Sehingga peserta didik harus mempunyai strategi untuk bisa diterima di zona tersebut dengan mempertimbangkan pilihan satu, dua, tiga, bahkan pilihan empat yang ada di luar zona.
Hilangkan Dikotomi
Kebijakan itu bila dicermati lebih mendalam urgensinya adalah untuk pemerataan layanan pendidikan yang maksimal di semua sekolah kepada semua masyarakat.Â
Kasta yang mendikotomi sekolah favorit dan tidak favorit atau sekolah kelas satu dan kelas dua perlahan ingin dihilangkan. Secara implisit anak berhak sekolah di mana saja tanpa ada tembok yang menghalangi untuk masuk sekolah favorit atau tidak favorit, dan guru atau tenaga pendidik berkewajiban mendidik siapa saja bukan hanya anak-anak pilihan atau berprestasi.Â
Pada hakikatnya para tenaga pendidik sudah memiliki kompetensi profesional yang sudah seharusnya siap untuk mengantar peserta didik untuk pintar secara akademik maupun berkembang non-akademik dan berakhlakul karimah, dengan tanpa harus memilah dan memilih peserta didik tertentu. Â
Dengan sistem zonasi mungkin sementara menjadi solusi yang harus kita dukung dan juga harus kita kritisi untuk mengevaluasi menjadi lebih sempurna pelaksanaannya.
Kedua adalah masalah umur. Tahun ini umur menjadi penentu seleksi penerimaan peserta didik, artinya semakin tua usia peserta didik semakin besar kans untuk berhak mendapat kursi di sekolah yang menjadi idamannya.
Sedangkan yang umurnya lebih muda harus rela gigit jari dan "dipaksa" menerima takdir dari kebijakan Permendikbud no 44 tahun 2019 tersebut.Â
Sudah menjadi impian bagi masyarakat kita untuk bisa menyekolahkan anaknya di sekolah negeri dengan berbagai pertimbangan, dari segi biaya maupun jarak tempuh ke sekolah.Â
Sehingga ada sedikit kebanggaan bisa diterima di sekolah negeri apalagi favorit meski ini sangat subyektif dan tidak bisa digeneralisir semua masyarakat seperti itu. Paling tidak ekspektasi untuk masuk ke sekolah negeri tidak bisa dibilang kecil.
Oleh karena itu PPDB tahun juga menjadi tantangan baru bagi sekolah yang selama ini masuk dalam kategori dalam masyarakat sebagai sekolah unggulan, paling tidak akan memperoleh input yang sama dengan sekolah-sekolah lainnya.
Nah, di sinilah saatnya semua sekolah untuk ber "fastabiqul khairat" (berlomba-lomba dalam kebaikan) dalam konteks berpacu mengembangkan pendidikan yang kompetitif dan positif