“Kamu bisa bertanya dua tahun lagi, dan saat itu aku akan meminta maaf kepadamu karena aku tidak berusaha menghubungimu lagi setelah ini.”
Kata-kataku terdengar seperti petir di siang bolong. Dalam hati aku bersorak. Ini sama sekali bukan pembalasan, hanya soal bagaimana seharusnya aku bersikap wajar.
Dua tahun lalu, ia pergi, tanpa permisi.
Untuk kemudian datang lagi, dengan skala waktu yang tidak bisa diprediksi.
Dua tahun lalu, aku menunggunya dengan debar yang sama.
Untuk kemudian mengerti bahwa menunggu seseorang yang tidak berniat datang adalah kesia-sian paling bodoh sedunia.
Maka kali ini, untuk alasan yang tidak pernah dia katakan atas kepergiannya, aku melakukan hal yang sama. Meski berat, meski tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Jika dia bisa memilih datang dan pergi pada saat kapan pun yang dia mau? Lalu kenapa aku harus memilih tetap tinggal, dan menunggu?
***
30/12/14
23:25 WIB
Langit Senja
Yogyakarta