“Tinggal di sana pasti menyenangkan ya?”
Dia mengedikkan bahu, tersenyum kecil. “Tidak jauh beda dengan di sini.”
“Begitu ya? Kupikir jauh lebih menyenangkan di sana...”
Ia, laki-laki itu tersenyum. Ada hela napas berat yang mati-matian ia tahan untuk dihembuskan. Sedang aku di sebelahnya sudah lebih dulumembisu. Urung melanjutkan kalimatku.
“Aku minta maaf karena tidak berusaha menghubungimu,”
“Terlalu berlebihan,” aku berusaha tertawa, menyorot satir wajah bersalahnya.“lagipula kenapa harus menghubungiku? Ada hal lain yang lebihpenting untuk kaulakukan bukan?”
Dia menatapku canggung, merenung.“Aku bisa menjelaskan kenapa aku tidak memberimu kabar waktu itu,”
“Tidak perlu.” Aku menggeleng, tersenyum menatapnya jumawa, “pukul berapa sekarang?”
“Tiga lebih satu, kenapa?”
Aku berdiri sebagai jawaban atas tanyanya berusan.
“Mau pergi kemana?”