Mohon tunggu...
Fariq Tasaufy
Fariq Tasaufy Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

when the world turns against my will....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Satu Bendel Surat; Maaf Terlalu Banyak Kubalas

23 Mei 2012   09:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:55 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Secangkir Kopi; Surat dari Sahabat

Secangkir kopi, saat pena dikebiri.

pun, asap jalan bersahabat penat.

Secangkir kopi,

Saat tinta tak menyembul.

asap jalan pekat mengepul.

Manusia, tak hina bergumul.

Secangkir kopi,

tika kata tak bertaji.

Sejak sajak tak beraji, tersurat tiada sirat.

Secangkir kopi;

"Mimpiku pupus dan aus."

Maaf, sedikit saja,

Keping itu tidaklah hina.

Bunda; Sebuah Biji Kini Tumbuh

Sebuah biji, tersemai dengan peluhku.
Pada lubang di setiap nista yang meronta.
Bunda, dimana surga yang kau gagahi? Pula, tak kujumpai Dia.

"Dia, Itu, terselip diantara tanya, terletak pada bakti."

Ibu; Inilah Nasibmu

Itu, saat dimana kau basuh rambutku.
Dengan segenap keikhlasanmu.
Jemari yang halus, begitu lunglai nan kurus.
Itu, saat kau papah aku pada pintu.
Dengan tegar kau getirkan senyummu.
Merah, bibir yang indah, tak ku lupa dan pula jengah.
Itu, saat kau kenakan baju padaku.

Dengan miris kau kembangkan tangis, dengan manis kau tumis habis.
Mendera, mengucur dari balik dapur.
Itu, saat kau ranum seonggok tinja.
Dengan mesra kau timang ia.

Itu, saat ibu menyayangiku dengan segenap pilu dan sendu masa kecilku.

"Bahkan dunia tak terhingga saat menimbangnya."

KErbau Rahwana

Hanya puas, putih dan kanvas.

hanya huruf, ku tulis semoga manis.

tentang Manusia dan birahinya.

malu yang ia bawa.

Bila senja tiba.

pribadi yang hina, berkumpul bersama rahwana muda.

Dengan kuda dan kerbau mereka, berkemeja.

Habiskan waktu dibawah bintang kejora.

Lima,bersinar, redup.

Hadirkan cinta dunia.

Biarlah, dahan-dahan tua memang harus patah.

Tak harus kuluruskan.

Biarlah kering, bagai kota yang makin bising.

Biarlah mati, terbungkus kanvas putih.

Setapak Langkah Kota

Jejak langkah

Pemuda berhasrat.

untuk rakyat, bagi sahabat.

Tentang janji yang terikat.

Di atas pasir, di seberang selat.

Darahnya mengucur karna tersayat.

Jejak langkah.

Pemuda berbudi, iya beriman.

Ia genggam repihan hati.

Di setiap perihnya, di setiap pedihnya.

Pada setiap congkak dan semu dunia.

Jejak langkah.

Pemuda kota.

Terbias, akan asap jalanan.

Terkikis akan semu peradaban.

Bukan ia enggan pulang.

Hanya, setapak langkahnya hilang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun