Mohon tunggu...
Muhammad Burniat
Muhammad Burniat Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa filsafat dengan hobi menulis, jalan-jalan dan aktivitas sosial. Menulis adalah cara saya untuk hidup dan berbagi. E-mail: muhammadburniat@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Leadership Dalam Perspektif Konfusianisme

17 Juni 2015   15:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:39 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam konfusius, belajar menjadi manusia membutuhkan proses yang mendalam atau memperluas, tentu saja jalannya adalah dengan mengakui keterkaitan semua cara eksistensi yang membentuk keadaan manusia. Dengan melalui jaringan relasi yang terus meluas, yang mencakup keluarga, bangsa, dunia dan yang menjadi suatu pergerakan yang diusahakan oleh ajaran dan pengikut Konfusius adalah merealisasikan kemanusian dengan sepenuhnya.

Setelah kita mampu memahami dan memperdalam pengetahuan diri kita melalui usaha yang tanpa henti, maka akan terlahir kesehatan tubuh yang kita inginkan, pikiran-hati kita waspada, jiwa kita suci, dan semangat kita kembali bergairah. [11]

Dalam ajaran Konfusius ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan yakni, diri pribadi sebagai transformatif kreatif, komunitas sebagai sarana yang diperlukan untuk pembangunan manusia, alam sebagai rumah kehidupan, dan langit sebagai sumber realisasi diri yang puncak.

  1. Diri pribadi sebagai transformatif kreatif

Konfusius menjelaskan bahwa belajar dilakukan demi diri sendiri ketimbang untuk diri orang lain.[12] Dalam hal ini Konfusius meyakini bahwa penemapaan diri merupakan tujuan itu sendiri ketimbang alat untuk mencapai tujuan. Mereka yang melakukan dan berusaha menempa diri akan bisa menciptakan sumber-sumber batin realisasi diri yang tak pernah terbayangkan oleh mereka, terutama dalam mencapai tujuan eksternal dalam masyarakat dan keberhasilan politik. Meskipun kita menerima tanggung jawab sosial dan berpartisipasi dalam pilitik, namun penempaan dirilah sebagai akar yang akan melahirkan agen moral yang mandiri, dan tidak menjadi pion dalam permainan para relasi penguasa. Dalam konfusius apabila kita tidak mampu mempertimbangkan realisasi diri kita dengan serius, maka diri kita akan dibelenggu oleh penguasa dan kekayaan yang sejatinya jauh di luar sumber-sumber batin dan nilai martabat pribadi kita.

Bagi Konfusianisme, martabat diri sangatlah penting karena komitmen mereka untuk memperbaiki dunia dari dalam memaksa mereka menjadikan status qua sebagai titik berangkat perjalanan spiritual. Belajar merupakan pembangunan karakter yang tujuannya untuk merealisasikan diri. Diri pribadi dipahami sebagai sebuah sistem terbuka dalam transformasi yang berkelanjutan. Ia tidak pernah menjadi sebuah struktur yang statis. Ide tentang diri pribadi sebagai sebuah entitas mandiri, yang terpisah dari dunia, bertentangan secara diametris dengan diri pribadi dalam konsepsi Konfusian yang merupakan sebuah proses yang terbuka, dinamis, dan transformatif.[13]

Dalam pespektif Konfusian, transformasi diri yang autentik melibatkan sumber-sumber spiritual yang tradisi simbolik kumulatif (kebudayaan), gema masyarakat yang smpatik, energi vital alam, dana kekuatan kreatif langit.[14]

 

  1. Komunitas sebagai sarana dalam pembangunan manusia

Salah cirri khas orientasi spiritual Konfusianisme adalah pandangan bahwa komunitas manusia merupakan bagian integral dari upaya realisasi diri. Ide melepaskan diri dari ikatan primordial sebagai prakondisi keselamatan, bahkan bukan merupakan kemungkinan yang ditolak di dalam tradisi Konfusianisme. Menurut mereka bahwa kehadiran manusia sudah pasti tidak bisa lepas dari ikatan dunia. Dan tentunya perjalanan spiritual itu dimulai dari tempat rumah sebagai awal kelahiran manusia. Hal ini didasarkan pada kepercayaan kuat bahwa diri kita, yang jauh dari individualitas yang terisolasi, merupakan pusat relasi dalam praktek dan pengalaman. Sebagai pusat relasi, ia terus-menerus berkomunikasi dengan aneka manusia. Melalui interaksi manusialah kita secara perlahan mengapresiasi kedirian kita sebagai proses transformasi. Kehendak pribadi untuk berbagi akan membuat kita berkuasa menggerakkan sebuah proses dialog yang dinamis, pertama-tama dengan anggota keluarga, komunitas, dan di luar itu.[15]

 

  1. Alam sebagai Rumah

Konsep ideal dalam pembangunan manusia menurut Konfusianisme sebenarnya tidak bersifat antropolgis, tetapi tentu saja bukan bersifat antroposentris. Manusia bukan ukuran semua benda. Namun ukuran yang tepat bagi manusia adalah kosmologis dan antropologis; sehingga disebutkan sebagai antropokosmis. Dalam tatanan benda, alam tidak hanya menyediakan sumber kehidupan bagi manusia, melainkan juga inspirasi kehidupan yang berkelanjutan. Dalam perjalanan tersebut tersirat sebuah perjalanan alam; perubahan siang menjadi malam, perubahan empat musim, pelajaran dan pola transformasi yang abadi: keteraturan, keseimbangan, dan harmoni.

Konfusianisme merasakan alam sebagai lingkungan yang nyaman untuk kehidupan. Mereka merasa beruntung telah dikaruniai ketepatan waktu langit dan keefisienan bumi (Heaven’s timeless and Earth’s efficaciousness), serta angin dan air yang menjadi sumber kesehatan. Alam dihormati karena kemurahan dan kebesarannya. Kehadiran alam membangkitkan rasa hormat untuk mengapresiasi kesuburan dan kesucian “rumah’ kita. Pengertian mengenai alam sebagai rumah ini melahirkan makna pucak dalam eksitensi manusia dalam sehari-hari, menempa sebuah cara hidup yang harmonis, seimbang dan teratur, dan memandang apa yang agama lain sebuat sebagai yang suci dan yang sekuler.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun