Intoleransi biasanya mudah diterima terutama oleh orang-orang yang tak waspada dan memahami dampak serta efeknya. Ia mudah diterima karena cenderung menihilkan logika dan memakzulkan segala pertimbangan dan aturan, termasuk hak orang per orang yang menolaknya.
Dari sinilah, intoleransi berpeluang mengalami ekspansi makna. Intoleransi keyakinan biasanya berproses menuju ekstremitas sikap dan gaya hidup. Intoleransi sikap biasanya menolak semua perbedaan, terutama dalam penafsiran terhadap doktrin agama. Bagi ekstermis, perbedaan muncul karena penyimpangan dari doktrin yang benar. Berbeda cara memahami dan mengamalkan agama dianggap sebagai upaya menghancurkan dan menodai doktrin agama.
Intoleransi berproses dalam pikiran penganutnya seperti narkoba yang terus merangsang dan meracuni pikirannya. Karena itu, ia memerlukan legitimasi dan dasar agar terus mengabaikan pertimbangan logis dan nilai-nilai yang dianut di luar kelompoknya.
Realitas yang menampilkan perbedaan dengan apa yang dianutnya akan membuat manusia intoleran menjadi gamang dan paranoid. Ia menganggap setiap gagasan yang berbeda sebagai ancaman. Karena itu, sebelum menggoyahkan doktrin yang telah dianut secara ekstrem dan skriptural, ia merasa harus membasminya dengan kekerasan baik verbal maupun fisik.
Untuk itu, diperlukan sebuah doktrin yang mampu menjustifikasi intoleransi sekaligus menjadi pembius kesadaran inetektualnya. Doktrin ini haruslah kuat dan sebisa mungkin mampu menutup semua keraguan yang berseliweran dalam benaknya. Selain itu, ruang gerak lembaga di luar struktur negara yang memproduksi intoleransi dimatikan.
[*] Mukhlisin, Mahasiswa S2 Komunikasi Korporat FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta, Peneliti Muda Center for Media and Political Institute.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H