Mereka terus mengejek Siti dan juga memeperagakan sebuah peran, bagaimana seorang nenek tua menggendong anaknya lalu berkata “Ayo kita pergi ke pasar nak, nanti nenek belikan lopis buat kamu,” tapi nenek itu jatuh tersungkur karena punggungnya sudah semakin rapuh. Nenek itu berkata lagi “Kamu jalan sendiri ya nak, nenek mau tidur saja.” Anak-anak itu tertawa sangat lantang. Hingga masing-masing memegangi perutnya yang semakin sakit karena desakan tawa. Mereka seperti mendapatkan kebahagiaan ketika Siti menunduk malu dan kesal tapi tak berani melawan.
Siti seperti ditelanjangi dan tersibak tubuhnya penuh dengan borok penyakit—malu tapi tak bisa melawan. Ia tak meneruskan perdebatan itu, karena air mata menyerobot tanpa ijin lewat sela-sela matanya. Dadanya terasa sesak. Jantungnya berdebar lebih kuat dan ia lari ke dalam kamar mandi—menikmati tangis yang teramat sakit untuk anak seusianya.
Ketika pulang langsung saja ia menanyai ibunya dengan nada yang serius setengah menangis.
“Sebenarnya ibu itu ibuku atau nenekku?”
Pertanyaan Siti Seperti sebuah jarum kecil yang menusuk hati Elina.
“Jelas aku ibumu,” Elina keheranan. “Mengapa bertanya begitu?”
“Kata teman-temanku, ibu atau anda adalah nenekku karena sudah tua. Tolong beri tahu di mana ibuku? Aku ingin bertemu …”
Elina mendekap anak perempuannya erat-erat. Pertanyaan Siti lama-kelamaan menjadi isak tangis yang tak terbendung. Dekapan Elina seolah-olah berkata “aku adalah ibumu, dan hanya aku yang akan menjadi ibumu”.
Dalam dekapan, suara Siti menyerobot lagi.
“Jangan ke sekolah lagi ya buk?”
Dengan anggukan mengiyakan Elina menjawab pertanyaan Siti. Lalu memeluknya lagi. Memeluk dengan sangat erat. Airmatanya mulai menitik. Ia tak sanggup menahan gejolak hati yang begitu memukul dirinya. Di satu sisi memang benar ia sudah tua. Tapi di sisi lain ia memang ibunya. Ibu yang mengandung sembilan bulan lamanya, dengan berbagai cobaan, rasa sakit, dan hinaan yang menderu. Akhirnya Siti lahir. Di saat Elina sudah kehilangan suaminya yang mati tertabrak angkot.