Mohon tunggu...
Muhammad Burniat
Muhammad Burniat Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa filsafat dengan hobi menulis, jalan-jalan dan aktivitas sosial. Menulis adalah cara saya untuk hidup dan berbagi. E-mail: muhammadburniat@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Leadership Dalam Perspektif Konfusianisme

17 Juni 2015   15:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:39 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Abstrak

Konfusianisme mengedepankan bagaimana sosok manusia bisa menjadi aktor dalam perkembangan dan peradaban manusia. Tentunya hal ini bisa dimulai dari pembentukan karakter seorang manusia. Pembentukan ini dimulai dari diri sendiri hingga nantinya menjadi bisa beradaptasi dengan manusia yang lain. Dalam konfusianisme yang menjadi bagian inti dalam pembangunan manusia adalah moral dan intelektualitas. Dua hal yang dianggap bisa menjadi sumber utama dalam menentukan peradaban manusia yang dimulai dari empat dimensi; diri pribadi, komunitas, langit dan alam. Keempat hal ini disebut sebagai kepercayaan kepada transformatif kreatif. Setelah mengalami beberapa proses tersebut, maka lahirlah sebuah seorang manusia yang mampu memimpin, baik diri sendiri maupun orang lain.

Pendahuluan

Kebudayaan merupakan satu hal yang tidak akan pernah bisa lepas dari manusia. Segala aktivitas yang terkait dengan dimensi kehidupan yang ada, akan menghasilkan sesuatu yang baru. Tentu saja hal ini melalui interaksi dan negosiasi antar individu yang bersangkutan hingga mencapai tujuan bersama. Dengan kebudayaan pula kemajuan suatu bangsa ditentukan, dimana di dalamnya tersimpan nilai-nilai peradaban yang memancing dunia luar untuk mengetahui dan mendalami. Dari situ kemudian sebuah bangsa akan dikenal oleh bangsa lain. Karena reaksi tersebut, maka terjadi beragam aktivitas yang mempengaruhi perabadan yang ada melalui interkasi antar individu, kelompok, dan bangsa-bangsa.

Menurut E. B Taylor dan Joko Tri Prasetya (1991:29), kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, dimana terdapat ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Salah satu kebudayaan yang sangat penting digali adalah kebudayaan Cina. Ajaran-ajaran yang ada di dalamya seperti Taoisme, Konfusianisme dan lainnya memberikan kontribusi besar bagi berkembannya kebudayaan Cina. Bahkan di Cina ajaran Konfusius sangat berkembang dan mempengaruhi seluruh segi kehidupan masyarakat hingga kini.

Konfusius saat ini diakui sebagai sebuah kepercayaan. Meskipun pada awalnya hanya berisi ajaran yang mengajarkan kata-kata bijak dari seorang pemikir terkenal pada masa Dinasti Zhou bernama Kong Fu Tzu. Selain itu ajaran ini juga bukan bagian dari agama. Kong Fu Tzu banyak mengajarkan tentang pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia supaya bisa mencapai kehidupan yang harmonis. Namun karena ketika masa itu banyak yang tertarik dengan ajaran tersebut, maka Kong Fu Tzu dianggap sebagai nabi karena membawa ajaran yang mampu diterapkan pada masyarakat dan juga pemerintahan. Dan dari situ, lahir sebuah agama yang disebut Kong Hu Cu atau Konfusius.

Kebudayaan yang lahir ke permukaan tentu saja tidak lepas dari hasil pemikiran-pemikiran manusia sendiri yang menginginkan ini dan itu supaya kehidupan sesuai kemauan bersama. Begitu pula yag terjadi dengan ajaran Konfusius. Pemikiran yang lahir dari seorang yang melihat paradigma kehidupan di masanya yang penuh dengan ketimpangan dan kekacauan. Menurutnya bangsa yang sejahtera adalah terlahir dari pemimpin yang bijaksana. Tak hayal apabila sebuah negara hanya karena di bawah pemerintah yang tidak memiliki kredibiltas yang tinggi, baik dari intelektual maupun moral, maka akan mengalami kehancuran.

Konfusius ingin menggabungkan intelektual dan moral agar terciptanya kehidupan yang sejahtera dalam sebuah bangsa dan negara. Ia meyakini dengan adanya seorang pemimpin yang baik akan melahirkan masyarakat yang baik pula. Oleh karena itu untuk memulai menciptakan sebuah bangsa yang baik dimulai dengan mencetak pribadi yang bijak pada manusia melalui belajar. Dalam Konfusianisme, cara manusia belajar adalah dengan manusia itu sendiri. Tentunya ini terbentuk dari buruk dan baiknya seseorang terhadap manusia lain, yang kemudian akan merespon balik atas tindakan itu.

Konfusianisme mengajarkan self yang terus berkembang dan terbuka pada masyarakat yang semakin meluas sehingga menjadi dasar bagi masyarakat warga (Civil Society). Karena dimulai dengan mengajarkan  setiap orang belajar dan terus belajar seumur hidup menjadi manusia yang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Bukan semata-mata untuk diri pribadi sendiri yang terpisah, melainkan sebagai kesatuan dengan   memperbaiki lingkungannya.[1]

Setelah mampu memimpin dirinya sendiri dan belajar dari kehidupan bermasyarakat, seseorang barulah mampu memasuki dimensi pemimpin sesungguhnya. Dimana dirinya dan masyarakatnya menjadi dua belahan mata uang yang tidak bisa dipisahkan, saling bergantungan dan membentuk satu kesatuan. Ajaran yang diberikan di Konfusius adalah berupa kata-kata bijaksana yang banyak berhubungan dengan bagaimana seharusnya manusia yang satu berhubungan dengan manusia lainnya, juga mengajarkan pemerintahan yang ideal dan lain-lain. Ajaran Konfusius tidak hanya menyebar di Cina, tetapi juga masuk ke Jepang melalui Korea.

Pembahasan

Konfusius merupakan sebutan bagi guru Kung yang dalam dialek Cina disebut K’ung Tzu, dalam bahasa Tionghoa . Lahir pada 551 SM di kota kecil Lu[2], yang ketika kecilnya diberi nama Ch’iun. Ia tidak hanya dikenal seorang guru yang arif dan santun, tetapi juga sosok pemimpin yang bijaksana.  Ini terlihat dari dari petuah-petuah yang diajarkan kepada murid-muridnya, “Dia yang ingin melayani orang lain dengan kebaikan, telah melayani dirinya sendiri”.

Konfusius atau dengan nama lain Kong Hu cu atau juga Kong Fu Tze hidup pada masa dinasti Choum. Pada masa ini kehidupan intelektual sedang berjaya di Cina, sementara penguasa saat itu tidak terlalu berani menggubrisnya.[3] Para pengikut ajaran-ajaran Konfusius menyebar ke seluruh pelosok negeri Cina sehingga pada 221 SM pada masa Dinasti Ch’in membrantas habis penganut Konfusianisme di bawah Kaisar Shih Huang Ti.[4]Meski sudah mencoba membabat habis para pengikut setia Konfusius, namun tetap saja mereka tak mampu. Yang ada Dinasti Ch’in mengalami kehancuran. Posisi ini pun dimanfaatkan para kelompok Konfusianisme untuk bergerak  bangkit dan mengobarkan doktrin Kong Hu Cu. Dan pada masa Dinasti Han (206 SM-220 M), Konfusianisme menjadi filsafat negera Cina.

Kong Hu Cu atau Konfusius dianggap sebagai pendiri agama, padahal asumsi ini salah. Konfusius sendiri jarang melibatkan ajarannya dengan Ketuhanan. Bahkan ia menolak memperbincangkan alam akhirat dan mengelak tegas tentang hal-hal yang bersifat metafisika. Ia malah lebih dikenal dengan seorang yang banyak mengangkat masalah moral politik dan pribadi serta tingkah laku akhlak. [5]

Dalam usia yang muda, Konfusius ditinggal mati oleh ayahnya. Hidup hanya dengan seorang ibu membuat kehidupannya penuh dengan kesengsaraan. Negeri yang seringkali dilanda pancaroba, pemberontakan dan gerakan separatis, bahkan lingkungan yang dihuninya merupakan daerah para penyamun dan perompak ialah ajaran kehidupan yang didapatkannya. Permasalahan ini disebabkan karena disfungsi pemerintah dan degradasi moral yang terjadi kala itu. Dan dari sini pula yang kemudian melahirkan pandangan-pandangan Konfusius tentang pemerintahan, pra-nata sosial beserta relasi dengan moralitas menjadi inti pemikiran sang guru tersebut. Sintesis inilah yang kuat dengan konsep Humanisme.[6] Bagi Konfusius, Humanisme sosial berangkat dari keberhasilan seorang pemimpin dalam menentukan kebijakan. Ini tidak hanya ditentukan oleh kekuatan yang dimiliki pemimpin, namun juga paling penting adalah etika yang luhur.[7]

Salah satu konsep Leadership yang dibangun oleh Konfusius berakar dari Ce atau Ti. Secara harfiah kata-kata ini berarti bijaksana atau kebijaksanaan. Menurutnya Ce atau Ti dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh seseorang, baik sebagai personal maupun dalam skala rumah tangga, masyarakat, bangsa dan negara, serta tak kalah penting yakni tentang persoalan kemanusian secara universal. [8]

Setelah makna di atas, Ce juga diartikan sebagai kekuatan. Dalam hal ini bagaimana kekuatan tersebut mampu menciptakan keseimbangan dan harmonisasi antara manusia dan tata kehidupan. Kekuatan yang dimaksud oleh Konfusius adalah bagaiman kita bijak dalam bertindak dan tidak semena-mena menggunakan kekuatan yang ada. Tentu saja apabila kita melihat konsep yang dikembangkan oleh kaum Realis, bahwa satu-satunya membentuk sebuah pemerintahan yang baik adalah dengan pemerintahan yang memakai kekerasan fisik. Konfusius sangat menolak hal yang berbau kekerasa. Untuk itu, Ce yang dijunjung oleh kaum Konfusius juga diikatkan kandungan keteladanan moral. Karena kebaikan yang ditebarkan dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan akan ampuh apabila melalui kekerasan fisik atau hukum, melainkan dengan kekuatan kepribadian yang luhurlah yang mampu mengantarkan kebaikan itu bernilai.

Setelah mampu memahami apa itu Ce atau Ti, kehidupan dalam sebuah masyarakat akan terbina dengan baik. Apalagi berbicara pemimpin, maka segala sesuatu di masyarakat bergantung dari watak orang yang menjadi pemimpinnya. Jika seorang pemimpin berwatak seorang penjahat, maka tidak akan lahir stabilitas kehidupan yang baik dalam masyarakatnya. Sebaliknya kalau pemimpin adalah seorang yang bijak, maka keadilan pasti tertegak kokoh di dalamnya.

Ketika Konfusius tinggal di Lu, seorang penguasa bertanya padanya tentang bagaimana cara memimpin dan mendidik masyarakat, ia pun menjawab “Memimpin itu adalah berjalan dengan lurus. Jika Tuan memimpin rakyat dengan lurus, siapakah di antara rakyat Tuan yang akan menyeleweng?”.

Pada kesempatan lain, Penguasa itu kembali bertanya tentang hukuman mati yang dijatuhkan pada seorang penjahat. Konfusius kembali menjawab dengan entengnya Apa perlunya hukuman mati dalam pemerintahan? Jika Tuan menunjukan suatu isyarat yang jujur untuk hidup baik, maka dengan sendirinya rakyat Tuan akan menajdi baik. Kebajikan seorang pemimpin adalah ibarat angin, sementara kebajikan rakyat ibarat rumput. Sifat rumput adalah tunduk kemana angin berhembus meniupnya.”

Kisah di atas mengajarkan bahwa Konfusius sangat mementingkan keteladanan seorang pemimpin. Dimana di setiap sisi pribadi manusia memiliki jiwa-jiwa memimpin. Sesuai dengan apa yan diajarkan dalam Islam sendiri bahwa setiap manusia adalah pemimpin. Maka dari itu, dalam ajaran Konfusianisme seorang pemimpin sudah sepantasnya memiliki rasa Ti atau Ce. Bijaksana dalam membimbing dan melayani umat manusia serta bijaksana dalam mengambil keputusan. Keputusan yang diambil tidak berdasarkan Ti akan menyesatkan dan menyengsarakan rakyat.  

Dari kehidupan ada dua nilai yang sangat penting untuk diangkat kata Konfusius, yaitu “Yen” dan “Li”.Yen” diterjemahkan dengan kata “Cinta”, tetapi dalam kehidupan lebih diartika dengan “keramah-tamahan dalam hubungan seseorang”. Sedangkan  “Li” dilukiskan sebagai gabungan antara tingkah laku, ibadah, adat kebiasaan, tatakrama dan sopan santun. [9]

Kong Hu Cu yakin dengan adanya negara untuk melayani kepentingan rakyat bukan malah sebaliknya rakyat yang melayani pemerintah. Ia menekankan bahwa penguasa harus memerintah berlandaskan moralitas yang mampu dicontoh dan diteladani oleh rakyat. Bukan dengan melalui kekerasan atau bermain secara kasar. Jika kita melihat dari ajaran kepemimpinan yang diajarkan oleh Konfusianisme sebetulnya ia belajar pada masa lampau. Dimana salah satu sosok yang bisa kita lihat adalah sosok Nabi Muhammad Saw yang mampu memimpin dengan baik karena moralitas yang dimilikinya memang sangat mulia. Untuk dalam hal ini, Konfusius seolah berpesan mengajak melihat masa lampau yang penuh dengan masa keemasan dimana rakyat dan pemimpin bergerak dalam satu haluan. Selain itu, ia pun menghimbau baik bagi pemerintah maupun rakyat agar belajar pada masa lalu, juga tetap memegang teguh moralitas yang tinggi baik sebagai pemimpin maupun rakyat.

Ada beberapa penyebab Konfusianisme punya pengaruh besar pada orang Cina. Pertama, berkat kejujuran dan kepolosan Konfusius yang ditanamkan pada dirinya dan pengikutnya. Kedua, ia juga dikenal seorang yang moderat, bijaksana dalam bertindak hingga mampu menyelesaikan persoalan-persoalan hidup yang dihadapi masyarakat. [10] Saat usia 32, Konfusius menulis banyak karya yang berkaitan dengan moral, sejarah, kesusastraan dan tentunya falsafah yang banyak diikuti oleh pengikutnya.

Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit, dengan manusia di bumi dengan baik. Oleh sebab itu, ajaran mengajarkan bagaiman menghargai nenek moyang yang sudah lebih dulu meninggal. Di dalamnya juga berisi susunan falsafah dan etika bagaimana manusia bertingkah laku. Tentu saja Konfusianisme tidak menghalangi orang Tionghoa untuk menyembah keramat dan penunggu, tetapi hanya yang patut disembah bukan menyembah barang-barang keramat atau penunggu yang patut tidak patut disembah. Sebab yang paling penting dalam ajaran ini adalah setiap manusia perlu berusaha memperbaiki moral.

Dalam Konfusianisme ada lima sifat kekekalan yang sekaligus mesti dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya;

  1. Ren: Cinta Kasih
  2. Yi: Kebenaran/Keadilan/Kewajiban
  3. Li: Kesusilaan dan Kepantasan
  4. Zhi: Bijaksana
  5. Xin: Dapat Dipercaya

 

Lima hubungan sosial (Wu Lun);

  1. Hubungan antara pemimpin dan bawahan
  2. Hubungan antara suami dan istri
  3. Hubungan antara orangtua dan anak
  4. Hubungan antara kakak dan adik
  5. Hubungan antara kawan dan sahabat

 

Delapan kebajikan;

  1. Xiao: Laku Bakti
  2. Ti: Rendah Hati
  3. Zhong: Satya
  4. Xin: Dapat Dipercaya
  5. Li: Susila
  6. Yi: Bijaksana
  7. Lian: Suci Hati
  8. Chi: Tahu Malu

Seperti yang disebutkan di atas bahwa ajaran Konfusius ini lebih memperhatikan dasar yang sudah terbangun dari tradisi mereka, yakni belajar menjadi manusia. Di sini yang menjadi titik fokusnya bukan pada manusia yang bertentangan dengan alam ataupun langit, melainkan manusia yang mencari harmoni dan mutualitas dengan langit.

Konfusianisme: Belajar Menjadi Manusia

Dalam konfusius, belajar menjadi manusia membutuhkan proses yang mendalam atau memperluas, tentu saja jalannya adalah dengan mengakui keterkaitan semua cara eksistensi yang membentuk keadaan manusia. Dengan melalui jaringan relasi yang terus meluas, yang mencakup keluarga, bangsa, dunia dan yang menjadi suatu pergerakan yang diusahakan oleh ajaran dan pengikut Konfusius adalah merealisasikan kemanusian dengan sepenuhnya.

Setelah kita mampu memahami dan memperdalam pengetahuan diri kita melalui usaha yang tanpa henti, maka akan terlahir kesehatan tubuh yang kita inginkan, pikiran-hati kita waspada, jiwa kita suci, dan semangat kita kembali bergairah. [11]

Dalam ajaran Konfusius ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan yakni, diri pribadi sebagai transformatif kreatif, komunitas sebagai sarana yang diperlukan untuk pembangunan manusia, alam sebagai rumah kehidupan, dan langit sebagai sumber realisasi diri yang puncak.

  1. Diri pribadi sebagai transformatif kreatif

Konfusius menjelaskan bahwa belajar dilakukan demi diri sendiri ketimbang untuk diri orang lain.[12] Dalam hal ini Konfusius meyakini bahwa penemapaan diri merupakan tujuan itu sendiri ketimbang alat untuk mencapai tujuan. Mereka yang melakukan dan berusaha menempa diri akan bisa menciptakan sumber-sumber batin realisasi diri yang tak pernah terbayangkan oleh mereka, terutama dalam mencapai tujuan eksternal dalam masyarakat dan keberhasilan politik. Meskipun kita menerima tanggung jawab sosial dan berpartisipasi dalam pilitik, namun penempaan dirilah sebagai akar yang akan melahirkan agen moral yang mandiri, dan tidak menjadi pion dalam permainan para relasi penguasa. Dalam konfusius apabila kita tidak mampu mempertimbangkan realisasi diri kita dengan serius, maka diri kita akan dibelenggu oleh penguasa dan kekayaan yang sejatinya jauh di luar sumber-sumber batin dan nilai martabat pribadi kita.

Bagi Konfusianisme, martabat diri sangatlah penting karena komitmen mereka untuk memperbaiki dunia dari dalam memaksa mereka menjadikan status qua sebagai titik berangkat perjalanan spiritual. Belajar merupakan pembangunan karakter yang tujuannya untuk merealisasikan diri. Diri pribadi dipahami sebagai sebuah sistem terbuka dalam transformasi yang berkelanjutan. Ia tidak pernah menjadi sebuah struktur yang statis. Ide tentang diri pribadi sebagai sebuah entitas mandiri, yang terpisah dari dunia, bertentangan secara diametris dengan diri pribadi dalam konsepsi Konfusian yang merupakan sebuah proses yang terbuka, dinamis, dan transformatif.[13]

Dalam pespektif Konfusian, transformasi diri yang autentik melibatkan sumber-sumber spiritual yang tradisi simbolik kumulatif (kebudayaan), gema masyarakat yang smpatik, energi vital alam, dana kekuatan kreatif langit.[14]

 

  1. Komunitas sebagai sarana dalam pembangunan manusia

Salah cirri khas orientasi spiritual Konfusianisme adalah pandangan bahwa komunitas manusia merupakan bagian integral dari upaya realisasi diri. Ide melepaskan diri dari ikatan primordial sebagai prakondisi keselamatan, bahkan bukan merupakan kemungkinan yang ditolak di dalam tradisi Konfusianisme. Menurut mereka bahwa kehadiran manusia sudah pasti tidak bisa lepas dari ikatan dunia. Dan tentunya perjalanan spiritual itu dimulai dari tempat rumah sebagai awal kelahiran manusia. Hal ini didasarkan pada kepercayaan kuat bahwa diri kita, yang jauh dari individualitas yang terisolasi, merupakan pusat relasi dalam praktek dan pengalaman. Sebagai pusat relasi, ia terus-menerus berkomunikasi dengan aneka manusia. Melalui interaksi manusialah kita secara perlahan mengapresiasi kedirian kita sebagai proses transformasi. Kehendak pribadi untuk berbagi akan membuat kita berkuasa menggerakkan sebuah proses dialog yang dinamis, pertama-tama dengan anggota keluarga, komunitas, dan di luar itu.[15]

 

  1. Alam sebagai Rumah

Konsep ideal dalam pembangunan manusia menurut Konfusianisme sebenarnya tidak bersifat antropolgis, tetapi tentu saja bukan bersifat antroposentris. Manusia bukan ukuran semua benda. Namun ukuran yang tepat bagi manusia adalah kosmologis dan antropologis; sehingga disebutkan sebagai antropokosmis. Dalam tatanan benda, alam tidak hanya menyediakan sumber kehidupan bagi manusia, melainkan juga inspirasi kehidupan yang berkelanjutan. Dalam perjalanan tersebut tersirat sebuah perjalanan alam; perubahan siang menjadi malam, perubahan empat musim, pelajaran dan pola transformasi yang abadi: keteraturan, keseimbangan, dan harmoni.

Konfusianisme merasakan alam sebagai lingkungan yang nyaman untuk kehidupan. Mereka merasa beruntung telah dikaruniai ketepatan waktu langit dan keefisienan bumi (Heaven’s timeless and Earth’s efficaciousness), serta angin dan air yang menjadi sumber kesehatan. Alam dihormati karena kemurahan dan kebesarannya. Kehadiran alam membangkitkan rasa hormat untuk mengapresiasi kesuburan dan kesucian “rumah’ kita. Pengertian mengenai alam sebagai rumah ini melahirkan makna pucak dalam eksitensi manusia dalam sehari-hari, menempa sebuah cara hidup yang harmonis, seimbang dan teratur, dan memandang apa yang agama lain sebuat sebagai yang suci dan yang sekuler.

 

  1. Langit sebagai sumber transformasi yang paling puncak

Langit sebagai sumber penciptaan moral, makna hidup, dan transformasi diri yang puncak muncul dalam tradisi Konfusianisme. Artinya bisa kita katakan bahwa para pemikir besar Konfusianisme merupakan orang-orang yang religius.

Pandangan Konfusianisme mengadaikan langit mahahadir dan mahatahu, jika bukan mahakuasa. Apa yang kita lakukan saat ini akan menjadi implikasi bagi diri pribadi, manusia, alam dan langit. Kita tidak perlu mengambil jalan langit untuk dengan meninggalkan tempat yang kita jalani sekarang. Karena jalan langit tepat di sini, di dekat sini, dan tak terpisah dari kehidupan kita sehari-hari. Apa yang kita lakukan dalam perbatasan rumah kita tidak hanya memiliki arti antropologis, melainkan juga kosmologis. Jika kita pelihara tepat dengan jalan kemanusian, maka kita tidak akan terasing dari jalan langit. Ketika kita belajar mengapresiasikan kekayaan hidup sehari-hari, kita akan memahami bahwa misteri besar kehidupan tersirat dalam pengalaman umum hidup kita. Hal ini seolah-olah menunjukan rahasia jalan langit melekat pada jalan manusia.

Keterkaitan antara internal organis dengan yang transenden melalui pengalaman pribadi membuat kita sadar dengan ketidakcukupan dan kekuatan kita. Ini karena kita dibebani dengan tanggung jawab besar guna merealisasikan jalan langit melalui upaya yang rendah hati. Makna terdalam dari kemanusian terletak di dalam manifestasinya yang autentik sebagai penjaga alam dan rekan pencipta kosmos. Secara manusiawi adalah untuk membantu proses transformasi dan pemeliharaan langit dan bumi. Dimana dalam hal ini membantu upaya membentuk trinitas dengan langit dan bumi. Tugas kategoris kitalah yang merespon panggilan langit guna menjadi penjaga alam dan pencipta kosmos.[16]

 

Selain hal-hal yang sudah disebutkan di atas, yakni mengenai bangunan atau pondasi yang mesti dibangun oleh seorang individu, terutama manusia sebagai pemimpin, berikutnya kita akan menelaah konsep pendidikan yang menjadi sumber utama terbentuknya manusia atau pemimpin yang bijaksan.

Apa yang mengkhususkan pendekatan Konfusianisme terhadap pembanguan manusia? Jawabnya adalah pada penekanan pendidikan. Pendidikan sebagai belajar, terutama belajar demi diri sendiri. Belajar dipahami oleh pengikut konfusius sebagai proses pembangunan karakter secara holistik yang berkelanjutan. Dalam hal ini tentunya melibatkan komitmen eksistensial pada penempaan diri sehingga nantinya melahirkan pengetahuan tentang diri sendiri. Seorang calon pemimpin mesti dibangun dasar-dasar ini sebelum ia mampu membangun diri orang lain. Karena inilah yang menjadi tolok ukur, apakah seorang pemimpin mampu dalam memimpin atau tidak. Mungkin kita pernah mendengar ujaran “bagaimana bisa memimpin orang lain, memimpin diri sendiri saja belum bisa”. Untuk itu, pendidikan bisa memberikan cetakan kepada untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas, tidak hanya dalam intelektualitas, namun juga moral, etika dan sebagainya.         

Kesimpulan

Dalam Konfusianisme, seorang pemimpin haruslah orang yang memiliki nilai intelektualitas yang tinggi dan disertai dengan moral dan etika yang baik. Seorang pemimpin yang demikian nantinya akan memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakatnya karena dua sisi yang disebutkan di atas menjadi sumber dasar dalam hidup seseorang.

Seorang pemimpin tidak semestinya menutup diri untuk terus belajar. Dalam ajaran Konfusianisme, belajar adalah sepanjang hidup. Karena mereka meyakini bahwa dengan belajarlah kedewasaan seorang manusia akan lahir. Kebijksanaan akan terbentuk dan tentunya tiada hal yang menjadi penghalang dalam setiap tindakannya. Hal ini karena ilmu pengetahun yang didapatnya menjadi acuan dalam menetukan sikap dan kebijaksana dalam kehidupan, baik itu secara individu maupun masyatarakat.

 

[1] Jusuf Sutanto, Kearifan Timur: Dalam Etos Kerja dan Seni Memimpin, 2007. Hlm. 65

[2] Kini sudah masuk wilayah provinsi Shantung di China bagian Timur

[3] Dedi Supriadi, Mustofa Hasan, Filsafat Agama, 2012. Hlm. 326

[4] Ibid

[5] Ibid. hlm. 325

[6] Ach. Dhofir Zuhry, Filsafat Timur: Sebuah Pergulatan Menuju Manusia Paripurna. 2013. Hlm. 116

[7] Fung Yu-Lan, A History of Chinese Philosophy, Vol. II, Leiden: EJ. Brill.1953. hlm. 71

[8] Ach. Dhofir Zuhry, Filsafat Timur: Sebuah Pergulatan Menuju Manusia Paripurna. 2013. Hlm. 117

[9] Dedi Supriadi, Mustofa Hasan, Filsafat Agama, 2012. Hlm. 325

[10] Ibid. hlm. 327

[11] Weiming, Tu. Jalan Sutera: Dialog Peradaban. 2013. Hlm. 42.

[12] Analek, 14:24

[13] Tu Weiming. Jalan Sutera: Dialog Peradaban. 2013. Hlm. 44

[14] ibid

[15] Tu Wei-ming, Embodying the Universe: A Note on Confucian Self-Realization”, dalam Confucian Thought: Selfhood as Creative Transdormation (Albany: State University of  New York Press, 1991). Hlm. 175

[16] Tu Weiming. Jalan Sutera: Dialog Peradaban. 2013. Hlm. 48

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun