Science Valley 63: (Kedaluwarsa Teori Sastra – Afasia Sastra) Indonesia
Lalu, apa masalah (kedaluwarsa teori sastra – afasia sastra) Indonesia (dan dunia)?
PESIMIS, melihat kesulitan dalam setiap kesempatan. Optimis, kesempatan di setiap kesulitan (L.P. Jacks).
FEELING IS BELIEVING. Kali ini, membahas buku Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern (Rachmat Djoko Pradopo, 1985) sebagai acuan, dengan tambahan buku SEJUMLAH MASALAH SASTRA (Satyagraha Hoerip. Ed, 1982), buku TERGANTUNG PADA KATA (A. Teeuw, 1980), buku Berkenalan dengan cipta seni (S. Suharianto, 1982), buku Metodologi Penelitian Sastra (Wuradji, dkk, 2001) dibandingkan dengan (R)Evolusi Ilmu - Paradigma Baru Milenium III, yang berpatokan pada syarat keteraturan atau sistem ilmiah ilmu TQZ Scientific System of Science.
Mari mulai membahas buku Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern (Rachmat Djoko Pradopo, 1985), khusus puisi Sutardji Calzoum Bachri dan buku lainnya.
Paradigma Lama: Bab I Pendahuluan. Buku III Bahasa Puisi Sutardji Calzoum Bachri (Hal 1-6, 56-88) dan buku lainnya.
“Pemahaman bahasa puisi sangat penting dalam memahami karya sastra, khususnya puisi. Meskipun demikian hal ini sangat penting, sampai sekarang dalam penelitian kesusastraan Indonesia modern, penelitian bahasa puisi secara khusus dapat dikatakan belum ada. Kalau pun ada, penelitian yang mungkin dapat digolongkan dalam penelitian bahasa puisi dapat dikatakan belum memuaskan (1)...Bahkan, tampaknya tinjauannya kurang sistematis atau kurang disusun berdasarkan penggolongan jenis atau corak bahasa puisinya...Pada umumnya peninjauan puisi Indonesia modern yang sudah ada lebih dititikberatkan pada tinjauan isi pikiran, pandagan hidup penyair, serta masalah-masalah yang dibeberkan dalam sajaknya.. Dalam penelitian puisi, faktor kebahasaan sangat penting, bahkan dapat dikatakan terpenting karena kepuitisan utama dalam sajak terletak dalam bahasanya (2)... Penelitian ini menggunakan metode struktural, yaitu metode analisis terhadap struktur bahasa puisi ke dalam unsur-unsur pembentukannya (4).
Sutardji Calzoum Bachri banyak sekali mempergunakan penyimpangan dari tata bahasa normatif dalam sajak-sajaknya untuk mendapatkan arti baru dan eksprevitas karena kepadatannya atau “keanehannya”, yang pada umumnya belum pernah dicoba secara intensif oleh penyair-penyair sebelumnya....(1) Penghapusan Tanda Baca, (2) Penggabungan Dua Kata atau Lebih, (3) Penghilangan Imbuhan, (4) Pemutusan Kata, (5) Pembentukan Jenis Kata (Rachmat Djoko Pradopo, 1985: 57-63).
Urusan cari-mencari definisi puisi beserta norma-norma (yang pasti) estetikanya, memang selalu susah. Masalahnya karena dalam sastra pada umumnya, puisi khususnya, lebih besar berisi “hukum kemungkinan-kemungkinan” belaka, daripada hukum kepastian-kepastian. (188)...Namun demikian semua orang tahu dan secara akrab pula mengenal “puisi” dan bukan puisi, walau tanpa usah bisa menerangkan secara definitif apakah itu. Karena itu pada hemat saya setiap kritikus harus tidak ragu-ragu mengatakan pendapat: “Ini sajak dan yang itu bukan. Ini bagus dan itu jelek.” (189)...Saya menduga di sinilah letak dilema kritik perpuisan modern pada umumnya. Bahwa orang-ortang yang terlampau meminta rasionalisasi dari dalam seni, dihinggapi semacam “kompleks linguistik”, yang maunya agar semua standar dan harus bisa dianalisa dengan logika linguistik (Ilmu Bahasa) (189) (Dami N. Toda, 1977: 188-189).
“Walau bagaimana pun juga kata adalah alat, yang juga oleh Sutardji sendiri dipergunakan, dipermainkan untuk mengadakan komunikasi...Yang kedua: kata tanpa pengertian tidask mungkin, dalam arti kata tak beperngertian kehilangan ciri nya yang khas basaha, menjadi bun yi saja (A. Teeuw, 1983: 147-148).
“Tentang Puisi Tanpa Kata. Apakah sesungguhnya puisi itu? Penulis yakin tak seorang profesor pun akan dapat menjawabnya dengan tepat. Dan sekiranya ada orang dengan segala ikhtiar berusaha mau mendefinisikannya, penulis cenderung menilainya sebagai perbuatan orang yang mencari-cari kerja belaka...Hanya tidak dapat dibantah oleh siapa pun adalah adanya kenyataan bahwa setiap benda memiliki ciri-ciri yang hakiki, yang membedakannya dari benda–benda lain.
(72)...Memang penyair mempunyai licentia poetica. Tetapi licentia poetica bukanlah barbarisme dalam bahasa. Dengan kata lain kebebasan penyair dalam berurusan dengan kata bukanlah kebebasan yang sewenang-wenang. Dari awal hingga akhirnya, puisi adalah seni kata. Kata yang mengemban makna...Cukup sah kesangsian orang terhadap hasil–hasil karya para pengarang akhir-akhir ini, yang tidak menggunakan “kata” sebagai puisi, lebih-lebih yang hanya berupa garis-garis atau kotak-kotak...(S. Suharianto, 1982: 78).
“Kerja penelitian seorang ilmuwan yang didominasi oleh sikap yang kritis memperlihatkan fase-fase berpikir sebagaimana dikemukakan oleh Dewey, yaitu: (1) mengetahui adanya masalah, (2) mengidentifikasi masalah, (3) memperkirakan alat untuk memecahkan masalah, seperti teori, hipotesis, (4) inventarisasi dari pengolahan data sebagai bukti, dan (5) penyimpulan (Siti Chamamah Soeratno, 2001: 17).
“Untuk penelitian sastra dengan menggunakan salah satu teori sastra, pertama kali, harus dimengerti dahulu mengenai teori itu, kemudian mengenai metodenya. Dalam hal ini, teori yang dipergunakan sebagai pendekatan sastra adalah semiotik (67)...Semiotik itu memanndang objek-objek atau laku-laku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa: sistem linguistik) yang mendasari “tata bahasanya” (69)...Konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (karya sastra).
Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks, di luar linguistik. Di antaranya adalah pembaitan, enjambemen, persajakan (rima), tipografi, dan homologues. Contohnya adalah sajak Sutardji yang berjudul “Tragedi Winka & Sihka” (Rachmat Djoko Pradopo, 2001: 67, 69, 75).
Paradigma Baru Milenium III: Teori Sastra – Afasia Sastra (Bahasan bandingan ringkasan Bab I Pendahuluan. Buku III Bahasa Puisi Sutardji Calzoum Bachri (Rachmat Djoko Pradopo, 1985: 1-6, 56-88) dan buku lainnya.
Kalau penyair mengeluh akan definisi, atau ciri puisi hal biasa. Tetapi kalau akademisi juga menganggap definisi, teori dan metode analisa sastra masih ada masalah, harusnya, tugasnya memecahkan karena dalam pendidikan memerlukan bahasa ilmiah yang standar. Untuk definisi puisi paradigma baru, lihat Rujukan Masalah (Sistem Bahasa) Indonesia pada Science Valley 16: (Kedaluwarsa Sistem Bahasa Ilmiah) Indonesia.
Sebenarnya, Dewey sangat jelas bahwa untuk memecahkan suatu masalah tergantung pada alat, untuk pikiran berupa teori ilmu. Ini juga sangat jelas dibahas pada Rujukan Masalah (Kualitas Manusia) Indonesia dan Masalah (Mati Daya) Indonesia (Lihat Science Valley 18: (Kedaluwarsa Aksiologi: Ilmu dan Teknologi) Indonesia). Apa yang dapat diteliti dari segenggam pasir dengan mata telanjang, dibanding dengan mikroskop? Sekadar deskripsi butiran pasir. Apa yang dapat dibahas paradigma lama dengan “teori” yang tidak memenuhi syarat ilmiah ilmu, dibanding paradigma baru? Sekadar deskripsi kacau atau cerita dipanjang-panjangkan saja.
Kesulitan mendefinisikan puisi atau apa pun, itu karena tidak memiliki acuan filsafat Ilmu (Lihat Science Valley 7: (Kedaluarsa Dasar Ilmu Filsafat) Indonesia) dan cara mendefinisikan sesuatu (Lihat Science Valley 24: (Kedaluwarsa Sistem Definisi Ilmiah) Indonesia) dan mengenai TQZ Theory of Everything in Science (TES) (Lihat Science Valley 20: (Kedaluwarsa Kebudayaan Rasional) Indonesia). Lebih jelas, lihat Science Valley 61: (Kedaluwarsa Teori Sastra – Prinsip Puisi) Indonesia.
Untuk kesekian kali, paradigma baru diuji dan membuktikan kehebatannya membahas berbagai fenomena ilmu, kali ini tentang puisi Sutardji Calzoum Bachri, yang masih saja ada kritikus bersilang pendapat. Pembahasan juga sekaligus menunjukkan mengapa penelitian sulit pada karya sastra karena teori atau metode pendekatan sastra paradigma lama ketinggalan zaman, atau tidak memadai untuk menghasilkan pemahaman yang lebih baik.
Ini kutipan esai tentang puisi Sutardji, Strategi (R)Evolusi Afasia Sastra:
“Pendekatan-pendekatan dari berbagai arah yang dilakukan oleh ahli sastra terhadap karya sastra – dalam hal ini puisi, dengan teori-teorinya masih mempunyai perbedaan dan benturan, disamping bergerak dan berkembangnya konsep puitika itu secara tak terduga sebelum teori-teori itu sempurna mendekatinya, membuat teori-teori sastra klasik agak canggung dan kehilangan arah. Dari konsep puitika arti dan rima antar baris, arti dan bunyi dalam baris, kemudian berjalan menjadi bentuk dan bunyi, adalah sangat kompleks dan banyak sisi.
Perbedaan pendapat tentang teori linguistik, disimpulkan oleh Venhaar (1980) dengan, (1) mengakui adanya tingkat ekspresi dan tingkat makna,(2) mengakui adanya tingkat ekspresi saja, (3) mengakui adanya tingkat ekspresi dan tingkat situasi,dan (4) mengakui adanya tingkat makna, ekspresi dan situasi. Ini banyak mempengruhi karya sastra di Indonesia dan membuat sedikit kebingungan pada pengikut aliran yang saling ngotot dengan pendapat dan keyakinannya, seperti sastra kontesktual, pembebasan arti, kebebasan tifografi dan sebagainya. Tetapi, bagaimana pun pengkajian terhadap berbagai gelaja bahasa itu hendaknya dihubungkan dengan struktur dan fungsi bahasa, berkaitan dengan aspek langue (sistem bahasa) dan aspek parole (kegiatan berbicara), selaku karya sastra – puisi, merupakan bagian dari kesusastraan.
Dalam arus budaya pasca-nasional yang demikian majemuk, tampak jelas agresifnya seniman (termasuk penyair) dalam mencari medium dan bentuk-bentuk untuk menumpahkan ekspresi dalam lambang-lambang lebih pribadi yang berdimensi banyak, mencari terobosan yang dilakukan terhadap nilai-nilai yang sudah mapan dengan berbagai kemungkinan. Terjadinya pengkulakan – dibeli untuk dijual kembali, atribut kebudayaan dari berbagai belahan menjadikan tak ada garis pemisah yang jelas antara variabel kebudayaan khas Barat atau Timur, sama halnya dengan kebudayaan daerah dengan kebudayaan nasional yang tak dapat digariskan secara nyata.
Begitu juga dalam karya sastra, maupun teori satra tidak ada yang benar-benar khas Indonesia sekarang ini. Barangkali hanya ada peminjaman dari luar dipadu dengan dari dalam kemudian diadaptasikan dengan waktu, tempat dan selera pelaku kebudayaan itu sendiri. Sekarang, yang muncul adalah masyarakat yang demikian bervariasi berbeda, dengan ungkapan sangat peribadi dan tunggal, yang mereka buat sendiri. Ini bisa dilihat dari bentuk perhiasan, busana, nyanyian, puisi, bangunan dan lain-lain, yang cenderung menginginkan ketidaksamaan dengan yang lain. Kadang kala sekadar warna lain saja dan nampak tergesa-gesa, dengan angkuh berlindung pada dalih klasik sebagai seorang seniman, bebas melakukan kreativitas tanpa batas, tanpa penalaran logika yang diketahui, tanpa mau tahu bahwa alam raya ini pun sesungguhnya memiliki keteraturan dalam antara kekacauan dan kestabilan semu.
Hingga, akhirnya karya mereka nampak seperti sebuah lelucon, dengan kesan kemiskinan batin, yang selanjutnya membuat karya tersebut cepat kering dan karatan, atau tidak abadi. Misal, puisi(?) yang hanya tumpukan kata (atau lebih tepat disebut huruf) dengan pembebasan arti menjadi mode.
Jika ditelaah secara linguistik, karya sastra – puisi (?) yang hanya bentuk dan bunyi atau formalitas kata saja, otak mengalami gangguan informasi dalam mencernanya yang disebut dengan Sensori agnosias dalam psikologi. Karena lambang, yang demikian pribadi yang terbentuk menjadi bernilai sangat subyektif dan muncul kepermukaan hanyalah berupa rupa, sehingga kadang kemampuan berkomunikasi secara verbal hilang. Sebab bentuk, apalagi penuh bervariasi tidak akan dapat diwakili oleh pengucapan sertibu kata-kata sekalipun.
Afasia atau hilangnya kemampuan berkomunikasi verbal ini dalam linguistik pada psikologi dalam paradigma baru dibagi atas, TQZ Poetry Aphasia (Diagram, 2000) : TQO Syntax Aphasia (Afasia sintaksis), hilangnya bentuk-bentuk gramatikal, TQC Semantic Aphasia (Afasia semantis), kurang tepatnya pemilihan kata, TQC Pragmatic Aphasia (Afasia pragmatis), tidak tepatnya penggunaan kata, TQI Jargone Aphasia (Afasia jargon), ungkapan verbal yang tidak dapat dimengerti, dan TQT Verbal Aphasia (Afasia verbal), yang tidak dapat diucapkan sama sekali. (Lihat Diagram, 2000). (Maaf diagram tidak ditampilkan di sini).
Puisi umumnya hanya sebatas Afasia sintaksis, karena pemadatan demi mencapai penekanan pada arti yang lebih hidup dan berasosasi, tetapi tidak sampai pada afasia semantis dan apasia pragmatis. Sutardji Calzoum Bachri, dalam beberapa puisinya nampaknya hampir jatuh pada afasia semantis sehingga yang terasa hanyalah simbolik bunyi saja, tetapi ia dengan kecerdikannya masih dapat bertahan menyembunyikan arti di balik permainan kata-katanya, misalnya waktukutukku waktukutukku waktukutukku, tolongtolongtolongtolongngngngngng, dan sebaginya. Dan, harga kecedikan kemampuan bertahan ini cukup monumental dalam perkembangan perpuisian di Indonesia, “kalau Chairil diibaratkan sebagai mata kita yang kanan, maka Sutardji adalah mata kita yang kiri” (Dami N. Toda, 1977: 177).
Tetapi, tidak disangkal dalam bisa disangkal ada pula beberapa kata dalam puisinya yang mencapai afasia pragmatis, yaitu di antara sekian kata di dalam beberapa puisinya tidak merujuk referensi arti tertentu, yang masih perlu dipertanyakan sebagaii keutuhan sebuah puisi. Sedang pada beberapa penyair epigon Sutardji – yang sering disebut penyair mbeling dengan puisi mbeling, pada beberapa karyanya tenggelam jauh sampai afasia jargon, dapat diucapkan secara keseluruhan tetapi tidak memiliki rujukan arti dan afasia verbal dengan simbol-simbol langgam (stilistik) yang tidak lazim seperti garis, warna, tabel dan lain-lain, sehingga karya demikian dikatakan bisu dalam linguistik.
Sebenarnya permainan kata demikian bukanlah monopoli penyair. Penyanyi, pelawak, apalagi remaja sudah berkecimpung erat melakukan terobosan kreatif rangka mencari identitas diri. Kata-kata kurraca, assoy maupun singkatan atau istilah kocak yang diasuh oleh Wono Khairun – pelawak di salah satu radio swasta dekade 80-an, sangat banyak menunjukkan gejala demikian, disamping okem, prokem dan grafiti oleh para remaja yanga beragam seperti bcq (becek), U2 (you too), 4U (for you), 26 the kill azal 1/3 jah (rela dekil asal seperti gajah), ber217an (berdua satu tujuan), dan lain-lain. Hal seperti ini perlu mendapat perhatian, karena padanya bukan sekadar corat-coret tanpa makna, tetapi masuk ditemukan dasar pijaknya. (Sekarang era digital dengan emoticon).
Yang lain, ada kekeliruan pada penciptaan karya seni rupa oleh sebagian penyair (lebih tepat senimain atau perupa, saat mencipta karya itu) dan menganggap karya sebagai perluasan puisi dan mereka namakan “Puisi kongkret” juga, dengan alasan bentuknya kongkret dan memiliki nilai puitis, terdiri dari tulisan, tempelan, kayu, besi, dan berbagai benda yang disusun dalam, kemudian dipamerkan. Mengenai karya demikian, di beberapa negara disebut “Seni jalanan”, karena hampir selalu ditemukan dekat jalan dan “Seni dari alam”, sedang di Indonesia beberapa seniman menyebutnya “Syair rupa baru” dan “Karya situasi”, hasil garapan kreavititas terhadap barang-barang sehari-hari, seperti iklan, stiker, majalah, dan lain-lain, hasil paduan grafis, pelukis, pematung, fotografi, sineas, dan perancang interior” (Qinimain Zain, 1989: 7).
Jadi, jelas masalah (kedaluwarsa teori sastra – Afasia Sastra) Indonesia (dan dunia)? Mari belajar, mengajar dan mengelola apa pun dengan sistem ilmiah ilmu dengan Paradigma Baru Milenium III yang dalam, jelas dan luas, agar lebih baik
SETIAP masalah adalah hadiah. Tanpa masalah kita tidak akan tumbuh (Anthony Robbins).
BAGAIMANA Strategi Anda?
Rujukan: Copyright © Qinimain Zain
1. Rachmat Djoko Pradopo, Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern, 1985: 1-6, 56-88, Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Cetakan pertama, Jakarta.
2. Dami N. Toda, Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa (dalam SEJUMLAH MASALAH SASTRA (Satyagraha Hoerip. Ed), 1977: 188-189, Sinar Harapan, Cetakan kedua, Jakarta.
3. A. Teeuw, TERGANTUNG PADA KATA, 1983: 147-148, Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, Jakarta.
4. S. Suharianto, Berkenalan dengan cipta seni, 1982: 78, Mutiara Permatawidya, Semarang.
5. Siti Chamamah Soeratno, Penelitian Sastra Tinjauan Tentang Teori dan Metode Sebuah Pengantar (dalam Metodologi Penelitian Sastra) 2001: 17, Hanindita Graha Widya, Cetakan ke-1, Yogyakarta.
6. Rachmat Djoko Pradopo, Dewa Telah Mati: Kajian Sturkturalisme–Semiotik (dalam Metodologi Penelitian Sastra), 2001: 67, 69, 75, Hanindita Graha Widya, Cetakan ke-1, Yogyakarta.
7. Qinimain Zain, Strategi (R)Evolusi Sistem Ilmu, Tablomagazine BISNIS No. 17/II/27 Februari – 12 Maret 2005 : 10 (TQZ Scientific System of Science Diagram).
8. Qinimain Zain, (Revisi) Strategi (R)Evolusi Afasia Sastra, Banjarmasin Post, 1989: 7, Banjarmasin (TQZ Literature Aphasia Diagram).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H