Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pembajakan Demokrasi dan Ilusi Keadilan Sosial

21 Agustus 2020   21:08 Diperbarui: 22 Agustus 2020   12:09 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembajakan atas demokrasi membuat kita tak punya banyak pilihan untuk menentukan masa depan. Harapan untuk tampilnya kandidat-kandidat terbaik di panggung pemilu sudah dihambat sejak awal melalui penerapan aturan ambang batas dan berbagai persyaratan yang sangat sulit dipenuhi. Alhasil, pilihan kita dibatasi pada kandidat-kandidat yang lahir dari proses transaksi politik para elit.

Bayangkan, kandidat yang akan berlaga di pilkada pun harus diputuskan oleh pengurus partai politik di tingkat pusat. Ini yang dialami oleh wakil walikota Solo, Achmad Purnomo (dan banyak lagi). Sudah mendapat rekomendasi dari pimpinan daerah, tapi akhirnya tak bisa maju karena pengurus partai di tingkat pusat punya pilihan lain.

Kondisi-kondisi semacam ini kian diperparah lagi oleh perilaku pemilih kita yang kian hari kian apatis dan pragmatis. Barangkali dipicu oleh rasa frustasi yang mendalam, kebanyakan pemilih justru kian toleran terhadap praktik politik uang dan menganggapnya sebagai hal yang lazim. Jargon "ambil uangnya, jangan pilih orangnya" seakan-akan dianggap sebagai bentuk kebijaksanaan dan kecerdasan politik.          

Wijayanto, salah seorang pengurus LP3ES Jakarta sekaligus Dosen FISIPOL UNDIP mengatakan, bahaya paling mencemaskan dari berbagai kondisi saat ini adalah hilangnya imanjinasi politik dan daya kreatif kita. Segala yang terjadi seolah takdir yang harus diterima. Kita kehilangan imajinasi tentang hal-hal baik dan ideal yang seharusnya selalu diupayakan untuk dicapai.

Keadilan sosial

Pembukaan UUD 1945 memuat salah satu tujuan negara kita adalah memajukan kesejahteraan umum. Senada dengan itu, sila kelima Pancasila juga menyatakan "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia".

Sudah tujuh puluh lima tahun Indonesia merdeka dan selama itu pula mayoritas kita masih terus bertanya tentang kesejahteraan. Kita mendambakan kesejahteraan sosial tapi yang tampak nyata justru ketimpangan sosial. Segelintir orang di negeri ini punya aset dan kekayaan yang konon tak akan habis sampai tujuh turunan. Pada saat yang bersamaan, jutaan orang masih hidup dalam perangkap kemiskinan.

Bicara soal ketimpangan juga tercermin dalam praktik pembangunan yang masih sentralistik dan Jawa sentris. Gagasan ideal tentang otonomi daerah kian jauh panggang dari api. Contoh paling konkret, pada masa penanganan pandemi Covid-19 saat ini, dari 600 an triliun rupiah dana yang dialokasikan untuk pemulihan ekonomi nasional, dana dukungan ke pemda (34 provinsi, 514 kabupaten/kota) hanya di kisaran angka 2,5 persen.

Oligarki kekuasaan di pusat dan daerah kian mencampakkan cita-cita luhur mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Para elit sibuk memperebutkan sumber daya untuk memperkaya diri dan kelompoknya sekaligus abai memberikan jaminan sosial pemenuhan kebutuhan dasar minimal bagi warganya.

Sehari-hari kita masih menemukan anak putus sekolah yang dipaksa harus bekerja membanting tulang demi mendapatkan uang. Orang sakit yang tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan karena tidak sanggup membayar. TKI bermodal nekat yang berangkat ke luar negeri hanya untuk mendapatkan pekerjaan. 

Gagasan-gagasan untuk mengatasi semua persoalan itu memang selalu ramai dibincangkan khususnya saat menjelang pemilu. Para kandidat berlomba menebar janji, sampai-sampai yang tidak masuk akal pun berani diucapkan. Tujuannya semata-mata tentu saja untuk mendulang suara. Bila sudah mendapatkan kekuasaan, janji-janji itu langsung menguap dan tak kunjung terealisasi.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun