Mohon tunggu...
rudi irawanto
rudi irawanto Mohon Tunggu... -

pengajar seni dan desain di Universitas Negeri Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Ikonitas Desain Nasional

12 April 2016   23:18 Diperbarui: 12 April 2016   23:30 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

Rudi Irawanto

Pengajar Prodi. Desain Komunikasi Visual

FS Universitas Negeri Malang

Desain nasional merupakan wacana yang terus tumbuh sepanjang waktu. Desain menjadi salah satu penanda puncak-puncak kebudayaan suatu masyarakat.Kehadiran desain tidak dapat dilepaskan dari kehadiran kebudayaan tersebut.Kebudayaan merupakan akmulasi bentuk-bentuk ide, tingkah laku dan juga produk-produk. Desain merupakan salah satu ungkapan visual yang dapat mencitrakan semangat masyakat pendukung kebudayaan tersebut (Widagdo, 2002).

Desain apapun bentuknya dilahirkan untuk memperbaiki sesutu yang dinilai tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Desain diharapkan mampu menjawab dari permasalah zaman. Peradaban dilahirkan dari berbagai elemen. Desain merupakan salah satu yang menjadi tanda-tanda peradaban sebuah bangsa. Pada kasus di Indonesia pencarian identitas budaya membawa implikasi pada pencarian ikon-ikon desain nasional.

Pencarian identitas tersebut tidak pernah berhenti hingga saat ini. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang masih muda. Indonesi asebgai sebuah negara tidak diikat oleh kesatuan etnis atau budaya yang sama, tetapi diikat oleh kesatuan geopolitis yang cenderung mengambang.. Sebuah negara yang secara struktur budaya memiliki tingkat disparitas yang besar. Ikatan geopolitik membentuk wilayah-wilayah yang dibayangkan memiliki ikatan emosional yang sama (imagined communities). Budaya yang dibentuk dari negara yang hanya diikat oleh satuan geopolitik rentan terhadap konflik dan pergeseran sosial.

Budaya Indonesia merupakan akumulasi budaya-budaya dari wilayah-wilayah yang dibayangkan tersebut. Fenomena tersebut membawa implikasi pada produk-produk budaya yang dihasilkan. Desain sebagai sebuah produk budaya mengalami kondisi yang sama. Desain  Indonesia merupakan akumulasi desain yang dibayangkan ada di Indonesia.

Negara muda seperti Indonesia masih membutuhkan waktu lebih lama untuk menciptakan satu karakter yang jelas. Jepang atau korea membutuhkan penyiapan lebih dari 20 tahun untuk menjadi kekuatan desain baru di Asia. Hallyu atau korean wafe dibangun secara sinergis dan berkesinambugan yang bersifat longitudinal, padahal  korea merupakan bangsa yang berlatar belakang etnis atau karakter yang kuat. Berangkat dari kondisi tersebut dapat dipahami bila Indonesia membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Desain Indonesia yang memiliki karakter Indonesia akan lahir dalam waktu yang jauh lebih lama dari yang diperkirakan.

Karakter Desain Nasional

Karakter merupakan penanda yang terlihat dari sebuah produk. Karakter merupakan kondisi subjektif yang lahir dari pemikiran objectif. Objectifikasi merupakan salah satu penanda dari sebuah produk desain, mengingat desain merupakan wilayah objectif dalam tataran konsep maupun produksinya. Rekam jejak karakter desain nasional tidak dapat ditelusuri dengan mudah. Kondisi tersebut berkaitan dengan pencarian akar desain nasional yang masih terus dilakukan.

Desain Indonesia dilahirkan dari struktur masyarakat yang terus berkembang. Para perajin, tukang-tukang bangunan, atau tukang letter adalah figur-figur yang mendorong kelahiran desain nasional, meskipun keberadaan mereka tidak mendapat tempat yang semestinya. Desain nasional tidak dilahirkan dari kalangan akademisi yang terstuktur dan bersifat baku. Desain nasional merupakan kumpulan karya desin yang ditujukan dan disesuaikan dengan kondisi masyarkat sekitarnya. Para perajin menghasilkan karya yang baik untuk ukuran mereka, dan baik bagi konsumen yang ditujunya. Lukisan atau karya desain grafis pada body becak, bak truk, ataupun warung-warung tenda kaki lima, adalah desain nasional yang sebenarnya.

Desain nasional bukan menjadi desain yang elitis yang hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat khusus, sehingga produknya memiliki hak prerogratif  untuk menyandang perdikat desain nasional. Desain nasional seringkali dipersepsikan sebagai desain produk dalam negeri yang dibuat berdasarkan kaidah-kaidah tradisionalisme. Kodisi tersebut dapat dilihat pada kasus wisma Dharmala Sakti yang pernah di posisikan sebagai representasi desain nasional. Produk desain tersebut  mengusung tema-tema eklektik dengan pemaduan berbagai elemen tradisionalisme dalam satu konteks.

Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa desain nasional menjadi hasil dari  penjumlahan dari desain tradisional. Pemaduan dalam tataran visual sering dikategorikan sebagai nasionalisme desain. Penggunaan karater wayang, batik, atau interior kudus dianggap cukup mewakili desain nasional. Desain nasional cukup dimaknai  sebagai pengangkatan ikon-ikon  visual tersebut.

Predikat nasional dalam karya desain diekspresikan dalam ikon-ikon visual yang hadir sebagai penanda dalam produk tersebut. Pada konteks yang lebih luas desain nasional merupakan produk yang dihasilkan di Indonesia, terlepas dari kesesuian produk tersebut dengan konteks lokalitas. Predikat made in indonesia bukan merupakan jaminan bahwa produk tersebut menjadi bagian dari desain indonesia, tetapi produk tersebut merupkan bagian dari rangkian bisnis di Indonesia.

Desain nasional pada prinsipnya merupakan bangunan utuh dari konsep sampai produk yang di peruntukkan bagi  masyarakat Indonesia. Konsep desain nasional tidak hanya dicitrakan melalui labeling made in Indonesia, tetapi merupakan produk yang merangkum kebutuhan masyarakat di Indonesia. Persoalan yang kemudian mengemuka adalah sikap masyarakat terhadap kebutuhan real mereka butuhkan.

Masyarakat membutuhkan desain yang membumi dan tidak berjarak dengan lingkungan sekitarnya. Bila melihat karya-karya desain tradisional prinsip harmonisasi dengan alam merupakan salah satu indikator  karya dikatakan baik atau buruk. Predikat baik atau buruk dalam karya desain tradisonal menggunakan paradigma mitologis ataupun kosmologis. Mitologi dalam konsep desain tradisional merupakan rangkuman ajaran tentang etika, ekologi, maupun estetika, sehingga pernyataan keburukan dalam karya desain tradisonal pada prinsipnya merupakan pernyataan tentang penentangan terhadap keyakinan (Mangunwijaya, 2009).

Memahami desain nasional berarti memahami konsep budaya nasional secara utuh. Ikon-ikon visual sebagai penanda nasionalisme desain tidak cukup mewakili semangat nasional. Semangat nasional dalam desain diwujudkan dalam tataran konsep dan bentuk. Ikon desain nasional masih terus berkembang mengingat budaya sebagai induk desain masih terus mengalami proses evolutif. Sejarah desain Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pergeseran orientasi budaya. Membaca desain Indonesia dapat dirunut dari membaca pergeseran budaya yang tengah terjadi.

Komersialitas Ikonis

Membaca karya desain pada prinsipnya membaca sejarah budaya bangsa. Produk-produk desain merupakan produk budaya fisik yang lebih mudah dipahami secara kasat mata. Bentuk-bentuk karya fisik dapat mencitrakan konsep dibelakang karya tersebut. Persoalan yang dapat ditelusuri adalah karakter ikonitas pada beberapa karya desain nasional. Ikonitas merupakan repersentasi realitas. Ikon-ikon menggambarkan rangkaian pemikiran yang lebih rumit.

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sederhana. Kesederhaan dalam sikap dan poal fikir berimbas pada kesederhaan bentuk karya-karya visual yang dihasilkan. Konsep sederhana dalam desain tidak dipahami sebagai sesuatu yang dibuat sekadarnya, tetapi merupakan produk simplikasi konsep. Kesederhaan bentuk tidak bermakna ketidakmampuan dalam mencerna masalah, tetapi merupakan implikasidari sikap budaya yang berfikir simplisitas dan mendorong harmonisasi. Harmonisasi merupakan prinsip yang berpegang pada kaidah simplisitas.

Desain atau karya budaya fisik yang lain dipahami sebagai aktivitas yang sederhana yang tidak berhubungan dengan konsep teologis, sehingga kerangka fikir yang digunakan adalah kerangka fikir yang aplikatif.

Konsep etika jawa merupakan representasi etika nusantara mendasarkan konsepnya keindahan pada kaidah etika. Etika jawa berpangkal pada 2 konsep utama, yaitu konsep rukun dan konsep hormat. Konsep rukun merupakan konsep yang berpijak pada keharmonisan alam, sedangkan konsep hormat merupakan konsep yang berprinsip pada keterpaduan dengan lingkungan sosial setempat. Perbedaan yang terlampau signifikan akan membawa implikasi konflik. Etika Jawa berpola pada penghindaran atau pencegahan terhadap konflik. Konflik merupakan sebuah kecacatan terhadap prinsip-prinsip harmonisasi.

Tampilan visual yang tidak terlampau mencolok dengan lingkungan merupakan salah satu model aplikasi konsep-konsep estetika nusantara. Melihat fenomena tersebut mengubah persepsi tentang tampilan visual dalam kerangka estetis tidak dapat dihasilkan dari masyarkat. Perubahan perseptual terhadap tampilan keindahan dapat dimulai dengan memberikan keleluasaan terhadap seni-seni visual di luar struktur desain masyarakat. Seni atau desain yang lahir di luar struktur wajar seni visual masyarakat dianggap sebagai fenomena yang lazim. 

Ketidakharmonisan akan dibaca bila seni atau desain tersebut dilahirkan dalam struktur masyarakat yang normal. Bangunan rumah tinggal merupakan salah satu karya desain yang di nilai sebagi simbolitas kerukunan dan kemarmonisan. Bentuk rumah-rumah yang berbeda secara visual akan dimaknai sebagi perbedaan yang mengancam keharmonisasian yang telah terjalin. Desain yang kreatif dan cenderung menetang kelaziman tidak lahir dari strktur seni dan desain pada wilayah domestik, tetapi lahir dari kawasan non domestik.

Perbedaan dapat ditolerasi secara baik bila seni-seni visual tersebut tidak berkaitan secara langsung dengan seni-seni kemasyarakatan secara umum. Kondisi tersebut dapat dilihat dari penerimaan yang baik terhadap struktur desain bangunan non rumah tinggal. Struktur desain yang tidak lazim bahkan berbeda dapat diterima oleh masyakat. Salah satu karakter masyarakat Indonesia adalah mampu menerima perbedaan bila kondisi tersebut terjadi diluar sistem etika yang dianut. Kasus pada bidang desain menunjukkan hal tersebut. Desain yang tidak biasa bahkan berbeda dapat diterima, senyampang desain tersebut berada diluar sistem etika dan estetika yang dihadapi.

Bangunan komersial merupakan ikonitas terhadap desain nasional yang tengah berkembang. Bangunan komersial mampu mencitrakan perkembangan fola fikir desain dari masyarakat pendukungnya. Bangunan komersial membawa semangat kebaharuan tentang tampilan visualnya. Unsur kebaharuan menjadi daya tarik utama dalam struktur ikonitas komersial. Membaca perkembangan desain nasional dapat dimulai dengan membaca ikon-ikon visual dalam bangunan komersial. Ikon-ikon tersebut mencitrakan perkembangan pemikiran desain yang tengah terjadi.

Warna dan struktur  bangunan ruko merupakan salah satu ikon visual yang menggambarkan pola fikir masyarakat pendukungnya. Melihat desain ruko sejatinya melihat desain nasional yang tengah berkembang. Fenomena desain nasional tidak dilihat di pusat desain dan di kampus-kampus, tetapi dilihat di karya bangunan ruku, seni di lukisan bak truk, body becak, atau grafis di warung makan kaki lima.

Fenomena desain yang sering terabaikan dari kacamata akademisi. Padahal struktur visual yang dihasilkan “sampah-sampah” visual tersebut adalah kesejatian desain nasional. Desain yang tidak menciptakan sekat bagi para penikmatnya. Desain nasional merupakan desain yang membumi dan sarat dengan ekspresi yang sebenarnya.Fenomena desain punk, hip hop dan gaya-gaya jalanan di Amerika pada dasa warsa 1980 an menjadi ikon desain Amerika. Fenomena yang sama dapat terjadi di Indonesia bila para akademisi mempertimbangkan fenomena tersebut sebagai sebuah karya yang diakui.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anderso,  Benedict R O’Gorman. 2001. Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Lamm C, Robert. 1988. The Humanities in Western Culture A Search for Human Value. Iowa: Wm. C. Brormn Publishers.

Magnis, Suseno. 1997. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mangunwijaya.2009. Wastu Citra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Papanek, Victor. 1982. Design for the Real World. London: Granada

Widagdo. 2001. Desain dan Kebudayaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun