Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ancaman Hukuman Mati Pelaku Korupsi, Antara Ada dan Tiada

16 September 2018   00:41 Diperbarui: 16 September 2018   00:55 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Warta Kota/Henry Lopulalan)

Seorang anggota legislatif kota Mataram berinisial HM, terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Kejaksaan Negeri kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. HM ditangkap bersama dengan Kepala Dinas Pendidikan berinisial SD dan seorang kontraktor berinisial CT. 

Adapun kasus yang menjerat tiga orang tersebut adalah dugaan pemerasan dana rehabilitasi gempa bumi untuk gedung SD dan SMP. HM yang merupakan Ketua Komisi IV DPRD Kota Mataram sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara yang lain masih berstatus sebagai terperiksa, saksi.

Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina meminta Kejaksaan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, menindak tegas kasus dugaan korupsi anggota DPRD kota Mataram meski barang bukti yang ditemukan "hanya" Rp 30 juta. 

Almas mengatakan, anggota DPRD Mataram tersebut bisa dijerat dengan hukuman maksimal lantaran uang yang dimintanya adalah uang untuk dana bencana.

"Kalau ditanya apakah mungkin hukuman sangat berat mungkin saja, karena di Undang-Undang tipikor (Tindak Pidana Korupsi) sendiri apalagi itu konteksnya untuk dana bencana ancaman hukumannya bisa maksimal," ujar Almas.

Argumentasi Almas memang jelas tercantum di dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Ancaman hukuman maksimal (hukuman mati) tercantum khususnya di dalam pasal 2 UU Tipikor yang bunyinya sebagai berikut,

Ayat 1

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Ayat 2

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. 

Pada penjelasan pasal di UU tersebut dikatakan, klausul 'keadaan tertentu' dalam pasal 2 ayat (2) ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Mungkinkah ?

Secara legal formal, penjatuhan hukuman maksimal (mati) pada pelaku korupsi khususnya yang dilakukan dalam "keadaan tertentu" jelas bisa dilakukan. Tinggal membuktikan di pengadilan secara sah dan meyakinkan bahwa seseorang itu benar-benar telah melakukan perbuatan tersebut (korupsi). 

Namun bila ditanya pendapat orang per orang, barangkali masih banyak yang meragukan. Keraguan itu berasal dari fakta-fakta yang tersaji sampai hari ini. 

Faktanya, kita memang belum pernah mendengar ada tersangka korupsi yang dijatuhi vonis hukuman mati. Berbeda dengan pelaku terorisme atau kejahatan narkoba yang sudah beberapa orang divonis dan menjalani hukuman mati. 

Meski selalu menggembar-gemborkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), namun publik sepertinya belum melihat ada upaya dan keseriusan yang nyata khususnya para penegak hukum terhadap para pelaku korupsi. 

Jangankan dijatuhi hukuman maksimal, banyak tersangka korupsi hanya dijatuhi hukuman ringan bahkan jauh lebih ringan dari hukuman yang diterima si maling ayam. Beberapa tersangka korupsi bahkan ada yang bebas dari segala tuntutan. 

Tak heran, hukuman yang dijatuhkan pengadilan pada koruptor sejauh ini nyaris tak membuat calon-calon koruptor lain menjadi takut apalagi jera. Semakin tak heran lagi, kita terus menyaksikan para koruptor yang seakan berlomba-lomba melakukan korupsi. 

Di satu daerah, nyaris seluruh anggota legislatifnya harus berurusan dengan KPK akibat terjerat korupsi. Luar biasa dan betapa malang nasib warganya. 

Satu hal lagi, mereka yang pernah menjalani hukuman sebagai terpidana korupsi alias koruptor ternyata masih diberikan kesempatan atau bisa dikatakan hak istimewa untuk maju sebagai calon anggota legislatif (caleg). 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu sebenarnya sudah punya niatan baik melakukan terobosan hukum dengan menerbitkan PKPU yang intinya melarang eks napi koruptor maju sebagai caleg. Tujuannya agar pemilu dan calon-calon yang terpilih benar-benar berkualitas. 

Namun apa daya, langkah KPU ini tak didukung oleh partai politik yang notabene pernah menandatangani pakta integritas mendukung pemilu bersih bebas KKN, salah satu poinnya tidak akan mengajukan eks napi korupsi sebagai caleg. Hanya beberapa partai politik yang dengan tegas mendukung KPU melalui pernyataan sekaligus tindakan. 

Sialnya, KPU juga tak didukung "rekan sejawatnya" yaitu Bawaslu yang justru meloloskan nama-nama caleg parpol berstatus eks napi korupsi yang sudah sempat dicoret KPU. Terakhir, bahkan MA (Mahkamah Agung) pun sudah memutus uji PKPU dianggap bertentangan dengan UU Pemilu. Dengan demikian, eks napi korupsi berhak dan bebas maju sebagai caleg di pemilu mendatang. 

Kalau sekarang publik kian meragukan penegakan hukum kita bisa tampil garang terhadap koruptor, tentu semua itu sangat beralasan. Jangankan menjatuhkan hukuman mati, mencegah para koruptor maju sebagai caleg saja kita tak mampu. 

Ancaman hukuman maksimal (mati) memang jelas ada dan tercantum dalam regulasi kita. Meskipun sayangnya dalam hal implementasi, ketentuan tersebut seperti antara ada dan tiada.

***

Jambi, 16 September 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun