori belum melek literasi keuangan? Separuh dari jumlah penduduk kita, bukankah itu mencerminkan angka yang sangat besar?

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 76/POJK.07/2016 tentang Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan bagi Konsumen dan/atau Masyarakat mendefenisikan literasi keuangan sebagai pengetahuan, keterampilan dan keyakinan yang mempengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan dalam rangka mencapai kesejahteraan.

Sedangkan inklusi keuangan adalah ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk dan/atau layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Berbicara soal inklusi keuangan dikaitkan dengan perempuan, hasil survei SNLIK 2019 juga menunjukkan berdasarkan gender, tingkat inklusi keuangan dan tingkat literasi keuangan perempuan adalah masing-masing sebesar 75,15 persen dan 36,13 persen. Masih lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat inklusi keuangan dan tingkat literasi keuangan pria yaitu sebesar 77,24 persen dan 39,94 persen.

Bila mengacu data diatas, tentu saja inklusi keuangan perempuan negara kita tidak separah yang dihadapi Yunus di Bangladesh. Namun sekali lagi, data statistik itu tidak lantas membuat kita berpuas diri dan berpangku tangan.

Fakta menunjukkan masih ada stereotip yang mengatakan bahwa peran perempuan selalu identik dengan kegiatan nonekonomi, yaitu mengurus rumah tangga (anak dan suami). Sampai-sampai memunculkan stigma, bila perempuan bekerja maka keluarga akan sengsara.

Inklusi keuangan jelas tidak menghadirkan ruang-ruang diskriminasi semacam itu. Inklusi keuangan tidak bersifat eksklusif apalagi bias gender. Perempuan sebagaimana laki-laki berhak untuk mengaksesnya. Perempuan dan laki-laki sama pentingnya, sama berharganya.

Situasi pandemi yang terjadi saat ini memberikan pembelajaran berharga tentang pentingnya peran perempuan khususnya dalam hal ketahanan ekonomi keluarga. 

Ada banyak kisah ketika suami terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga tidak bisa menafkahi keluarga, maka isterinya yang segera mengambil alih peran tersebut dengan bekerja dan berusaha semampunya.

Suami dan isteri lalu bertukar sekaligus berbagi peran. Isteri yang berusaha mencari nafkah dan suami yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan baru terpaksa harus tinggal di rumah. Apakah ada yang salah? Kondisi tidak normal seperti yang terjadi saat ini tentu saja sangat memungkinkan hal-hal semacam itu bisa terjadi.    

Prinsip dasar literasi dan inklusi keuangan adalah mendorong masyarakat untuk bisa mengakses layanan jasa keuangan yang tentunya berguna untuk meningkatkan kesejahteraan. Secara garis besar, layanan jasa keuangan dimaksud adalah: bank, non bank (misalnya asuransi, pergadaian, dll) dan pasar modal (misalnya investasi saham).

Dengan kata lain, layanan jasa keuangan yang disediakan oleh negara sebenarnya bukan sekadar pinjaman/kredit di bank. Masyarakat bisa mengakses layanan jaminan kesehatan, persiapan hari tua dan sebagainya melalui asuransi. Atau bisa mengembangkan jumlah aset yang dimiliki dengan cara berinvestasi di pasar modal.

Pasar modal bisa dikatakan produk jasa keuangan yang masih kurang dipahami dan disentuh oleh publik. Tingkat literasi masyarakat kita tentang pasar modal dan produk-produk yang ditawarkan masih sangat minim. 

Salah satu contoh adalah saham. Sampai hari ini ternyata masih banyak yang keliru dalam memahami instrumen investasi ini. Banyak yang menyebut saham sebagai judi.

Padahal faktanya, saham merupakan bukti kepemilikan atas suatu perusahaan publik yang menghasilkan produk-produk di sekitar kita. Saham juga merupakan salah satu instrumen investasi yang menjanjikan imbal hasil yang besar, meskipun tentu saja risikonya juga besar. 

Bila mau meluangkan sedikit saja waktu untuk belajar dan mencari tahu, investasi saham merupakan investasi legal dan resmi yang sangat lengkap payung hukumnya.

Literasi semacam ini yang sepertinya masih sangat penting dan mendesak untuk terus disampaikan secara meluas ke masyarakat. Sekali lagi, bahwa inklusi keuangan bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Baik laki-laki maupun perempuan punya kesempatan yang sama untuk mengaksesnya. Dengan demikian, kita berharap bangsa ini akan semakin sejahtera, merata, berkeadilan dan maju. Semoga          

***

Jambi, 5 November 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun