Media melalui UU Pers (UU No.40/1999), mendapat perlindungan yang luar biasa. Pers nasional oleh UU pers tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (Pasal 4). Hal ini adalah bentuk nyata dari perlindungan terhadap kerja-kerja pers. Pers kemudian menjelma menjadi salah satu kekuatan penting dalam demokrasi. Pers mampu menjadi katalisator penuntasan berbagai kasus yang sulit ditembus oleh aparat penegak hukum.
Sulit membayangkan kondisi saat ini dibandingkan dengan perilaku orde baru terhadap pers. Orde baru secara masif mempengaruhi dan mengendalikan media untuk kepentingan kekuasaan. Pers dikenakan sensor, dibredel bahkan ditutup secara paksa. Pers benar-benar dalam genggam kekuasaan saat itu. Namun setelah reformasi, pers diberi kebebasan dalam memberitakan berbagai informasi, mengabarkan apa saja kepada publik tanpa perlu takut dengan intervensi kekuasaan. Pers benar-benar telah menjelma menjadi kekuatan penyeimbang.
Sayangnya kebebasan ini banyak disalahgunakan media. Tidak sedikit informasi keliru yang dilansir media dan menjadi berita utama, padahal sumbernya tidak akurat atau kurang kompeten. Berita-berita itu diungkap seolah hasil investigasi, padahal hanya sensasi untuk mendongkrat popularitas media tertentu. Rupanya pengaruh politik pencitraan yang ramai digunakan aktor politik, juga dipakai media untuk meningkatkan ratingnya. Pencitraan media dibutuhkan oleh pers untuk mempertahankan dan meningkatkan jumlah pembacanya, dengan demikian mediapun dapat tetap terbit.
Dalam banyak kasus, media secara keliru memberitakannya. DPR salah satu institusi yang banyak diberitakan secara negatif oleh media, meskipun sebagiannya merepresentasikan kebenaran, tapi tidak sedikit juga yang diberitakan tanpa bukti yang akurat bahkan cenderung mengada-ada. Misalnya, Salah satu koran nasional pernah menulis bahwa, salah satu fasilitas gedung baru DPR adalah tempat spa dan tempat pijat. Berita ini kontan menjadi isu yang memikat bagi pengkritik DPR dan dijadikan "alat pukul" bagi perilaku anggota DPR. Berita ini menyebar kemana-mana dan segera membentuk opini negatif terhadap citra DPR. Padahal tak satupun fasilitas itu ada dalam rencana pembangunan gedung baru DPR, bahkan dalam rapat-rapat intern pembangunan gedung, tak satu kata pun yang menyangkut spa dan pijat dibicarakan. Lalu dari mana sumber berita ini, entahlah !. yang jelas akibat pemuatan berita ini, DPR ramai diperbincangkan dan arahnya negatif.
Kasus lainnya, pemuatan berita tentang asuransi kematian bagi anggota DPR. Kabar yang sungguh menyesatkan, dan entah dari mana datanya. Padahal diantara lembaga negara, mungkin DPR yang sangat terbuka kepada publik tentang kinerja dan berbagai fasilitas pendukung yang diterima dan dimilikinya.
Berita uang pulsa yang mencapai jutaan rupiah bagi anggota DPR, juga termasuk diantara berita-berita manipulatif yang sangat merugikan DPR. Celakanya berita-berita miring tentang DPR membentuk opini buruk terhadap berbagai hal menyangkut DPR. Akibat lainnya adalah munculnya asumsi masyarakat terhadap anggota DPR yang cenderung memukul rata, "seolah satu anggota berbuat, yang lain pasti kena getahnya". Padahal tidak begitu sesungguhnya.