Awal Januari tahun ini, sekolah kami kedatangan siswa baru dari Australia. Di sana, ia bersekolah di sekolah umum. Sebenarnya, ia adalah siswa lama di Yayasan kami. Saat kelas IV SD, ia ikut orang tuanya yang melanjutkan studi di sana. Sekarang, ia duduk di kelas VIII. Empat tahun di Australia! Bisa dibayangkan fasihnya ia berbahasa Inggris!
Sejak saya mengajar di SD delapan tahun lamanya sampai sekarang mengajar di SMP hampir enam tahun, yayasan kami memang sering menerima siswa pindahan luar negeri. Ada yang pindahan dari Australia dan sejak kecil mereka di sana. Ada yang tadinya di Indonesia pindah ke Jepang kemudian pindah lagi ke Indonesia. Ada yang juga pindah ke Amerika dan kembali mendarat di sekolah ini. Ada yang memang sejak kecil di Amerika lalu pindah di sini. Ada yang pindah ke Arab Saudi saat SD dan menjelang lulus SMP kembali ke yayasan ini. Saat kembali ke Indonesia dan bersekolah di sini, hanya sesaat mereka mengalami kendala bahasa. Namun seiring waktu, mereka bisa beradaptasi dan mengungkapkan berbagai hal dengan baik menggunakan bahasa Indonesia.
Saat saya mengajar kelas 1 dan kelas 2 SD, murid pendatang ini bisa berbahasa Indonesia dengan baik walau sejak batita mereka berada di luar negeri. Sesekali memang saya berbahasa Inggris bila mereka terlihat kurang paham. Beberapa guru kelas yang memegang hampir seluruh pelajaran secara spesial menggunakan bahasa Inggris saat mengajar. Apalagi memang ada program pembiasaan dua bahasa asing, Arab dan Inggris di waktu-waktu tertentu.
Sistem pembelajaran di SD dengan di SMP berbeda. Di SD, setiap kelas memiliki kelas tersendiri dan sepanjang KBM (Kegiatan Belajar-Mengajar) memang berada di kelas. Guru kelas mengajar berbagai mata pelajaran di kelas itu dan saat KBM memang diharapkan mereka menggunakan tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Arab dengan percakapan sederhana. Jadi, untuk anak-anak spesial dari "luar" bisa terpenuhi kebutuhan komunikasinya, selain memang pembiasaan bahasa asing.
Di SMP, sistem pembelajaran menggunakan sentra dan perpindahan kelas (moving class). Ada kelas agama, matematika, seni-budaya, IPS-PKn, biologi, fisika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Arab, dan TIK. Siswa berpindah kelas sesuai dengan jadwal mata pelajaran. Bila jadwalnya pelajaran matematika, mereka pindah ke kelas matematika. Bila jadwal berikutnya belajar fisika, mereka pindah ke ruang fisika. Begitu seterusnya.
Di kelas-kelas tersebut, setiap guru diharapkan menerapkan tiga bahasa untuk percakapan sederhana dan pembuatan soal latihan dan ulangan. Untuk soal latihan dan ulangan, dibiasakan dua puluh persen menggunakan bahasa Inggris. Namun, ada beberapa kelas yang spesial tidak melaksanakan program ini. Di kelas bahasa Arab, tidak ada percakapan bahasa Inggris. Di kelas bahasa Inggris tidak ada percakapan bahasa Arab. Di kedua kelas ini, bahasa pengantar tetap bahasa Indonesia. Lebih spesial, tentu kelas bahasa Indonesia. Di kelas bahasa Indonesia, tentu tidak ada penggunaan bahasa Inggris atau bahasa Arab. Jelas murni bahasa Indonesia, kecuali sedang belajar kata serapan dan kata baku dan tidak baku!
Saya membuat peraturan, saat berada di kelas bahasa Indonesia, siswa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar tanpa terkecuali. Tak ada ada bahasa asing, bahasa daerah, atau bahasa gaul di sini, apalagi bahasa alay. Saya ajak mereka berdiskusi, mengapa peraturan ini diterapkan. Selain untuk pembiasaan agar mereka terampil berbahasa secara lisan dengan tertata dan beretika, hal ini juga sebagai upaya pelestarian bahasa Indonesia.
Di beberapa kesempatan, saya ajak mereka menganalisis artikel tentang bahasa Indonesia yang semakin asing di negeri sendiri dan diprediksi hampir punah atau video tentang pentingnya berbahasa Indonesia. Pernah juga dalam materi menganalisis wawancara, saya sengaja menampilkan video salah seorang blogger yang terkenal dengan penggunaan bahasa gaulnya. Saya membiarkan mereka memberikan komentar. Ada pro dan kontra dengan alasan masing-masing. Syukurnya, di akhir pembelajaran, mereka sepakat bahwa bahasa Indonesia yang baik dan benar perlu dilestarikan dan digunakan di berbagai kesempatan terutama di acara formal.
Kembali ke kelas bahasa Indonesia, saya sengaja memasang tulisan besar "Mari Berbahasa Indonesia Yang Baik dan Benar!" di bawah poster afirmasi . Di dalam poster afirmasi, bertuliskan, "Bahasa Indonesia, Jembatan Pemersatu Bangsa." Ketika anak terpeleset lidahnya berbahasa gaul dan tidak baku, saya akan menegurnya. Saya persilakan teman-teman turut menegurnya. Ada kesepakatan, bila lebih dari tiga kali anak tidak berbahasa Indonesia yang baik dan benar, maka uang lima ratus rupiah melayang masuk kotak denda. Lumayan, uangnya bisa untuk membeli buku baru, menambah koleksi bacaan di kelas bahasa Indonesia.
Etika ingin melakukan sesuatu juga jadi perhatian di kelas ini. Hal ini saya lakukan semata-mata agar mereka terbiasa berbicara yang santun. Misalkan anak ingin izin buang hajat. Biasanya anak dengan singkat bicara, "Bu, kamar mandi!" Wah, spontan saya menjawab sambil tersenyum, "Maaf, Nak! Kamu salah alamat. Ibu yang cantik ini bukan kamar mandi! Coba tolong ulangi keinginanmu dengan bahasa yang santun dan lengkap!" Nah ini dia jawaban yang saya tunggu, "Maaf Bu, permisi, bolehkah saya izin ke kamar mandi?" Dengan senang hati saya membalas, "Oh ya, silakan!"
Pernah juga ada anak kelas lain yang tiba-tiba masuk kelas bahasa Indonesia mengetuk pintu. "Permisi, Si Fulan ada nggak?" Saya tegur, "Tolong ulangi dengan bahasa Indonesia yang santun, Nak! Di sini ada Ibu dan teman-teman." Anak itu keluar mengetuk pintu dan berdiri di depan kelas. "Assalamu'alaikum, Bu. Permisi, maaf mengganggu waktunya sebentar. Bisakah saya bertemu dengan Fulan, Bu?" Saya tersenyum sambil menjawab, "Oh, ya, silakan. Terima kasih,Nak!"
Memang, sepertinya kaku dan kadang mereka tertawa sendiri dengan pembicaraan mereka. Tetapi ini butuh pembiasaan sampai mereka merasakan bahwa berbahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi kebutuhan mereka dan bermanfaat bagi kehidupan sosial mereka. Selain itu, supaya kecintaan mereka terhadap bahasa Indonesia makin melekat. Siapa lagi yang akan melestarikan bahasa Indonesian kalau bukan rakyatnya sendiri? Saya biarkan juga, saat mereka meralat sendiri obrolan di antara mereka. Biarkan mereka belajar menata kata dan merangkai kalimat berusaha melestarikan bahasa Indonesia dengan sehari-hari menggunakannya. Kadang mereka tertawa sendiri,"Seperti telenovela dan film-film dubbing, ya...Bu!" Biasanya saya menjawab, "Jangan mau kalah sama Naruto dan Sinchan, walau mereka orang Jepang, tetapi mereka pintar berbahasa Indonesia!" He...he...
Saat siswa di kelas sebelumnya menggunakan bahasa asing atau bahasa gaul, masuk ke kelas bahasa Indonesia kadang terbawa. Ketua kelas menyiapkan pembelajaran, "Extention, please! Ready! Great to our teacher!" Saya segera menegurnya, "Maaf, ini kelas bahasa Indonesia! Tolong berbahasa Indonesia!" Begitu juga saat anak mulai menggunakan bahasa daerah atau bahasa gaul, sambil menunjuk tulisan "Mari Berbahasa Indonesia Yang Baik dan Benar", saya refleks menegur, "Maaf, ini kelas bahasa Indonesia! Tolong berbahasa Indonesia!" Hal ini menular pada anak-anak. Saat ada anak yang lupa, kadang spontan serempak mereka berteriak, "Maaf, ini kelas bahasa Indonesia! Tolong berbahasa Indonesia!"
Pun saat mereka meminta izin menggunakan bahasa gaul membuat cerita, naskah drama, atau dialog. Saya persilakan, selama memang itu sesuai dengan kenyataan sehari-hari. Contohnya dialog antar preman.Tidak mungkin preman menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Paling tidak pengantar dalam cerita tetap menggunakan bahasa Indonesia sesuai kaidah.
Lalu, apa hubungannya dengan anak baru yang datang dari Australia itu? Nah ini dia masalahnya. Anak baru itu, sulit berbahasa Indonesia dan sering berbahasa Inggris. Kalau ia berbahasa Indonesia, terdengar dialeknya seperti Cinta Laura. Masih jauh fasih Si Jono, komedian yang bule itu dibandingkan anak baru ini. Ia lebih nyaman berbahasa Inggris dibandingkan berbahasa Indonesia. Ia mengakui bahwa kagok berbahasa Indonesia dan sulit mencari padanan bahasa Indonesia. Jadi, dengan teman-temannya pun ia berbahasa Inggris. Bagi teman-temannya, ini kesempatan untuk membiasakan diri berbahasa Inggris.
Di kelas, ia berbicara dengan bahasa Inggris. Di kelas matematika, IPS, fisika, dan kelas lainnya, bahasa Inggris jadi pengantarnya. Wah, apalagi di kelas bahasa Inggris. Ia tampak terdiam dan lama berpikir saat lawan bicaranya menggunakan bahasa Indonesia. Guru-guru jadi ikutan-ikutan berdialog dengan bahasa Inggris. Lebih sering dari biasanya. Ada pengaruh positifnya juga baik ke murid maupun ke gurunya.
Bagaimana saat di kelas bahasa Indonesia? Wah, saya dibuat pusing. Awalnya satu keliling, lama-lama bertambah jadi tujuh keliling, tambah hari tambah seribu keliling, he...he... Saat saya menjelaskan dengan bahasa Indonesia, ia tampak bingung tidak paham walau ia bilang, "ya...ya...ya..."
Belajar poster dan slogan, ia bingung cara membuat slogan dan selau bertanya dengan bahasa Inggris. Terpaksa saya menjelaskan dengan bahasa Inggris ala kadarnya. Meskipun dulu saya pernah mengajar bahasa Inggris di kelas rendah SD, namun kemampuan bahasa Inggris saya di bawah rata-rata. Apalagi saya tidak terlalu sering mengasah diri menggunakannya. Alasan klise, ingin seperti Pak Soeharto, Presiden kedua Indonesia itu, yang sangat menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Di manapun berada, beliau tetap berbahasa Indonesia. Merdeka! Padahal sih aslinya, saya yang tidak fasih berbahasa Inggris.
Anak ini lebih bingung lagi saat kegiatan mendengarkan dan menganalisis berita. Dua video berita ditayangkan, dibandingkan, dianalisis pokok-pokok berita, persamaan isi, dan perbedaan penyajiannya. Saya jadi spontan menjelaskan dengan berbahasa Indonesia disertai bahasa Inggris di depan kelas. Pun saat mengerjakan tugas menganalisis kliping berita yang dibawanya dan ia tidak paham lalu bertanya dengan bahasa Inggris. Saya spontan menjawab dengan bahasa Inggris, kadang campur dengan bahasa Indonesia. Reaksi anak-anak satu kelas? Satu per satu angkat tangan, "Maaf Bu, ini kelas bahasa Indonesia! Tolong berbahasa Indonesia!"
"Ibu didenda lima ribu. Sudah lebih tiga kali berbahasa asing."
"Lihat tulisan itu, mari berbahasa Indonesia yang baik dan benar!"
Sekali lagi anak-anak serempak bersuara, "Maaf Bu, ini kelas bahasa Indonesia! Tolong berbahasa Indonesia!"
Merah, kuning, hijau di langit yang biru wajah saya. Senjata makan tuan, kena batunya! Saya lihat wajah anak-anak, wajahnya penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah! Ha...ha...ha...seperti lagu anak-anak, ya! Ya, mereka benar-benar puas bisa membalikkan kata-kata saya. Karena saya telah menyalahi kodrat saya sebagai guru bahasa Indonesia dan melanggar kesepakatan bersama di kelas bahasa Indonesia, saya harus sportif minta maaf, tetapi tentu saya menjelaskan alasan saya melakukan itu.
Semua pembelajaran menggunakan bahasa Indonesia. Saya bayangkan, kalau si anak ini kesulitan berbahasa Indonesia, bagaimana pemahaman dan hasil belajarnya? Teks berita, buku paket, referensi, cerita, novel, lingkungannya, semua berbahasa Indonesia. Saya, guru-guru, dan teman-temannya yang terus-menerus berbahasa Inggris bersamanya atau ia yang harus beradaptasi sehari-hari berbahasa Indonesia di negara Indonesia terutama di kelas bahasa Indonesia?
Setelah dua bulan, saya bisa sedikit bernapas lega. Ia bisa mengikuti ulangan harian teori bahasa Indonesia dan mengisi dengan jawaban bahasa Indonesia yang tepat dan hasil yang cukup memuaskan. Begitu juga dengan ujian harian praktik, saya berikan poin maksimal untuknya, sama dengan empat orang temannya dan itu layak ia dapatkan. Teman-teman di kelas tak percaya ia mendapatkan poin tertinggi. Saya menjelaskan, bahwa ia pantas mendapatkannya. Ia mampu mengomentari secara lisan kutipan novel yang dibacanya dengan tepat dan alasan yang logis disertai tata bahasa Indonesia yang baik, vokal yang jelas, dan gestur yang tepat. Ia pun mempraktikan kembali komentarnya sama persis saat ia berhadapan dengan saya. Barulah teman-temannya percaya. Senyum sumringah terukir di wajahnya. "Yes!" Teriaknya.
Sudah lewat dua bulan, alhamdulillaah ia sudah bisa menyesuaikan diri dengan bahasa Indonesia terutama di kelas. Di luar kelas, kadang-kadang ia masih berbahasa Inggris dengan teman-teman dan guru-gurunya. Bagi kami, biarkanlah itu ia lakukan. Dampak positifnya, nuansa pembiasaan percakapan bahasa Inggris di sekolah jadi lebih hidup dan kemampuan bahasa Inggrisnya tetap terjaga. Biarkan waktu yang berbicara ia lancar berbahasa Indonesia lagi seperti sebelum ia menjelajah ke Australia. Tetapi, kami berharap, ia bisa menempatkan diri kapan harus berbahasa Indonesia dengan baik dan kapan pula harus berbahasa Inggris dengan baik.
Masih terngiang di telinga saya, "Maaf, ini kelas bahasa Indonesia! Tolong berbahasa Indonesia!"
Saya tersenyum sendiri bila mengingatnya. :-)
Tangsel, 13314
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H