Selain itu, kebiasaan konflik lahir dari struktur kekerasan yang hadir terus-menerus dalam kehidupan masyarakat Bima sebagaimana diskursus historis Kenneth M. George (1996:1-20) tentang kekerasan yang merupakan hasil reproduksi terus-menerus secara diakronik oleh masyarakat Pengunungan Mambi Sulawesi Selatan.
Berdasarkan keterangan Kenneth, kekerasan yang biasa dilakukan oleh orang-orang Mambi yang merupakan pengayau terus diproduksi menjadi budaya masyarakat setempat hingga saat ini. Para pengayau menciptakan konflik dengan cara yang sangat buas pada waktu lampau. Namun, orang Mambi sudah lama menyimpan dan menyingkirkan senjata-senjata para pengayau lama itu, tetapi kekerasan yang dipraktekkan oleh para pengayau tetap diingat sebagai bagian dari budaya masyarakat.
Artinya, ada riwayat kekerasan yang menjadi ‘narasi’ dalam kebudayaan masyarakat Mambi Sulawesi Selatan sebagaimana kekerasan (dalam konflik) yang menjadi kebiasaan masyarakat Bima Nusa Tenggara Barat. Mengakarnya kebiasaan berkonflik di masyarakat Bima berangkat dari sejarah dan memori perang melawan penjajah, kebiasaan ndempa, konflik dalam perebutan warisan, budaya kawin lari dan sebagainnya.
Selain beberapa instrumen penyebab konflik seperti yang saya sebutkan di atas, dalam penelitian di Bima, saya menemukan banyak pemicu konflik yang menggerakkan tawuran antar kampung, yaitu kuatnya sentimen identitas dan solidaritas kampung, kesadaran mereka atas kelemahan lawan, adanya masalah penegakan hukum, ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, ketidakberanian aparat melakukan penindakan dan sebagainya.
Persoalan apa pun yang ada menjadi semakin pelik karena banyaknya pengangguran dan kenakalan remaja, selain karena kerasnya watak orang Bima, adanya degradasi moral yang terjadi pada generasi muda, juga karena rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM). Secara politik, pemicu konflik biasanya karena ada provokasi, kontestasi politk, inkonsistensi pemerintah dan juga karena persoalan eksploitasi Sumber Daya Alam.
Salah satu penyebab konflik di Bima yaitu kuatnya sentimen identitas antar kampung. Orang Bima merasa bangga dengan kampung sendiri dan meremehkan kampung lain. Kampung tempat mereka tinggal dipandang lebih superior, lebih hebat, lebih kuat dan sakti dari kampung lainnya. Ketika terjadi percekcokan atau perkelahian dengan anggota kampung lain, identitas kampung dikoordinir menjadi solidaritas melawan identitas kampung lain tersebut.
Identitas kampung dikonstruksi dari perbedaan walaupun perbedaannya sangat kecil. Bahkan, perbedaan itu selalu dicari dan dikonstruksi menjadi identitas berbeda dengan kampung lainnya. Identitas itu saya sebut sebagai constructed identity yaitu identitas konstruktif yang menjadi sentimen identitas sebagaimana tesis Tania Murray Li yang mengatakan bahwa identitas-identitas itu sesungguhnya dikonstruksikan melalui perbedaan dan lahir dari relasi individu dengan ‘the other’. Sentimen identitas terbentuk dari kesadaran atas perbedaan yang nyata dengan the other (Tania Murray Li, 2000).
Identitas kolektif itu terbentuk melalui proses panjang dalam kehidupan masyarakat setempat. Ada pola-pola berdasarkan status dan peran masyarakat yang melahirkan identitas kolektif yaitu pola primordial seperti yang disebutkan oleh Eisenstadt (Zulfahmi 2003:14). Identitas kolektif hadir begitu saja, kemudian dikonstruksi terus-menerus dalam kesadaran primordialitas masyarakat yang hidup dalam satu kampung. Mereka sadar bahwa dalam satu kampung mereka adalah saudara yang menjadi kekuatan kolektif mereka untuk mencintai dan menjaga kampung melebihi apapun yang berada di luar kampung mereka. Menjunjung tinggi dan membela nama kampung adalah sebuah keniscayaan, bahkan rela mati demi superioritas identitas kampung.
Namun, satu hal yang saya temukan di Bima yaitu solidaritas tidak semata-mata lahir dari konstruksi sosial dari batasan-batasan (boundaries) yang dibentuk oleh pembedaan antara kita (us) dan orang lain (others), tetapi solidaritas yang muncul di Bima lebih karena desakan atas ancaman yang membahayakan hidup mereka dalam kelompok (kampung).
Â
Kesimpulan