Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pembajakan Demokrasi dan Ilusi Keadilan Sosial

21 Agustus 2020   21:08 Diperbarui: 22 Agustus 2020   12:09 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demokrasi (Shutterstock)

Pengertian paling awam tentang demokrasi, sesuai asal usul katanya adalah kekuatan/kekuasaan rakyat (demos dan kratos). Abraham Lincoln mendefenisikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Daulat dan kepentingan rakyat menjadi kata kuncinya. 

Pertanyaannya, bagaimanakah praktik kehidupan demokrasi di Indonesia? Sekadar mengingatkan, 12 November 2007, Indonesia pernah mendapatkan Democracy Award, dari International Association of Political Consultants (IAPC) di Bali, dan bahkan diakui sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia (setelah Amerika Serikat dan India).

Meskipun sayangnya, hanya empat tahun berselang, Indeks Demokrasi Global 2011 justru menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 167 negara yang disurvei; jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Nugini (59), dan Thailand (57). 

Indonesia bahkan masuk dalam kategori "cacat demokrasi" (flawed democracy); yang antara lain ditandai dengan pemilu yang kotor, pemerintahan yang korup dan ingkar janji, serta keterancaman pluralisme (Economist Intelligence Unit, 2011).

Nada-nada minor yang mempertanyakan pencapaian/manfaat demokrasi di Indonesia masih terus bergema dari waktu ke waktu. Demokrasi yang substansial bukan sekadar prosedural. 

Bila ditelisik lebih jauh lagi, bahkan demokrasi prosedural kita hari-hari ini pun sudah sangat layak dipertanyakan. Agenda pembajakan demokrasi yang dilakukan segelintir orang/kelompok terasa kian nyata.

Aturan berkaitan pemilu berulangkali mengalami revisi. Bila diperiksa lebih lanjut, motivasinya ternyata tak jauh-jauh dari tarik menarik kepentingan kekuatan politik yang ada. Manfaat untuk rakyat sebagai pemilih, nyaris tidak ada sama sekali.

Etika para elit sudah lama raib entah ke mana. Panggung pemilu di pusat dan daerah sekadar ajang bancakan dan transaksi buat mereka, sementara rakyat hanya sebagai penggembira. Bukti paling nyata adalah praktik politik uang dan politik dinasti yang kian subur dan seolah dianggap sebagai kewajaran.

Dalam praktik berdemokrasi, salah satu tugas penting lembaga legislatif adalah mengawasi kinerja eksekutif. Namun baru-baru ini kita dikejutkan kasus korupsi di kabupaten Kutai Timur. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati sekaligus Ketua DPRD nya, yang ternyata merupakan pasangan suami-istri.

Praktik dinasti politik paling fenomenal terjadi di Banten. Mayoritas kekuasaan eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi/kabupaten berhasil dikuasai oleh mereka yang punya hubungan kekerabatan dengan mantan Gubernur yang juga terpidana korupsi, Ratu Atut Chosiyah.

Pilkada 2020 yang sudah di depan mata juga menjadi panggung pertarungan para kerabat pejabat publik saat ini. Tak terkecuali kerabat presiden Jokowi. Anak dan menantunya sudah dipastikan akan ikut bertarung di Solo dan Medan. Majunya Gibran praktis menjadikannya sebagai orang pertama berstatus anak Presiden RI yang ikut bertarung di Pilkada. Langkah Gibran juga sangat mulus karena diprediksi hanya akan melawan kotak kosong.  

Pembajakan atas demokrasi membuat kita tak punya banyak pilihan untuk menentukan masa depan. Harapan untuk tampilnya kandidat-kandidat terbaik di panggung pemilu sudah dihambat sejak awal melalui penerapan aturan ambang batas dan berbagai persyaratan yang sangat sulit dipenuhi. Alhasil, pilihan kita dibatasi pada kandidat-kandidat yang lahir dari proses transaksi politik para elit.

Bayangkan, kandidat yang akan berlaga di pilkada pun harus diputuskan oleh pengurus partai politik di tingkat pusat. Ini yang dialami oleh wakil walikota Solo, Achmad Purnomo (dan banyak lagi). Sudah mendapat rekomendasi dari pimpinan daerah, tapi akhirnya tak bisa maju karena pengurus partai di tingkat pusat punya pilihan lain.

Kondisi-kondisi semacam ini kian diperparah lagi oleh perilaku pemilih kita yang kian hari kian apatis dan pragmatis. Barangkali dipicu oleh rasa frustasi yang mendalam, kebanyakan pemilih justru kian toleran terhadap praktik politik uang dan menganggapnya sebagai hal yang lazim. Jargon "ambil uangnya, jangan pilih orangnya" seakan-akan dianggap sebagai bentuk kebijaksanaan dan kecerdasan politik.          

Wijayanto, salah seorang pengurus LP3ES Jakarta sekaligus Dosen FISIPOL UNDIP mengatakan, bahaya paling mencemaskan dari berbagai kondisi saat ini adalah hilangnya imanjinasi politik dan daya kreatif kita. Segala yang terjadi seolah takdir yang harus diterima. Kita kehilangan imajinasi tentang hal-hal baik dan ideal yang seharusnya selalu diupayakan untuk dicapai.

Keadilan sosial

Pembukaan UUD 1945 memuat salah satu tujuan negara kita adalah memajukan kesejahteraan umum. Senada dengan itu, sila kelima Pancasila juga menyatakan "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia".

Sudah tujuh puluh lima tahun Indonesia merdeka dan selama itu pula mayoritas kita masih terus bertanya tentang kesejahteraan. Kita mendambakan kesejahteraan sosial tapi yang tampak nyata justru ketimpangan sosial. Segelintir orang di negeri ini punya aset dan kekayaan yang konon tak akan habis sampai tujuh turunan. Pada saat yang bersamaan, jutaan orang masih hidup dalam perangkap kemiskinan.

Bicara soal ketimpangan juga tercermin dalam praktik pembangunan yang masih sentralistik dan Jawa sentris. Gagasan ideal tentang otonomi daerah kian jauh panggang dari api. Contoh paling konkret, pada masa penanganan pandemi Covid-19 saat ini, dari 600 an triliun rupiah dana yang dialokasikan untuk pemulihan ekonomi nasional, dana dukungan ke pemda (34 provinsi, 514 kabupaten/kota) hanya di kisaran angka 2,5 persen.

Oligarki kekuasaan di pusat dan daerah kian mencampakkan cita-cita luhur mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Para elit sibuk memperebutkan sumber daya untuk memperkaya diri dan kelompoknya sekaligus abai memberikan jaminan sosial pemenuhan kebutuhan dasar minimal bagi warganya.

Sehari-hari kita masih menemukan anak putus sekolah yang dipaksa harus bekerja membanting tulang demi mendapatkan uang. Orang sakit yang tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan karena tidak sanggup membayar. TKI bermodal nekat yang berangkat ke luar negeri hanya untuk mendapatkan pekerjaan. 

Gagasan-gagasan untuk mengatasi semua persoalan itu memang selalu ramai dibincangkan khususnya saat menjelang pemilu. Para kandidat berlomba menebar janji, sampai-sampai yang tidak masuk akal pun berani diucapkan. Tujuannya semata-mata tentu saja untuk mendulang suara. Bila sudah mendapatkan kekuasaan, janji-janji itu langsung menguap dan tak kunjung terealisasi.    

Inilah realita praktik kehidupan demokrasi di Indonesia, negara yang konon sedang menjalani era reformasi. Bayangkan betapa malangnya nasib kita; demokrasi sudah dibajak segelintir orang, keadilan sosial pun sebatas ilusi yang entah kapan jadi kenyataan.   

***

Jambi, 21 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun