Sesampainya di rumah, Siti langsung menyambar ibunya yang masih sibuk mencuci baju di kamar mandi. Ia ingin menanyakan, apakah ibunya jadi membelikan ibu baru untuknya
“Jadi kan bu, beli ibu barunya?” Siti memeluk ibunya dari belakang, dengan rasa penuh harap.
“Jadi, sabar ya.” Elina menghentikan sejenak kesibukannya, untuk sekadar menarik nafas panjang. Senyuman getir Elina mengiringi setiap ucapan yang keluar dari bibir rapuhnya. Entah dia harus bagaimana. Dia hanya pasrah pada Sang Maha Pemurah.
Di tengah malam yang dingin menusuk, Elina mengirimkan tahajudnya. Kepasrahan pada Tuhan mengiringi setiap sujudnya. Yang ia inginkan adalah kebahagiaan anaknya. Setiap tetes air matanya mengiringi putaran tasbih yang berputar. Malam pun mulai bergolak. Tuhan menyusun rencana. Dan Elina terus berdo’a sampai pagi bangun dari hitamnya malam, sampai embun yang perlahan mengering diterpa angin.
Keajaiban datang.
Ayam berkokok dengan lantang membangunkan Siti dari mimpi yang indah. Mentari menyambut senyum mungilnya. Dan sesosok wanita cantik, muda dan bersinar tampak di hadapannya. Siti hanya melongo. Dia seperti melihat malaikat yang dulu sering ia baca di buku-buku dongeng atau film-film kartun.
“Pasti anda ibu baruku ya?”
“Iya, cepat mandi, lalu sarapan.” Senyum wanita itu memancarkan kekaguman yang sangat pada Siti.
Tanpa sepatah kata pun, Siti bergegas mandi. Seperti ada angin baru yang menyalakan unggun semangatnya.
Tak lama kemudian Siti menyelesaikan mandinya dan bergegas ke meja makan. Dengan rambut yang agak basah dan wangi bedak di badan, Siti nampaknya tidak sabar untuk makan bersama ibu barunya.
“Ibu nanti antarkan Siti ke sekolah ya?”