Mohon tunggu...
Pipit Nurhayati
Pipit Nurhayati Mohon Tunggu... lainnya -

Mentari akan berkunjung menghampiri

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Urgensi Literasi untuk Perangi Berita Bohong

10 November 2017   09:35 Diperbarui: 11 November 2017   06:37 2145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru dan siswa sedang membaca poster antihoax

Oleh: Fitri Nurhayati, S.Pd., Gr.


Indonesia masuk lima besar pengguna media sosial di dunia, tepatnya urutan keempat untuk pengguna facebook dan peringkat lima untuk pengguna twitter. Dalam hal ini patut berbangga, karena menandakan bahwa masyarakat tergolong melek teknologi. Namun peringkat ini sangat kontradiksi dengan budaya literasi masyarakat Indonesia. Dilansir dari satelitpost.com Indonesia dalam hal budaya literasi ada di peringikat lima dari bawah, setelah Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan.

Budaya literasi erat kaitannya dengan penyebaran informasi sesuai dengan fakta. Hal ini akan dapat meminimalisir penyebaran informasi yang 'ngarang' atau mengada-ada. Kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis sangat dibutuhkan.

Membaca disini tidak hanya diartikan duduk manis, membuka buku, dan mempelajarinya. Namun, membaca telah mengalami perluasan makna. Memahami kondisi lingkungan sekitar pun dapat dikatakan sebagai membaca. Begitu juga dengan menulis, tidak hanya menggunakan buku dan pulpen saja, namun ketika seseorang memegang ponsel, mengirim pesan pun dikatakan sedang menulis. Maka, luasnya makna menulis dan membaca harus diiringi dengan luasnya pengetahuan akan sesuatu yang ditulis dan dibaca.

Kedua aktivitas menulis dan membaca juga melekat pada budaya literasi yang saat ini sedang digencarkan dalam dunia pendidikan, terutama dalam kurikulum 2013. Budaya literasi dikatakan sangat urgent bagi seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya kaum terpelajar saja. Terlebih dengan maraknya informasi bohong (hoax) terutama di media sosial.

Memahami lebih mendalam tentang literasi, tidak hanya melek huruf saja namun juga harus melek visual, artinya kita harus mampu untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual bisa berupa video/gambar. Sehingga kita tidak mudah tergiur untuk ikut-ikutan menyebarkan informasi hoax.

Kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media dikatakan sebagai literasi media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar para konsumen media menjadi sadar (melek) tentang cara media dibuat dan diakses.

Sebagai guru, sudah selayaknya menyebarkan virus membaca, menulis, dan memahami di kalangan peserta didiknya. Apalagi saat ini dibenturkan dengan penyebaran informasi yang sangat mudah, cepat, dan transparan. Ada ungkapan bahwa kecepatan cahaya seolah kalah dengan cepatnya tangan kita menyebarkan informasi melalui media sosial.

Perkembangan IPTEK yang demikian cepat memaksa guru untuk beradaptasi dengan kondisi terkini. Purnomo (2008) menyatakan bahwa mendayagunakan teknologi komunikasi dan informasi di sekolah adalah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Informasi instan yang kini beredar sangat cepat memaksa masyarakat untuk selalu mengupdate berita supaya dapat dibedakan informasi yang sesuai fakta dan hoax. Namun dengan tersebarnya informasi bohong atau yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tentu akan menjadi kendala. Bahayanya bisa membentuk opini masyarakat dan akhirnya mendiskreditkan salah satu pihak.

Kaum terpelajar jangan mau menjadi korban peruntungan bagi mereka yang paham akan teknologi. Karena semakin banyak berita bohong yang tersebar, semakin banyak yang mempercayainya, maka semakin banyak pula korbannya. Belum lagi akibat yang akan dialami bagi penikmat berita 'angin'. Pengguna teknologi yang tidak pandai memilah-milah informasi bisa menjadi korban penyebaran virus/mailware, kejahatan dunia maya, pencurian, dan kriminalitas lainnya.

Hal yang harus dibenarkan apabila saat ini dikatakan sebagai era media sosial maha dahsyat. Generasi muda kita adalah penikmat media sosial paling aktif di antara negara-negara lain di Asia. Dilansir dari kompas, CSIS, 2017 mencatat sebanyak 87,4 persen adalah pengguna aktif media sosial. Tidak ada yang salah apabila media sosial yang kita gunakan memberi kebermanfaatan, terlebih apabila membawa banyak keuntungan. Namun ternyata di sisi lain pun dampak negatif mengikuti di belakangnya.

Contoh kasus pernah ada seorang guru yang menshare di grup whatsapp sekolah informasi tentang produk makanan yang beredar di Indonesia mengandung minyak babi. Gegerlah grup tersebut. Seorang rekan guru menanggapi dengan menanyakan kevalidan informasi tersebut. Si guru yang menshare dengan mudah menjawab, "tidak tahu hanya mendapat dari grup sebelah."

Dalam kasus ini guru menjadi penyebar informasi hoax, artinya sosok yang seharusnya berada di garda depan memerangi hoax malah berkebalikan menjadi pelakunya. Seharusnya seorang guru yang menjadi teladan bagi siswanya memahami lebih dulu informasi yang beredar, membaca, dan mecari data-data valid sebelum menyebarkannya.

Belakangan, viral beredar informasi tentang registrasi ulang SIM Prabayar untuk semua nomor ponsel. hampir semua media sosial menampilkan informasi tersebut. Tak sedikit pula masyarakat kita yang langsung mempercayainya. Keterbatasan pengetahuan masyarakat akan media sosial membuat mereka termakan informasi singkat yang beredar. 

Padahal ada perusahaan resmi yang menaungi masalah registrasi ulang tersebut. Saya pernah mengabaikan informasi tersebut yang sempat mampir di pesan pribadi. Bahkan semua grup whatsapp yang ada di ponsel saya pun mengabarkan berita yang sama. Sampai sebulan lamanya informasi itu beredar, saya masih mengabaikannya. Sampai suatu ketika beberapa rekan guru membahasnya di sekolah. 

Kata mereka, beberapa sudah berhasil melakukan registrasi, dinyatakan sudah terdaftar, mengalami gangguan, bahkan ada yang dimintai data lebih banyak seperti tanggal lahir dan nama ibu kandung. Data-data itu bisa dibilang rawan apabila disebarkan kepada informan yang belum dipastikan pertanggungjawabannya. Salah-salah bisa terjadi kebocoran data.

Pelaksanaan registrasi ulang kartu SIM diwarnai berbagai berita bohong. Kementerian Komunikasi dan Informatika pun mengimbau masyarakat agar tidak mudah mempercayai berita-berita bohong tersebut. Dilansir dari www.cnnindonesia.com ada tiga kebohongan berita registrasi ulang kartu SIM. Pertama, mengenai tidak wajib registrasi kartu SIM. Kedua, bahwa pendaftaran kartu SIM terakhir adalah pada tanggal 31 Oktober 2017. Ketiga, hoax bahwa operator akan menyalahgunakan data dari pelanggan.

Menanggapi berita yang simpang siur itu, masyarakat harus pandai-pandai mencari kabar yang valid. Ahmad Ramli, Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemkominfo menegaskan bahwa pemerintah mewajibkan registrasi ulang tujuannya untuk memastikan keamanan semua kalangan masyarakat.

Kita sebagai konsumen media harus melakukan kroscek kepada pihak-pihak yang terkait dengan informasi tersebut. Misalnya, dengan membuka website resmi, mengunjungi kantor yang bersangkutan, atau yang paling ringan mendengarkan cerita orang dekat tentang pengalamannya melakukan registrasi. Meski hal ini belum terjamin kevalidannya, namun kita sudah mempunyai banyak referensi untuk menentukan pilihan atau menindaklanjuti informasi yang beredar.

Menghadapi kasus maraknya berita bohong di kalangan masyarakat, konsumen media harus berlaku cerdik. Mungkinkah data-data pribadi yang diminta untuk registrasi ulang akan kita dibagikan begitu saja. Kita harus mempertimbangkan efek jangka panjangnya. Data yang sifatnya pribadi itu berkaitan dengan penggunaan akun baik di media sosial ataupun perbankan. Nah, kalau sudah menyangkut soal uang di bank ini menjadi sangat sensitif. 

Si panjang tangan era digital sudah mulai gentayangan di mana-mana. Hanya dengan beberapa klik saja uang kita sudah bisa berpindah tangan ke rekening lain. Tidak hanya itu, data-data pribadi kita juga bisa disalahgunakan untuk melakukan tindak kejahatan. Bukan hal yang mustahil apabila akhirnya kita jadi berurusan dengan polisi. Kalau sudah begini kasusnya menjadi panjang. Si pemilik data bisa menjadi korban atau bahkan dituduh sebagai pelaku kejahatan.   

Tidak perlu menunjuk pihak lain untuk mengatasi hal ini, karena sebelum terjadi kasus kita harus lebih dulu melakukan pencegahan. Apalagi bagi guru yang menjadi teladan bagi peserta didiknya. Apapun yang disampaikan guru, siswa hanya sami'na wa'ata'na (dengar dan taat). Beruntung apabila siswa tergolong cerdik dan pandai menyeleksi informasi-informasi melalui media sosial. Untuk itu mari kita mengedukasi siswa tidak hanya di dalam ruang kelas saja, namun lingkungan sekitar yang notabene adalah pembelajaran tanpa batas. Kaum terpelajar bisa memerangi informasi bohong dengan bijak. Jangan mudah percaya dengan informasi yang sifatnya instan harus melalui penelitian atau kroscek lapangan, sehingga kita mempunyai punya data yang valid.

Minimnya minat baca masyarakat juga menjadi satu faktor yang menyebabkan berita bohong tersebar luas dengan mudah. Banyak konsumen media yang enggan membaca berita singkat yang masuk di beranda, namun rajin untuk men-sharenya. Bisa jadi supaya dibilang melek literasi, rajin membaca, update berita, menaikkan rating, atau hal lain. Kita berharap para penyebar berita instan di media sosial mempunyai tajuan baik untuk mengedukasi masyarakat.

Literasi menjadi kunci membuka pengetahuan untuk memerangi berita bohong di kalangan masyarakat. UNESCO mencatat bahwa minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001 persen yang artinya dari seribu masyarakat Indonesia yang ada tercatat hanya satu yang memiliki kemampuan literasi.

Minat baca yang rendah diyakini sebagai problem literasi yang paling memprihatinkan masyarakat Indonesia. Merekonstruksikan suatu tatanan masyarakat baru dan bercirikan masyarakat yang belum melek untuk membaca. Membuat wacana diyakini sebagai suatu kebenaran yang tak perlu dikritisi, tak heran kabar burung yang sarat dengan unsur kebohongan sering lalu-lalang mengisi linimasa seluler masyarakat Indonesia. Fenomena tersebut sedikit banyak merupakan andil dari rendahnya kemampuan literasi masyarakat Indonesia. Hal yang perlu dilakukan hanyalah mengubah dan mengoptimalisasikan budaya literasi.

Perangi berita hoax mulai dari diri sendiri. Apabila mendapat informasi yang belum tentu kebenarannya jangan langsung dipercaya. Kroscek lebih dulu kebenarannya, minimal pernah ada media yang memuat informasi yang sama atau setidaknya pernah muncul di media menandakan bahwa informasi itu benar adanya. Jika ternyata informasi bohong sebaiknya simpan saja untuk diri sendiri, setidaknya kita sudah memutus mata rantai informasi hoax. Bahkan bila perlu nasihati penyebar infomrasi yang sampai kepada kita. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun