''Coba lihat, mereka sudah terlihat takut sebelum bertanding,'' kata Ramang seperti ditirukan Harry Tjong, yang meninggalkan PSM tahun 1967.
  Melompati KepalaÂ
 Perjalanan panjang dan berliku dilalui pria ini untuk menjadi seorang pemain bola. Apalagi untuk menjadi pemain sebuah tim seraksasa PSM. Lebih-lebih lagi sebagai pemain tim nasional, PSSI. Perjalanan karier bola pria kelahiran Makassar 24 September 1939 ini benar-benar berliku.
Di jejeran penjaga gawang, Harry Tjong berada di peringkat ke-4 setelah Maulwi Saelan, Achmad, Pandero, kemudian Hendrik dan Sugito. Dia bendiri di bawah mistar gawang pada usia 20 tahun.
Pada masa itu, ada seleksi sekitar 40 orang pemain dengan 10 penjaga gawang. Tjong masih menempati posisi sebagai kiper tamu. Tanpa fasilitas apa-apa. Tidak ada sepatu dan kostum. Tidak dapat apa-apa pula.
Suatu hari, tiba-tiba dia mendapat panggilan ikut berlatih. Pelatih ketika itu adalah E.A.Mangindaan. Pada hari pertama, Tjong terlambat dating, hingga  diusir pulang. Tidak boleh mengikuti sesi latihan hari pertama itu. Padahal, panggilan yang dia terima terlambat tiba. Akhirnya, pemain lain lebih dahulu mengikuti pelatihan.
Pada hari kedua, Tjong muncul. Mangindaan memang selalu on time kalau melatih, Pelatihan itu adalah bagian dari seleksi untuk mencari pemain yang akan memperkuat kesebelasan nasional. Pemusatan latihan dilakukan di Gedung Olahraga Mattoanging.
Harry Tjong mulai main bola sejak sekolah dasar. Pertama dia memasuki MOS di Makassar. Lalu pindah ke Mars dan ke PSAD saat dia hijrah ke Surabaya. Setelah hijrah ke Jakarta, Tjong yang menamatkan pendidikan di Sekolah Guru Olahraga Makassar ini langsung bergabung dengan klub Indonesia Muda Jakarta.
Namun ketika ditemui di kediamannya di Perumahan Duta Indah Jl.Cendana II Blok L 1 No.21 Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, 27 November 2010, Tjong mengakui, ketika berumur 10 tahun sering membantu tentara yang asramanya berdekatan dengan kediamannya di Jl.Singa (di dekat SD sekarang ini). Bahkan dia sering naik truk ke Malino bersama tentara yang melaksanakan operasi. Tidur di jalanan pun sudah pernah dia rasakan. Apalagi, kalau hanya di atas truk tentara. Makanya, tidak heran, Tjong dianggap sebagai jago berantem. Jiwa patriotisme prajurit ikut mengalir di dalam dirinya. Dia senang jika mendengar suara tembakan.
Tatkala awal aktif bermain bola, Tjong tidak mendapat restu dari ibunya. Kalau bermain bola dia selundupkan dulu bajunya ke tempat lain, rumah tetangga. Biasa, dia masih berpakaian sekolah menuju lapangan. Di lapangan baru dia ganti pakaian.
Ibunya kemudian merestui, karena banyak tetangga yang memberikan pujian setelah melihat penampilan Tjong di bawah mistar. Ibunya merestui setelah Tjong bermain baik.