Menurut dia, dukun yang merawatnya berasal dari Kabupaten Gowa. Setiap datang dukun tersebut selalu memberi Ramang akar-akar kayu untuk diminum airnya. Bahkan pertama kali, dukun itu memberi Ramang air putih saja. Sang dukun akan selalu datang ketika kurir Ramang  menjemputnya.
Setelah kunjungan pertama 4 November, pada 13 November 1981, saya bertandang lagi ke kediamannya. Kehadiran penulis yang terakhir ini  hanya untuk mengambil gambarnya saja, setelah kedatangan kami yang pertama Ramang menolak diwawancarai. Ramang sedikit kaget ketika melihat seorang anak muda sembari menyandang tustel masuk ke rumahnya. Saya tetap memperkenalkan diri, khawatir beliau sudah lupa mengingat kunjungan pertama penulis 4 November 1981. Beliau diam beberapa saat sebelum saya membuka pembicaraan.
'Boleh saya memotret Bapak untuk dimuat di suratkabar PR,'' kata saya.
''Untuk apa diambil lagi (maksudnya foto), sudah sering foto saya dimuat,'' katanya berusaha mengelak. Saya pun menjelaskan secara mendetail. Ramang pun mengerti.
''Hanya foto saja kan?,'' tanyanya pendek seperti masih curiga saya akan mewawancarainya. Saya pun mengangguk membenarkannya.
Beberapa menit kemudian, tidak terasa beliau terbawa oleh arus  pembicaraan saya seputar hasil pertandingan sepakbola Galatama. Lalu beralih ke masalah PSM Ujungpandang.
''Apa Bapak sering mengintip penampilan dan permainan anak-anak muda PSM sebelum ke Solo itu?,'' saya bertanya yang luput dari perhatian  Ramang bahwa wawancara sebenarnya mulai berjalan.
''Sering, dua tiga kali, ketika berlatih di Stadion Mattoanging,'' balasnya.
''Apa ada harapan mereka itu bisa menjadi pemain yang bagus,'' usut saya lagi karena melihat Ramang bersedia menjawab pertanyaan..
''Ya, ada. Tetapi tidak begitu muncul dan menonjol. Untuk menjadi pemain yang bagus memerlukan waktu yang panjang,'' kata ayah tujuh anak ini.
''Lalu bagaimana sebaiknya pembinaan pemain PSM pada masa mendatang?,'' usut penulis.