Mohon tunggu...
Qinimain Zain
Qinimain Zain Mohon Tunggu... profesional -

Scientist & Strategist (QPlus Management Strategies - Consultant)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masalah (Kedaluwarsa Teori Sastra – Afasia Sastra) Indonesia

12 April 2016   04:00 Diperbarui: 12 April 2016   14:40 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(72)...Memang penyair mempunyai licentia poetica. Tetapi licentia poetica bukanlah barbarisme dalam bahasa. Dengan kata lain kebebasan penyair dalam berurusan dengan kata bukanlah kebebasan yang sewenang-wenang. Dari awal hingga akhirnya, puisi adalah seni kata. Kata yang mengemban makna...Cukup sah kesangsian orang terhadap hasil–hasil karya para pengarang akhir-akhir ini, yang tidak menggunakan “kata” sebagai puisi, lebih-lebih yang hanya berupa garis-garis atau kotak-kotak...(S. Suharianto, 1982: 78).

“Kerja penelitian seorang ilmuwan yang didominasi oleh sikap yang kritis memperlihatkan fase-fase berpikir sebagaimana dikemukakan oleh Dewey, yaitu: (1) mengetahui adanya masalah, (2) mengidentifikasi masalah, (3) memperkirakan alat untuk memecahkan masalah, seperti teori, hipotesis, (4) inventarisasi dari pengolahan data sebagai bukti, dan (5) penyimpulan (Siti Chamamah Soeratno, 2001: 17).

“Untuk penelitian sastra dengan menggunakan salah satu teori sastra, pertama kali, harus dimengerti dahulu mengenai teori itu, kemudian mengenai metodenya. Dalam hal ini, teori yang dipergunakan sebagai pendekatan sastra adalah semiotik (67)...Semiotik itu memanndang objek-objek atau laku-laku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa: sistem linguistik) yang mendasari “tata bahasanya” (69)...Konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (karya sastra). 

Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks, di luar linguistik. Di antaranya adalah pembaitan, enjambemen, persajakan (rima), tipografi, dan homologues. Contohnya adalah sajak Sutardji yang berjudul “Tragedi Winka & Sihka” (Rachmat Djoko Pradopo, 2001: 67, 69, 75).

Paradigma Baru Milenium III: Teori Sastra – Afasia Sastra (Bahasan bandingan ringkasan Bab I Pendahuluan. Buku III Bahasa Puisi Sutardji Calzoum Bachri (Rachmat Djoko Pradopo, 1985: 1-6, 56-88) dan buku lainnya.

Kalau penyair mengeluh akan definisi, atau ciri puisi hal biasa. Tetapi kalau akademisi juga menganggap definisi, teori dan metode analisa sastra masih ada masalah, harusnya, tugasnya memecahkan karena dalam pendidikan memerlukan bahasa ilmiah yang standar. Untuk definisi puisi paradigma baru, lihat Rujukan Masalah (Sistem Bahasa) Indonesia pada Science Valley 16: (Kedaluwarsa Sistem Bahasa Ilmiah) Indonesia.

Sebenarnya, Dewey sangat jelas bahwa untuk memecahkan suatu masalah tergantung pada alat, untuk pikiran berupa teori ilmu. Ini juga sangat jelas dibahas pada Rujukan Masalah (Kualitas Manusia) Indonesia dan Masalah (Mati Daya) Indonesia (Lihat Science Valley 18: (Kedaluwarsa Aksiologi: Ilmu dan Teknologi) Indonesia). Apa yang dapat diteliti dari segenggam pasir dengan mata telanjang, dibanding dengan mikroskop? Sekadar deskripsi butiran pasir. Apa yang dapat dibahas paradigma lama dengan “teori” yang tidak memenuhi syarat ilmiah ilmu, dibanding paradigma baru? Sekadar deskripsi kacau atau cerita dipanjang-panjangkan saja.

Kesulitan mendefinisikan puisi atau apa pun, itu karena tidak memiliki acuan filsafat Ilmu (Lihat Science Valley 7: (Kedaluarsa Dasar Ilmu Filsafat) Indonesia) dan cara mendefinisikan sesuatu (Lihat Science Valley 24: (Kedaluwarsa Sistem Definisi Ilmiah) Indonesia) dan mengenai TQZ Theory of Everything in Science (TES) (Lihat Science Valley 20: (Kedaluwarsa Kebudayaan Rasional) Indonesia). Lebih jelas, lihat Science Valley 61: (Kedaluwarsa Teori Sastra – Prinsip Puisi) Indonesia.

Untuk kesekian kali, paradigma baru diuji dan membuktikan kehebatannya membahas berbagai fenomena ilmu, kali ini tentang puisi Sutardji Calzoum Bachri, yang masih saja ada kritikus bersilang pendapat. Pembahasan juga sekaligus menunjukkan mengapa penelitian sulit pada karya sastra karena teori atau metode pendekatan sastra paradigma lama ketinggalan zaman, atau tidak memadai untuk menghasilkan pemahaman yang lebih baik.

Ini kutipan esai tentang puisi Sutardji, Strategi (R)Evolusi Afasia Sastra:

“Pendekatan-pendekatan dari berbagai arah yang dilakukan oleh ahli sastra terhadap karya sastra – dalam hal ini puisi, dengan teori-teorinya masih mempunyai perbedaan dan benturan, disamping bergerak dan berkembangnya konsep puitika itu secara tak terduga sebelum teori-teori itu sempurna mendekatinya, membuat teori-teori sastra klasik agak canggung dan kehilangan arah. Dari konsep puitika arti dan rima antar baris, arti dan bunyi dalam baris, kemudian berjalan menjadi bentuk dan bunyi, adalah sangat kompleks dan banyak sisi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun