Mohon tunggu...
Mulyadin Permana
Mulyadin Permana Mohon Tunggu... Antropolog Universitas Indonesia -

Everything needs process, your process is your future

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konflik Sosial dalam Kekerabatan : Kajian Antropologi Terhadap Tawuran Antar Kampung di Bima Nusa Tenggara Barat

7 Februari 2016   01:44 Diperbarui: 7 Februari 2016   02:28 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

M. Afzalur Rakhim (2010:16) mengajukan definisi konflik sebagai sebuah proses interaksi yang dimanifestasikan dalam ketidaksesuaian, ketidaksetujuan atau ketidakcocokan di dalam atau antara entitas sosial. Konflik memiliki arti kolektifitas atau dimensi sosial, walaupun Rakhim juga menyebutkan bahwa konflik bisa terbatas pada satu individu yang berkonflik dengan dirinya sendiri (the intrapersonal conflict).

Robert A. Baron (1990:197-216) menulis definisi konflik sebagai suatu kondisi dimana ada interest-interest yang saling berlawananan antara kelompok yang berada dalam situasi titik nol, harus ada keyakinan dari masing-masing pihak bahwa pihak lain sedang melakukan atau akan melakukan sesuatu yang berlawanan dengan mereka. Keyakinan itu menjadi justifikasi atas tindakan yang mereka ambil. Konflik adalah sebuah proses karena merupakan perkembangan dari interaksi yang terjadi sebelumnya.

Definisi konflik oleh Michael Nicholson (1992:9-22) menjelaskan konflik sebagai suatu aktivitas yang terjadi ketika manusia sebagai mahluk sadar (conscious beings) baik sebagai individu atau kelompok ingin melakukan tindakan-tindakan yang tidak konsisten mutualis (mutually inconsistent acts) sesuai dengan keinginan, kebutuhan atau kewajiban mereka. Maka, konflik adalah eskalasi dari suatu pertentangan yang ditandai dengan eksistensi perilaku konflik manusia sebagai conscious beings yang secara aktif selalu mencoba merusak satu dengan yang lainnya.

Lewis A. Coser (1956:37) mengartikan konflik – untuk membedakan dengan perilaku permusuhan atau sentimen – sebagai tindakan yang terjadi dalam interaksi antara dua atau lebih individu. Konflik dipandang sebagai sesuatu yang selalu bersifat trans-action (Conflict is always a trans-action).

Oleh karena itu, bagi saya, seperti pandangan Michael Nicholson bahwa konflik adalah eskalasi dari suatu pertentangan yang ditandai dengan eksistensi perilaku konflik. Artinya, ada manifestasi tindakan konflik atau konflik dimanifestasikan dalam tindakan atau konflik merupakan a type of behavior seperti yang dikemukakan oleh M. Afzalur Rakhim. Maka, konflik sosial dalam tesis ini adalah konflik sebagai a type of behavior dalam entitas sosial; konflik yang terjadi baik antar individu, di dalam atau antar kelompok ataupun organisasi yang terjadi dalam dimensi sosial sebagai sebuah proses sosial. Dalam tesis ini, konflik juga sebagai situasi (situation). Konflik sebagai a type of behavior karena merupakan life experience masyarakat Bima, sedangkan konflik sebagai situasi karena merupakan narasi yang direproduksi terus-menerus.

Lewis A. Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai pertentangan atau perjuangan yang bersifat langsung dan disadari antara individu atau kelompok untuk memperoleh pengakuan status, kekuasaan, pengaruh dan sumber daya. Pada saat yang sama masing-masing pihak yang bertentangan berusaha melenyapkan pengaruh dan kekuasaan pihak lawannya (Achmad Fedyani Saefuddin 1986:VI-VII).

Bagi Simmel (1904), konflik adalah agen yang paling penting dalam membangun ego identitas dan otonomi yang menjadi pembeda antara dirinya atau kelompoknya dengan dunia luar sehingga konflik sangat membantu penyatuan identitas (Lewis A. Coser 1964:33).

Dalam hal ini, konflik diyakini dapat mengatur batas-batas antara kelompok dalam sistem sosial dengan memperkuat kesadaran kelompok atas keterpisahan mereka dengan kelompok luar, kemudian membangun identitas kelompok dalam sistem sosial. Saling tolak (reciprocal ‘repulsions’) antara kelompok mampu mempertahankam sistem sosial secara keseluruhan (a total social system) dengan membuat suatu keseimbangan di antara berbagai kelompok yang ada. Misalnya, konflik antara kasta-kasta di India yang mungkin membuat pemisahan dan pembedaan berbagai kasta, tetapi juga memastikan stabilitas struktur sosial masyarakat India secara keseluruhan.

Simmel juga mengatakan bahwa suatu perselisihan, perbedaan di dalam (kelompok) dan kontroversi di luar (kelompok) terbungkus di dalamnya berbagai elemen yang ujungnya membuat kelompok terus bersama dalam kesatuan. Baginya, permusuhan tidak hanya mencegah hilangnya batas-batas dalam kelompok, tetapi juga membuat kelas-kelas dan individu-individu yang ada dalam kelompok saling mengisi posisi yang tidak pernah ditemukan jika tidak ada permusuhan (George Simmel 1955:17-18)

Artinya, ada dinamika dalam konflik yang mampu menggerakkan sistem dan struktur sosial dalam masyarakat, baik dalam internal kelompok maupun dengan kelompok luar.

Coser juga melihat konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Munculnya konflik, menurut Coser, sebagai sinyal bahwa sebenarnya struktur sosial sedang menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi (Rulas Lebardo 2002:10).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun