Mohon tunggu...
Qinimain Zain
Qinimain Zain Mohon Tunggu... profesional -

Scientist & Strategist (QPlus Management Strategies - Consultant)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masalah (Kedaluwarsa Teori Sastra – Afasia Sastra) Indonesia

12 April 2016   04:00 Diperbarui: 12 April 2016   14:40 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perbedaan pendapat tentang teori linguistik, disimpulkan oleh Venhaar (1980) dengan, (1) mengakui adanya tingkat ekspresi dan tingkat makna,(2) mengakui adanya tingkat ekspresi saja, (3) mengakui adanya tingkat ekspresi dan tingkat situasi,dan (4) mengakui adanya tingkat makna, ekspresi dan situasi. Ini banyak mempengruhi karya sastra di Indonesia dan membuat sedikit kebingungan pada pengikut aliran yang saling ngotot dengan pendapat dan keyakinannya, seperti sastra kontesktual, pembebasan arti, kebebasan tifografi dan sebagainya. Tetapi, bagaimana pun pengkajian terhadap berbagai gelaja bahasa itu hendaknya dihubungkan dengan struktur dan fungsi bahasa, berkaitan dengan aspek langue (sistem bahasa) dan aspek parole (kegiatan berbicara), selaku karya sastra – puisi, merupakan bagian dari kesusastraan.

Dalam arus budaya pasca-nasional yang demikian majemuk, tampak jelas agresifnya seniman (termasuk penyair) dalam mencari medium dan bentuk-bentuk untuk menumpahkan ekspresi dalam lambang-lambang lebih pribadi yang berdimensi banyak, mencari terobosan yang dilakukan terhadap nilai-nilai yang sudah mapan dengan berbagai kemungkinan. Terjadinya pengkulakan – dibeli untuk dijual kembali, atribut kebudayaan dari berbagai belahan menjadikan tak ada garis pemisah yang jelas antara variabel kebudayaan khas Barat atau Timur, sama halnya dengan kebudayaan daerah dengan kebudayaan nasional yang tak dapat digariskan secara nyata. 

Begitu juga dalam karya sastra, maupun teori satra tidak ada yang benar-benar khas Indonesia sekarang ini. Barangkali hanya ada peminjaman dari luar dipadu dengan dari dalam kemudian diadaptasikan dengan waktu, tempat dan selera pelaku kebudayaan itu sendiri. Sekarang, yang muncul adalah masyarakat yang demikian bervariasi berbeda, dengan ungkapan sangat peribadi dan tunggal, yang mereka buat sendiri. Ini bisa dilihat dari bentuk perhiasan, busana, nyanyian, puisi, bangunan dan lain-lain, yang cenderung menginginkan ketidaksamaan dengan yang lain. Kadang kala sekadar warna lain saja dan nampak tergesa-gesa, dengan angkuh berlindung pada dalih klasik sebagai seorang seniman, bebas melakukan kreativitas tanpa batas, tanpa penalaran logika yang diketahui, tanpa mau tahu bahwa alam raya ini pun sesungguhnya memiliki keteraturan dalam antara kekacauan dan kestabilan semu.

 Hingga, akhirnya karya mereka nampak seperti sebuah lelucon, dengan kesan kemiskinan batin, yang selanjutnya membuat karya tersebut cepat kering dan karatan, atau tidak abadi. Misal, puisi(?) yang hanya tumpukan kata (atau lebih tepat disebut huruf) dengan pembebasan arti menjadi mode. 

Jika ditelaah secara linguistik, karya sastra – puisi (?) yang hanya bentuk dan bunyi atau formalitas kata saja, otak mengalami gangguan informasi dalam mencernanya yang disebut dengan Sensori agnosias dalam psikologi. Karena lambang, yang demikian pribadi yang terbentuk menjadi bernilai sangat subyektif dan muncul kepermukaan hanyalah berupa rupa, sehingga kadang kemampuan berkomunikasi secara verbal hilang. Sebab bentuk, apalagi penuh bervariasi tidak akan dapat diwakili oleh pengucapan sertibu kata-kata sekalipun. 

Afasia atau hilangnya kemampuan berkomunikasi verbal ini dalam linguistik pada psikologi dalam paradigma baru dibagi atas, TQZ Poetry Aphasia (Diagram, 2000) : TQO Syntax Aphasia (Afasia sintaksis), hilangnya bentuk-bentuk gramatikal, TQC Semantic Aphasia (Afasia semantis), kurang tepatnya pemilihan kata, TQC Pragmatic Aphasia (Afasia pragmatis), tidak tepatnya penggunaan kata, TQI Jargone Aphasia (Afasia jargon), ungkapan verbal yang tidak dapat dimengerti, dan TQT Verbal Aphasia (Afasia verbal), yang tidak dapat diucapkan sama sekali. (Lihat Diagram, 2000). (Maaf diagram tidak ditampilkan di sini).

Puisi umumnya hanya sebatas Afasia sintaksis, karena pemadatan demi mencapai penekanan pada arti yang lebih hidup dan berasosasi, tetapi tidak sampai pada afasia semantis dan apasia pragmatis. Sutardji Calzoum Bachri, dalam beberapa puisinya nampaknya hampir jatuh pada afasia semantis sehingga yang terasa hanyalah simbolik bunyi saja, tetapi ia dengan kecerdikannya masih dapat bertahan menyembunyikan arti di balik permainan kata-katanya, misalnya waktukutukku waktukutukku waktukutukku, tolongtolongtolongtolongngngngngng, dan sebaginya. Dan, harga kecedikan kemampuan bertahan ini cukup monumental dalam perkembangan perpuisian di Indonesia, “kalau Chairil diibaratkan sebagai mata kita yang kanan, maka Sutardji adalah mata kita yang kiri” (Dami N. Toda, 1977: 177). 

Tetapi, tidak disangkal dalam bisa disangkal ada pula beberapa kata dalam puisinya yang mencapai afasia pragmatis, yaitu di antara sekian kata di dalam beberapa puisinya tidak merujuk referensi arti tertentu, yang masih perlu dipertanyakan sebagaii keutuhan sebuah puisi. Sedang pada beberapa penyair epigon Sutardji – yang sering disebut penyair mbeling dengan puisi mbeling, pada beberapa karyanya tenggelam jauh sampai afasia jargon, dapat diucapkan secara keseluruhan tetapi tidak memiliki rujukan arti dan afasia verbal dengan simbol-simbol langgam (stilistik) yang tidak lazim seperti garis, warna, tabel dan lain-lain, sehingga karya demikian dikatakan bisu dalam linguistik.

Sebenarnya permainan kata demikian bukanlah monopoli penyair. Penyanyi, pelawak, apalagi remaja sudah berkecimpung erat melakukan terobosan kreatif rangka mencari identitas diri. Kata-kata kurraca, assoy maupun singkatan atau istilah kocak yang diasuh oleh Wono Khairun – pelawak di salah satu radio swasta dekade 80-an, sangat banyak menunjukkan gejala demikian, disamping okem, prokem dan grafiti oleh para remaja yanga beragam seperti bcq (becek), U2 (you too), 4U (for you), 26 the kill azal 1/3 jah (rela dekil asal seperti gajah), ber217an (berdua satu tujuan), dan lain-lain. Hal seperti ini perlu mendapat perhatian, karena padanya bukan sekadar corat-coret tanpa makna, tetapi masuk ditemukan dasar pijaknya. (Sekarang era digital dengan emoticon).

Yang lain, ada kekeliruan pada penciptaan karya seni rupa oleh sebagian penyair (lebih tepat senimain atau perupa, saat mencipta karya itu) dan menganggap karya sebagai perluasan puisi dan mereka namakan “Puisi kongkret” juga, dengan alasan bentuknya kongkret dan memiliki nilai puitis, terdiri dari tulisan, tempelan, kayu, besi, dan berbagai benda yang disusun dalam, kemudian dipamerkan. Mengenai karya demikian, di beberapa negara disebut “Seni jalanan”, karena hampir selalu ditemukan dekat jalan dan “Seni dari alam”, sedang di Indonesia beberapa seniman menyebutnya “Syair rupa baru” dan “Karya situasi”, hasil garapan kreavititas terhadap barang-barang sehari-hari, seperti iklan, stiker, majalah, dan lain-lain, hasil paduan grafis, pelukis, pematung, fotografi, sineas, dan perancang interior” (Qinimain Zain, 1989: 7).

Jadi, jelas masalah (kedaluwarsa teori sastra – Afasia Sastra) Indonesia (dan dunia)? Mari belajar, mengajar dan mengelola apa pun dengan sistem ilmiah ilmu dengan Paradigma Baru Milenium III yang dalam, jelas dan luas, agar lebih baik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun