Pengertian paling awam tentang demokrasi, sesuai asal usul katanya adalah kekuatan/kekuasaan rakyat (demos dan kratos). Abraham Lincoln mendefenisikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Daulat dan kepentingan rakyat menjadi kata kuncinya.Â
Pertanyaannya, bagaimanakah praktik kehidupan demokrasi di Indonesia? Sekadar mengingatkan, 12 November 2007, Indonesia pernah mendapatkan Democracy Award, dari International Association of Political Consultants (IAPC) di Bali, dan bahkan diakui sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia (setelah Amerika Serikat dan India).
Meskipun sayangnya, hanya empat tahun berselang, Indeks Demokrasi Global 2011 justru menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 167 negara yang disurvei; jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Nugini (59), dan Thailand (57).Â
Indonesia bahkan masuk dalam kategori "cacat demokrasi" (flawed democracy); yang antara lain ditandai dengan pemilu yang kotor, pemerintahan yang korup dan ingkar janji, serta keterancaman pluralisme (Economist Intelligence Unit, 2011).
Nada-nada minor yang mempertanyakan pencapaian/manfaat demokrasi di Indonesia masih terus bergema dari waktu ke waktu. Demokrasi yang substansial bukan sekadar prosedural.Â
Bila ditelisik lebih jauh lagi, bahkan demokrasi prosedural kita hari-hari ini pun sudah sangat layak dipertanyakan. Agenda pembajakan demokrasi yang dilakukan segelintir orang/kelompok terasa kian nyata.
Aturan berkaitan pemilu berulangkali mengalami revisi. Bila diperiksa lebih lanjut, motivasinya ternyata tak jauh-jauh dari tarik menarik kepentingan kekuatan politik yang ada. Manfaat untuk rakyat sebagai pemilih, nyaris tidak ada sama sekali.
Etika para elit sudah lama raib entah ke mana. Panggung pemilu di pusat dan daerah sekadar ajang bancakan dan transaksi buat mereka, sementara rakyat hanya sebagai penggembira. Bukti paling nyata adalah praktik politik uang dan politik dinasti yang kian subur dan seolah dianggap sebagai kewajaran.
Dalam praktik berdemokrasi, salah satu tugas penting lembaga legislatif adalah mengawasi kinerja eksekutif. Namun baru-baru ini kita dikejutkan kasus korupsi di kabupaten Kutai Timur. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati sekaligus Ketua DPRD nya, yang ternyata merupakan pasangan suami-istri.
Praktik dinasti politik paling fenomenal terjadi di Banten. Mayoritas kekuasaan eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi/kabupaten berhasil dikuasai oleh mereka yang punya hubungan kekerabatan dengan mantan Gubernur yang juga terpidana korupsi, Ratu Atut Chosiyah.
Pilkada 2020 yang sudah di depan mata juga menjadi panggung pertarungan para kerabat pejabat publik saat ini. Tak terkecuali kerabat presiden Jokowi. Anak dan menantunya sudah dipastikan akan ikut bertarung di Solo dan Medan. Majunya Gibran praktis menjadikannya sebagai orang pertama berstatus anak Presiden RI yang ikut bertarung di Pilkada. Langkah Gibran juga sangat mulus karena diprediksi hanya akan melawan kotak kosong. Â