Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kematian Akibat Corona, Bukan Sekadar Angka

23 September 2020   00:23 Diperbarui: 23 September 2020   00:33 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kompas.com/Garry Lotulung)

Jambi berduka. Muhammad Fabiansyah Putra yang merupakan putra bungsu Walikota Jambi Syarif Fasha meninggal dunia, Senin siang (21/9) di Jakarta. Sebelumnya dilaporkan bahwa Fasha, isteri dan dua puteranya (termasuk Fabian) positif terinfeksi virus Corona (Covid-19). 

Mereka berkumpul dan dirawat di salah satu rumah sakit di Jakarta. Fabian juga diketahui sedang menjalani proses pengobatan atas suatu penyakit yang dideritanya.

Atas keputusan keluarga, jenazah Fabian dimakamkan di Jambi. Media lokal sempat memberitakan bahwa almarhum akan dimakamkan sesuai protokol Covid-19, sementara Walikota dan keluarga hanya akan menyaksikannya secara virtual. Konon kabarnya, jenazah diberangkatkan dari Jakarta menuju Jambi melalui jalur darat.

Belakangan terkonfirmasi bahwa Walikota dan keluarga ternyata menghadiri langsung pemakaman putra bungsunya, tentu saja lengkap dengan menggunakan APD. Walikota bahkan sempat memberi sambutan usai pemakaman jenazah.

Anda (termasuk saya) pasti bertanya-tanya. Mengapa jenazah almarhum tidak dimakamkan di Jakarta saja? Bagaimana mungkin keluarga Walikota yang terkonfirmasi positif corona ternyata bisa bebas bepergian lintas provinsi, dari Jakarta ke Jambi? Bukankah itu berbahaya?

Baiklah, pertanyaan-pertanyaan itu untuk sementara disimpan saja. Saya tidak mau dianggap kurang ajar dan tidak berempati pada keluarga yang sedang berduka.

Pilkada tidak ditunda  

Pada kondisi yang rumit seperti saat ini, kita memang tidak sedang ingin saling menyalahkan satu sama lain. Tak ada gunanya. Tapi jujur saja, sering kali ada hal-hal yang membuat kita nyaris tidak percaya, kesal, jengkel bahkan mungkin marah khususnya berkaitan langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam masa pandemi saat ini.

Ketika angka penyebaran virus masih sangat tinggi, pemerintah (bersama DPR dan penyelenggara pemilu) justru ngotot dan satu sikap untuk tetap melaksanakan pilkada serentak, 9 Desember mendatang.

Mereka seperti tak peduli dengan bahaya yang mengancam. Padahal berbagai kajian ilmiah menyebutkan, pilkada sangat berpotensi menjadi kluster penyebaran corona. Tak peduli sudah banyak nyawa warga kita yang melayang, termasuk para tenaga medis.

Tak peduli dengan fakta bahwa corona bisa menulari siapa saja. Menteri Agama, Ketua KPU, Sekda DKI Jakarta (meninggal dunia) baru-baru ini dilaporkan positif corona. Sebelumnya sudah ada banyak pejabat dan tokoh publik pusat dan daerah juga dilaporkan tertular virus.

Tak peduli dengan peringatan bahkan aspirasi publik yang terus berdatangan. Kita tahu, dua ormas Islam terbesar di tanah air (NU dan Muhammadiyah) sudah sama-sama bersikap meminta agar Pilkada ditunda. Demikian halnya persatuan tenaga kesehatan sudah meminta hal yang serupa.

Cendekiawan Azyumardi Azra juga tegas mengatakan, bila pemerintah tetap ngotot menggelar Pilkada Desember nanti, ia sudah berkomitmen tidak akan menggunakan hak suaranya alias golput. 

Alasannya selain solidaritas dan keprihatinan terhadap para korban juga sebagai antisipasi dan kesadaran mencegah terjadinya penularan virus corona.

Presiden Jokowi memang belum pernah menyatakan langsung pendapatnya terkait desakan berbagai kalangan agar Pilkada ditunda. Namun, lewat para pembantunya (termasuk Juru Bicara Presiden), publik sudah bisa mendengar langsung sikap resmi pemerintah. Pilkada tidak ditunda. Entah nanti, misalnya tiba-tiba saja ada hal luar biasa (keajaiban?) yang membuat keputusan itu dianulir.   

Sekadar angka

Di balik sikap ngotot pemerintah yang ingin tetap menggelar Pilkada meski ada bahaya besar yang mengancam, saya kuatir bahwa pemerintah kita saat ini sepertinya sudah terlalu senang dan sibuk bermain dengan angka-angka.

Kematian akibat corona sepertinya dianggap deretan statistik belaka. Angka kematian dibanding-bandingkan dengan jumlah pasien yang dinyatakan sembuh. Lalu muncul klaim keberhasilan karena jumlah yang sembuh bisa ribuan orang per hari sementara meninggal "hanya" puluhan atau ratusan orang.

Padahal satu nyawa bisa sangat berarti bagi banyak orang. Bayangkan ada seorang suami yang menjadi tulang punggung bagi keluarganya lalu meninggal karena corona. Bisa kita bayangkan, bagaimana nasib keluarga (isteri dan anak-anaknya) kelak tanpa ada kepala keluarga yang bekerja untuk menanggung hidup mereka?

Kecintaan pada statistik dan angka-angka itu pula yang membuat pemerintah dikabarkan sedang berupaya mengubah definisi angka kematian akibat Covid-19 menjadi hanya akibat virus corona dan mencoret akibat penyakit penyerta.

Staf ahli Kementerian Kesehatan, Muhammad Subur mengatakan "Penurunan angka kematian harus kita definisikan dengan benar, meninggal karena Covid-19 atau karena penyakit penyerta sesuai dengan panduan dari WHO"

Konon kabarnya, wacana penyempitan penafsiran kematian Covid-19 ini muncul dari Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Sebagaimana diketahui, Jawa Timur termasuk salah satu daerah dengan tingkat penyebaran virus corona tertinggi secara nasional.

Apa sebenarnya urgensi, motivasi dan tujuan mengubah definisi angka kematian akibat Covid-19 tersebut? Kita bisa menduga, pemerintah mungkin sudah jengah selalu mendapat sorotan lantaran dianggap tidak mampu menekan angka penyebaran virus. Kita tahu, data harian menunjukkan jumlah orang yang terinfeksi virus terus bertambah bahkan mencatatkan rekor-rekor baru.

Dengan mengubah defenisi angka kematian akibat Covid-19, sedikit banyaknya pasti akan memengaruhi jumlah data yang dipublikasikan ke publik. Bila sebelumnya dalam sehari ada ratusan orang yang dilaporkan meninggal dunia akibat Covid-19, setelah perubahan definisi nanti, jumlahnya menjadi drastis turun menjadi puluhan atau nihil sama sekali.

Bila perubahan defenisi ini sudah diterapkan, maka kematian seperti yang dialami putra bungsu Walikota Jambi tidak akan dicatat dan dilaporkan akibat Covid-19 melainkan karena penyakit yang sudah dideritanya.

Ke depannya mungkin ruang publik akan sibuk dan lebih ramai membincangkan satu kasus kematian korban yang positif Covid-19, apakah memang karena virus atau penyakit penyerta? Layak dicatat sebagai kejadian Covid-19 atau tidak?

Barangkali tidak berlebihan bila dikatakan inilah tragedi yang sedang melanda bangsa ini. Ketika nyawa manusia diukur sebagai angka dan data statistik semata.

Sebelumnya Presiden Jokowi sempat mengatakan bahwa kesehatan warga harus menjadi prioritas utama. Namun bila menyaksikan kondisi dan peristiwa yang terjadi belakangan ini, sepertinya kita jadi tahu bahwa bukan kesehatan/nyawa manusia yang paling berharga dan terutama melainkan politik Pilkada dan angka-angka.

***

Jambi, 23 September 2020   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun