Mohon tunggu...
enha saja
enha saja Mohon Tunggu... -

BIASA JUGA DISAPA DENGAN USTADZ ENHA, SELAIN SEBAGAI MOTIVATOR KELUARGA BELIAU JUGASEORANG PRAKTISI PENDIDIKAN DALAM BIDANG MOTIVASI DAN SPIRITUAL DENGAN SPESIFIKASI KEAHLIAN PENDAMPINGAN KELUARGA DAN PARENTING

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rehat dan Khidmat

13 Agustus 2015   10:35 Diperbarui: 13 Agustus 2015   11:31 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kedua kata ini benar-benar merupakan adopsi langsung dari kata Arab Râhah dan Khidmah. Secara semantik berarti Istirahat dan Pelayanan. Istilah ini murni mengadopsi bahasa Arab dengan logat Persia. Seperti kata Sholat, Zakat, Hebat, Amanat, Khianat, Taat, Mufakat, Adat, Berkat, Khidmat, Kiamat, Derajat, Sekarat, Serikat, Logat, Siasat, Keparat, Nasihat, Rakyat, Masyarakat dan Wafat (masih ada 3000-an kata Arab, dengan berbagai bentuk perubahannya, yang dipakai menjadi kata dalam bahasa Indonesia... Banyak ya?).

Istirahat dan Pelayanan merupakan dua kata yang bagi saya memiliki tuah dalam kehidupan saya. Setidaknya setelah lebih kurang dua belas tahun menjadi Pegawai Negeri Sipil lalu mengajukan resign dan memutuskan menjadi pelayan dalam kehidupan. Saya percaya "pekerjaan" sesungguhnya di atas muka bumi ini adalah "pelayanan".

Pada setiap profesi terdapat panggilan, di setiap panggilan ada pelayanan, di setiap pelayanan ada ketulusan, dan di setiap ketulusan ada martabat hidup. Jadi, siapapun Anda dan apapun Profesi Anda, ada mandat yang tengah Anda emban. Di dalam mandat ada tugas, di dalam tugas ada komitmen dan di dalam komitmen ada perasaan berharga.

Perasaan berharga itulah martabat mulia dalam kehidupan. Maka, salah satu bentuk pelayanan terhebat adalah "idkhâl as-surûr" atau menyenangkan orang lain, membuat diri dan orang lain merasa berharga, bukan memunculkan keminderan, ketakutan apalagi perasaan bodoh dan dimarginalkan.

Lihatlah sebuah kerja pelayanan itu; penuh nilai bukan?

Di sini, di Istana Yatim, di Pesantren Motivasi Indonesia, aku dan teman-teman relawan belajar melayani anak-anak hebat. Mengapa belajar? Karena kami sadar bahwa dalam pelayanan ada fluktuasi rasa, fluktuasi cara yang pasti seiring dengan fluktuasi kasus dan masalah yang bermunculan. Mulai dari sekedar "kenakalan" khas anak hingga schizophrenia bahkan kerangkeng masa lalu yang teramat menekan. Desta (bukan nama sebenarnya) seorang anak berusia 12 tumbuh memprihatinkan sebagai seorang putri yang lahir dari rahim ibu akibat perbuatan bejat ayah yang merangkap sebagai "suami"nya; Desta dan Ibunya ber-Binti sama. Desta juga harus menyaksikan saudara lelakinya lain ibu menghabisi nyawa sang "ayah" dalam tragedi pembunuhan yang memilukan.

Lain halnya dengan Arfa (nama samaran), bocah berusia 13 tahun, tumbuh dalam keluarga miskin yang tinggal di kawasan kumuh prumpung, Jakarta Timur, sejak baru tiba di Istana Yatim gejala tak beres dalam komunikasi diri sudah mulai tampak, hingga pendampingan harian menyita waktu dan pikiran. Saya percaya cinta dan spirit kasih para pendamping akan memuliakan semua anak dampingan di tempat ini.

Bagi saya, semua anak itu unik dan istimewa, kita hanya membutuhkan sedikit pengertian dan pendekatan yang berbeda. Fokusnya bukan pada anak, tapi kita pengasuh dan pendamping mereka. Bukan mereka yang hatus mengerti kita, tapi kita -sebagai sang utusan- yang harus mengerti mereka. Raditya, bocah bertubuh kecil itu sudah berusia 18 tahun dan entah sudah berapa sekolah yang menolaknya karena data terakhir hanya menempatkan ia di kelas dua SD hingga bertahun-tahun tak naik kelas. Di sini, kami mendampinginya dan memandu setiap detail potensi non-akademik yang pasti dimilikinya.

Allah menganugerahkan ragam jenis karakter anak sebagaimana juga memberi karunia ragam potensi pada diri mereka, meski sayang, banyak orang tua, guru, sekolah bahkan lingkungan yang memberi label kepada mereka sebagai "anak bodoh", "anak nakal", "anak kurang ajar".

Ada sebuah adagium usang di dunia pendidikan, "Bila mau mencetak murid berkualitas dan pintar, pastikan sejak membuka pendaftaran murid baru, seleksi yang terbaik, Anda akan meluluskan yang terbaik." Tentu saja...!

Lalu bagaimana dengan sejumlah anak dengan latar belakang seperti yang saya sebutkan di atas? Siapa yang bertanggung jawab? Sekolah mana yang mau menerima? Komitmen pelayanan pendidikan seperti apa yang diberikan, sekalipun ada sekolah yang mau menerimanya? Ukuran akademik seperti apa yang tengah dipertontonkan negeri ini?

Di Inggris, sejauh yang saya tahu, tidak ada anak yang tinggal kelas apalagi sampai tidak lulus. Secara akademik, memang ada score akhir yang menentukan apakah Anak akan memasuki perguruan tinggi terbaik, tapi hak anak naik kelas dan lulus tidak boleh dikebiri. Atas seluruh prestasinya, anak berhak mendapat penghargaan sekecil apapun itu.

Zulian, santri kami yang berusia 14 tahun, sulit sekali menyusun alphabet, ia juga memiliki masalah dalam soal hitungan, secara umum, ia menderita disleksia dan diskalkula, tetapi motorik kasarnya sangat bagus, ia pintar menggiring dan mengontrol dalam permainan sepak bola yang disukainya. Ia juga mahir dalam bercocok tanam, sehingga sebagian taman di Pesantren kami adalah karya dari tangan dinginnya. Tapi apa yang ia dapat dari sekolah sebelum memasuki Istana Yatim? Ia dilabeli anak bodoh yang harus melulu tinggal kelas.

Menyakitkan!

Saya tidak setuju bila Pesantren disebut "tempat buangan", apalagi kerap dijuluki lembaga pendidikan alternatif. Saya menekankan bahwa "kesamaan batin" anatara anak-orang tua-pendamping dan pengasuh benar-benar harus inline; sejajar dalam visi dan believe. Pesantren adalah pendidikan definitif bukan alternatif. Bukan hanya pengetahuan kognitif dan character buildings tetapi penggalian, penemuan dan penyaluran potensi anak.

Dalam seluruh pelayanan itulah kami bekerja. Tanpa funding yang rutin mendanai, apalagi pemerintah yang hingga saat ini belum jua melirikkan matanya menatap kami, hanya sekelompok kecil relawan dari jejaring sosial media yang sebagian tidak kenal satu sama lain. Kami diikat oleh "kesatuan visi" yaitu pelayanan kemanusiaan. Lalu, pada saat yang sama bukan hanya pembangunan mental-spiritual, tapi juga pembangunan fisik pesantren yang belum selesai, masih ada belasan Tukang Bangunan yang terus bekerja, setia dalam pengabdian.

Kapan istirahatnya?

Pada sebuah kerja pelayanan, kata istirahat bukan spektrum waktu dan ruang yang menjadi jeda dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Kata istirahat itu berasal dari kata rehat yang ternyata tercetak dari kata dalam bahasa Arab, "Râhah" lalu mendapat sentuhan logat persia dalam pengucapannya menjadi Râhat lalu diindonesiakan menjadi Rehat lalu disempurnakan menjadi "istirahat".

Sang Nabi berkata kepada Bilal, Arihâ bis-Shalâh artinya Istirahatkan kami dengan shalat. Gerak sholat yang panjang dan lama itu terkadang membuat sebagian orang malas melakukannya. Seorang anak kecil pernah menjawab seruan sholat yang diingatkan ibunya, begini ia menjawab, "Aah, mama, cape aku, sholatkan lama."

Tapi Sang Nabi mengajarkan sholat sebagai pilihan istirahat, bagaimana istirahat dalam keadaan shalat yang butuh konsentrasi tinggi? Bukankah istirahat identik dengan leyeh-leyeh? Apakah itu berarti kita dibolehkan sholat sambil berbaring dan tangan mengipas?

Nilai istirahat itu bukan pada quantity-time tapi pada quality-time, bukan pada seberapa lama engkau berbaring, tapi seberapa bermutu nilai yang kau maknai dari istirahatmu itu. Maka, sang pelayan kemanusiaan harus mengerti aplikasi Reframing, yakni sebuah ikhtiyar memaknai ulang atas setiap peristiwa yang dijalani, termasuk istirahat. Bagi The Corporate Mystic, sepuluh menit meditasi penuh syukur itu sangat bermutu ketimbang satu jam duduk istirahat di foodcourt.

Maka dalam pekerjaanmu ada pelayanan, dalam pelayananmu ada keikhlasan, dalam keikhlasanmu ada martabat yang penuh kemuliaan, dalam martabat kemuliaanmu itulah engkau merasakan sejatinya kebahagiaan.

Pada titik ini, segala sesuatu yang terkait dengan "salary" hanyalah akibat bukan sebab. Ya, gaji, insentif, komisi bukan sebab engkau bisa membeli atau menikmati apapun di dunia ini. Ia adalah "akibat" yang engkau hasilkan dari serangkaian sebab yang telah engkau jalani dalam pelayanan yang penuh ketulusan. Bila gaji ke-13 engkau terima setahun sekali, itu karena engkau bekerja kepada manusia, setidaknya menjadikan "pimpinan" perusahaan yang juga manusia itu sebagai poros-tujuan engkau berkhidmah, tetapi bila porosnya engkau alihkan kepada Tuhan Sang Pengatur Rezeki, maka "pelayanan"mu tadi akan menembus batas-batas kewajaran, engkau tidak lagi setahun sekali mendapat gaji ke-13, tapi ber-gaji setiap hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap waktu saat engkau membutuhkannya.

Maka, pada pekerjaanmu kini, setulus apa engkau melayani?

 

Nurul Huda Haem (enha)
www.istanayatim.net
www.enhamotivator.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun