Oleh Mukhlisin[*]
Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika mencatat sepanjang tahun 2016 terjadi 23 kasus intoleransi. Angka itu meningkat dibanding 15 kasus yang terjadi pada 2015. Sedangkan tahun 2011 hingga 2014 hanya ada lima kasus. Dari 23 kasus yang terjadi, 13 di antaranya berkaitan dengan kebebasan beragama dan 10 lainnya menyangkut kebebasan berekspresi.
Kasus teranyar awal tahun 2017, Bupati Bantul Suharsono berjanji akan memutasi Camat Pajangan Yulius Suharto yang beragama Katolik. Yulius Suharto yang beragama Katolik akan diganti karena dianggap tak sesuai karakteristik masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Protes kelompok massa muncul setelah Yulius Suharto meresmikan sebuah patung kepala Yesus di Gereja Santo Yakobus Alfeus.
Yogyakarta yang sejak 2008 dinobatkan sebagai kota toleransi, kekerasan agama juga muncul di lingkungan kampus. Tepatnya awal Desember 2016, muncul ancaman dan penurunan paksa baliho penerimaan mahasiswa baru karena bergambar mahasiswi berjilbab di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta oleh Forum Umat Islam.
Pada Februari 2016, kekerasan agama juga terjadi di Pondok Pesantren Al Fattah di Banguntapan, Bantul, yang digunakan sebagai pusat pendidikan Waria di Indonesia ditutup setelah didatangi massa yang mengatasnamakan Front Jihad Islam.
Berbagai potret kekerasan agama di lingkungan pemerintah, kampus dan pesantren jelas menodai Yogyakarta sebagai kota toleransi. Penyerangan kelompok yang mengatasnamakan agama terhadap pihak lain yang berbeda adalah sebuah ironi di negara yang memuliakan kebersatuan dalam keragaman, Bhinneka Tunggal Ika.
Kekerasan telah menjadi satu-satunya alat untuk menghapus dan menghilangkan orang lain yang berbeda. Agama yang menjadi sepirit pemersatu dalam sila pertama Pancasila justru dipakai untuk memecahbelah kebersamaan yang harusnya menjadi anugrah bagi seluruh bangsa ini.
Pancasila memupuk rasa persatuan dan kesatuan di antara warga negara. Dengan dilandasi semangat gotong-royong seharusnya mampu mengembangkan kekuatan bersama sekaligus memperkokoh NKRI. Bagaimanapun, kekuatan bangsa Indonesia justru berawal dari kebersamaan seluruh anak bangsa yang berbeda bahasa, suku dan agama.
Intoleransi
Dalam dua dekade terakhir ini Indonesia menjadi salah satu laboratorium di dunia yang paling produktif dalam memproduksi aneka kisah tragis berporos kekerasan agama. Dengannya, menempatkan Indonesia sebagai ”perpustakaan” yang menyimpan aneka dokumen berbasis kekerasan yang menjadikan agama sebagai pembenar.
Kekerasan agama adalah masalah klasik dari intoleransi. Ia tampil dengan banyak pola atau gerakan dan modusnya. Ia kadang hadir sebagai sikap individu. Muncul pula sebagai pilihan kelompok. Ia kadang didesain oleh sekelompok orang yang menyimpan kepentingan dan tendesi negatif, kadang pula diyakini secara naif sebagai kesalehan dan kualitas keberimanan.
Intoleransi biasanya mudah diterima terutama oleh orang-orang yang tak waspada dan memahami dampak serta efeknya. Ia mudah diterima karena cenderung menihilkan logika dan memakzulkan segala pertimbangan dan aturan, termasuk hak orang per orang yang menolaknya.
Dari sinilah, intoleransi berpeluang mengalami ekspansi makna. Intoleransi keyakinan biasanya berproses menuju ekstremitas sikap dan gaya hidup. Intoleransi sikap biasanya menolak semua perbedaan, terutama dalam penafsiran terhadap doktrin agama. Bagi ekstermis, perbedaan muncul karena penyimpangan dari doktrin yang benar. Berbeda cara memahami dan mengamalkan agama dianggap sebagai upaya menghancurkan dan menodai doktrin agama.
Intoleransi berproses dalam pikiran penganutnya seperti narkoba yang terus merangsang dan meracuni pikirannya. Karena itu, ia memerlukan legitimasi dan dasar agar terus mengabaikan pertimbangan logis dan nilai-nilai yang dianut di luar kelompoknya.
Realitas yang menampilkan perbedaan dengan apa yang dianutnya akan membuat manusia intoleran menjadi gamang dan paranoid. Ia menganggap setiap gagasan yang berbeda sebagai ancaman. Karena itu, sebelum menggoyahkan doktrin yang telah dianut secara ekstrem dan skriptural, ia merasa harus membasminya dengan kekerasan baik verbal maupun fisik.
Untuk itu, diperlukan sebuah doktrin yang mampu menjustifikasi intoleransi sekaligus menjadi pembius kesadaran inetektualnya. Doktrin ini haruslah kuat dan sebisa mungkin mampu menutup semua keraguan yang berseliweran dalam benaknya. Selain itu, ruang gerak lembaga di luar struktur negara yang memproduksi intoleransi dimatikan.
[*] Mukhlisin, Mahasiswa S2 Komunikasi Korporat FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta, Peneliti Muda Center for Media and Political Institute.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H