The whole world's scared so I swallow the fear
The only thing I should be drinking is an ice cold beer
So cool in line, and we try, try, try, but we try too hard and it's a waste of my time
Done looking for the critics, cause they're everywhere
They don't like my jeans, they don't get my hair
Exchange ourselves, and we do it all the time
Why do we do that? Why do I do that?
Why do I do that..?
Apakah kau masih memotret?
Aku ingin kau datang ke Stasiun Palmerah dan mulai memotret sebuah gambar: di sana, seorang ibu penjual lotek terus tersenyum pada pelanggannya sebab baginya hidup akan sama sulitnya jika ia menjadi murung dan pemarah. Baginya, senyumlah yang bisa meringankan semuanya: beban hidup seketika menjelma burung dengan sayap terbuka-terbang menyongsong cakrawala. Aku ingin kau datang juga ke Stasiun Senen lalu memotret: seorang lelaki buta dituntun anak perempuannya dan setiap hari bernyanyi dangdut dengan riang gembira. Ia tak menyanyikan lagu sedih. Sebab baginya, lagu-lagu sedih hanya akan membuatnya terus-menerus merasa gelap. Tangkaplah gambar ketika ia berjoget dengan senyum yang lebar, tangkaplah gambar ketika anak perempuannya berkeliling sambil berjoget menyodorkan gelas air mineral kosong pada para calon dermawan.
Lalu, bagaimanakan hidup yang sempurna? Barangkali kisah ini bisa membantu menjelaskannya-
Seorang guru sufi pernah ditanya, apa itu kesempurnaan? Barangkali, seperti orang kebanyakan, kita akan menyangka bahwa kesempurnaan adalah segala hal yang agung, mulia, mewah, indah, membahagiakan, dan seterusnya tentang segala hal yang baik. Benarkan kesempurnaan adalah tentang segala hal yang baik? "Tidak", kata guru sufi, "Kesempurnaan adalah ketiadaan sekaligus keberadaan, kebahagiaan sekaligus kesedihan, hitam sekaligus putih... kesempurnaan adalah konfigurasi apik dari berbagai hal yang berlawanan."
Si penanya mengerutkan dahinya, mengangkat sebelah alisnya, "Jika kesempurnaan bukan tentang kebaikan, mengapa kita menyebut Tuhan Maha Sempurna? Apakah selain Maha Baik artinya Tuhan juga Maha Tidak Baik?"
Sang guru sufi terkekeh. "Seharusnya memang begitu," katanya.
Si penanya kembali merasa heran, amarah hampir menguasai hatinya. Batapa langcang guru sufi ini pada Tuhan, pikirnya. "Maksud Guru?" ia akhirnya tak bisa membendung pertanyaan itu.
"Coba kau pikir," kata sang guru sufi, "Adakah yang lebih baik dari kebaikan Tuhan?"
Si penanya menggelengkan kepala.
Guru sufi terkekeh. "Lalu, kalau di dunia ini ada orang yang paling jahat dan membuat semua orang takut, apakah kamu pikir Tuhan tidak bisa mengalahkan kejahatannya-dan membuat si penjahat itu begitu kecil?"
Si penanya terdiam.
"Tuhan melampaui segalanya, sifat-sifat baik maupun sifat-sifat yang kita anggap buruk. Â Itulah sebabnya mengapa pada satu nama Dia di sebut Maha Kasih, tetapi di nama lain ia disebut Maha Pemarah dengan kemurkaan yang keras. Dia melampaui semua nilai maupun sifat, itulah sebabnya mengapa Dia Maha Sempurna. Kalau manusia selalu dan terus-menerus berbuat salah, Tuhan selalu dan terus-menerus menjadi pemaaf yang penuh kasih. Itulah kesempurnaan."
Si penanya mengangguk, "Lalu bagaimana untuk memperoleh kesempurnaan, Guru?"
"Kau harus pernah berbuat salah salah untuk menemukan hal-hal baik... Kita tidak bisa membedakan mana yang baik dari yang buruk tanpa mengetahui keduanya. Itulah sebabnya Tuhan mempersilakan kita bersalah, agar selanjutnya kita terus berjalan dengan kebaikan-kebaikan..."
Yeah, oh, oh baby, pretty baby..!
Pretty, pretty please, don't you ever, ever feel
Like you're less than, less than perfect
Pretty, pretty please, if you ever, ever feel
Like you're nothing, you're perfect to me
You're perfect, you're perfect!
Pretty, pretty please, don't you ever, ever feel
Like you're less than, less than perfect
Pretty please, if you ever feel like you're nothing:
you are perfect to me....
Terakhir, sesungguhnya tulisanku kali ini bukan tulisan yang baik... sebab aku hanya memanggil segala hal yang sesungguhnya sudah ada dalam dirimu. Tak ada hal baru yang aku sampaikan. Tentang strukturnya, juga bahasa yang kugunakan, sejujurnya aku mengabaikan semua teori dalam menulis: aku hanya menulis seperti bagaimana pikiran kita bekerja, bagaimana perasaan kita bekerja, dan itulah cara yang kupilih untuk menyampaikan semua ini kepadamu.
Sekarang bernyanyilah: dalah hatimu, dalam pikiranmu. Lalu setelah nyanyian itu selesai, pejamkanlah matamu. Hadirkanlah wajah orang-orang yang kaucintai dan mencintaimu dalam ingatan. Tariklah napas panjang... lalu tahan lima sampai sepuluh hitungan... Kumpulkan semua perasaan dan pikiran-pikiran buruk, rangkum semua kenangan dan masa lalu yang buruk... lalu hembuskan!
...sekarang, lihatlah ia menjelma burung dengan sayap yang terbuka, terbang membelah angin menyongsong cakrawala: Di sanalah ia akan hilang... berubah cahaya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H