Mohon tunggu...
enha saja
enha saja Mohon Tunggu... -

BIASA JUGA DISAPA DENGAN USTADZ ENHA, SELAIN SEBAGAI MOTIVATOR KELUARGA BELIAU JUGASEORANG PRAKTISI PENDIDIKAN DALAM BIDANG MOTIVASI DAN SPIRITUAL DENGAN SPESIFIKASI KEAHLIAN PENDAMPINGAN KELUARGA DAN PARENTING

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rehat dan Khidmat

13 Agustus 2015   10:35 Diperbarui: 13 Agustus 2015   11:31 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Inggris, sejauh yang saya tahu, tidak ada anak yang tinggal kelas apalagi sampai tidak lulus. Secara akademik, memang ada score akhir yang menentukan apakah Anak akan memasuki perguruan tinggi terbaik, tapi hak anak naik kelas dan lulus tidak boleh dikebiri. Atas seluruh prestasinya, anak berhak mendapat penghargaan sekecil apapun itu.

Zulian, santri kami yang berusia 14 tahun, sulit sekali menyusun alphabet, ia juga memiliki masalah dalam soal hitungan, secara umum, ia menderita disleksia dan diskalkula, tetapi motorik kasarnya sangat bagus, ia pintar menggiring dan mengontrol dalam permainan sepak bola yang disukainya. Ia juga mahir dalam bercocok tanam, sehingga sebagian taman di Pesantren kami adalah karya dari tangan dinginnya. Tapi apa yang ia dapat dari sekolah sebelum memasuki Istana Yatim? Ia dilabeli anak bodoh yang harus melulu tinggal kelas.

Menyakitkan!

Saya tidak setuju bila Pesantren disebut "tempat buangan", apalagi kerap dijuluki lembaga pendidikan alternatif. Saya menekankan bahwa "kesamaan batin" anatara anak-orang tua-pendamping dan pengasuh benar-benar harus inline; sejajar dalam visi dan believe. Pesantren adalah pendidikan definitif bukan alternatif. Bukan hanya pengetahuan kognitif dan character buildings tetapi penggalian, penemuan dan penyaluran potensi anak.

Dalam seluruh pelayanan itulah kami bekerja. Tanpa funding yang rutin mendanai, apalagi pemerintah yang hingga saat ini belum jua melirikkan matanya menatap kami, hanya sekelompok kecil relawan dari jejaring sosial media yang sebagian tidak kenal satu sama lain. Kami diikat oleh "kesatuan visi" yaitu pelayanan kemanusiaan. Lalu, pada saat yang sama bukan hanya pembangunan mental-spiritual, tapi juga pembangunan fisik pesantren yang belum selesai, masih ada belasan Tukang Bangunan yang terus bekerja, setia dalam pengabdian.

Kapan istirahatnya?

Pada sebuah kerja pelayanan, kata istirahat bukan spektrum waktu dan ruang yang menjadi jeda dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Kata istirahat itu berasal dari kata rehat yang ternyata tercetak dari kata dalam bahasa Arab, "Râhah" lalu mendapat sentuhan logat persia dalam pengucapannya menjadi Râhat lalu diindonesiakan menjadi Rehat lalu disempurnakan menjadi "istirahat".

Sang Nabi berkata kepada Bilal, Arihâ bis-Shalâh artinya Istirahatkan kami dengan shalat. Gerak sholat yang panjang dan lama itu terkadang membuat sebagian orang malas melakukannya. Seorang anak kecil pernah menjawab seruan sholat yang diingatkan ibunya, begini ia menjawab, "Aah, mama, cape aku, sholatkan lama."

Tapi Sang Nabi mengajarkan sholat sebagai pilihan istirahat, bagaimana istirahat dalam keadaan shalat yang butuh konsentrasi tinggi? Bukankah istirahat identik dengan leyeh-leyeh? Apakah itu berarti kita dibolehkan sholat sambil berbaring dan tangan mengipas?

Nilai istirahat itu bukan pada quantity-time tapi pada quality-time, bukan pada seberapa lama engkau berbaring, tapi seberapa bermutu nilai yang kau maknai dari istirahatmu itu. Maka, sang pelayan kemanusiaan harus mengerti aplikasi Reframing, yakni sebuah ikhtiyar memaknai ulang atas setiap peristiwa yang dijalani, termasuk istirahat. Bagi The Corporate Mystic, sepuluh menit meditasi penuh syukur itu sangat bermutu ketimbang satu jam duduk istirahat di foodcourt.

Maka dalam pekerjaanmu ada pelayanan, dalam pelayananmu ada keikhlasan, dalam keikhlasanmu ada martabat yang penuh kemuliaan, dalam martabat kemuliaanmu itulah engkau merasakan sejatinya kebahagiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun