Minimnya minat baca masyarakat juga menjadi satu faktor yang menyebabkan berita bohong tersebar luas dengan mudah. Banyak konsumen media yang enggan membaca berita singkat yang masuk di beranda, namun rajin untuk men-sharenya. Bisa jadi supaya dibilang melek literasi, rajin membaca, update berita, menaikkan rating, atau hal lain. Kita berharap para penyebar berita instan di media sosial mempunyai tajuan baik untuk mengedukasi masyarakat.
Literasi menjadi kunci membuka pengetahuan untuk memerangi berita bohong di kalangan masyarakat. UNESCO mencatat bahwa minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001 persen yang artinya dari seribu masyarakat Indonesia yang ada tercatat hanya satu yang memiliki kemampuan literasi.
Minat baca yang rendah diyakini sebagai problem literasi yang paling memprihatinkan masyarakat Indonesia. Merekonstruksikan suatu tatanan masyarakat baru dan bercirikan masyarakat yang belum melek untuk membaca. Membuat wacana diyakini sebagai suatu kebenaran yang tak perlu dikritisi, tak heran kabar burung yang sarat dengan unsur kebohongan sering lalu-lalang mengisi linimasa seluler masyarakat Indonesia. Fenomena tersebut sedikit banyak merupakan andil dari rendahnya kemampuan literasi masyarakat Indonesia. Hal yang perlu dilakukan hanyalah mengubah dan mengoptimalisasikan budaya literasi.
Perangi berita hoax mulai dari diri sendiri. Apabila mendapat informasi yang belum tentu kebenarannya jangan langsung dipercaya. Kroscek lebih dulu kebenarannya, minimal pernah ada media yang memuat informasi yang sama atau setidaknya pernah muncul di media menandakan bahwa informasi itu benar adanya. Jika ternyata informasi bohong sebaiknya simpan saja untuk diri sendiri, setidaknya kita sudah memutus mata rantai informasi hoax. Bahkan bila perlu nasihati penyebar infomrasi yang sampai kepada kita. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H