Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ramang dan Kesempatan Emas (40)

13 Mei 2021   22:38 Diperbarui: 13 Mei 2021   22:40 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tanggal 12 November 1981, saya menurunkan tulisan di Harian Pedoman Rakyat, dengan judul, ''Si Macan Bola Sudah Sehat Kembali''. Hingga tulisan itu diturunkan, praktis tiga bulan Ramang hilang dari peredaran. Sekitar`Juli atau Agustus 1981, dua orang penginisiatif mencarikan tempat bagi si pencetak 100 gol yang sedang sakit tersebut di beberapa rumah sakit di Makassar sebagai tempat perawatannya. Agaknya, rumah sakit penuh semua.

Tidak ada pilihan lain, Ramang pun dibawa ke Klinik Budi Darma di Jl.G.Bawakaraeng No.1 (kini di lokasi itu sudah berdiri show room mobil) atas jasa baik H.Sudarno Achmad (alm.). Di situlah dia dirawat secara intensif. Selama 55 hari Ramang mendekam di klinik itu dalam pengawasan dokter ahli paru-paru. Kemudian, ia memang sehat kembali.

Malam itu, hujan gerimis dengan malas menyiram kota Ujungpandang. Saya  dengan rekan Bachtiar M.Amran, alm. (wartawan PR, terakhir wartawan Kompas) mencari kediaman si macan bola ini. Lampu yang temaram, mengharuskan saya dan  teman itu seperti meraba-raba jalan yang becek menuju sebuah rumah setengah batu, tidak jauh dari tepi dari Jl.Andi Mappanyukki. Atau sekitar 150 m dari Kantor Pedoman Rakyat.

Dari luar, tembus ke dalam, tampak seorang lelaki setengah umur duduk di kursi. Di hadapannya tegak segelas susu.

''Memang oher (ayah) selalu tinggal istirahat di rumah akhir-akhir ini, sembari ditemani segelas susu tiap pagi dan sore,'' Anwar, putra Ramang yang pernah memperkuat Tim Junior PSSI ke Manila tahun 1970 menjelaskan.

Pada tahun 1981 itu, saat kami menyambangi kegiatan ayahnya, Anwar menjadi kapten kesebelasan PSM yang dilepas ke Solo. Kami berdua hendak mengorek komentar Ramang tentang kesebelasan PSM yang akan mengikuti Kejuaraan Piala Suratin di Kota Solo itu.

Sebelum meletakkan pantat di kursi, saya dan Bachtiar, menyampaikan selamat atas pulihnya kesehatan Ramang. Sebagai seorang wartawan olahraga, saya merasa gembira atas sehat bugarnya mesin gol asal Makassar itu dari gangguan kesehatannya.

''Gemuk sekali saya lihat,'' sapa Tiar, begitu drop out Fakultas Hukum Unhas ini akrab dipanggil. Saya pun ikut senang melihat wajah Ramang yang berseri-seri. Dia tampak sedikit  gemuk.

''Berat badan saya sekarang naik 15 kg,'' Ramang mengakui.

Pada saat pertama masuk di Klinik Budi Darma, beratnya melorot hingga menjadi 49 kg. Di rumahnya, dia memperoleh bantuan perawatan dari dukun kampung. Salah satu dampak penanganan dukun itu, selera makannya pun naik.

''Dokter-dokter selalu menekankan, setiap orang makan untuk hidup. Jangan harap orang bisa hidup tanpa makan,'' Ramang menyela perbincangan kami.

Menurut dia, dukun yang merawatnya berasal dari Kabupaten Gowa. Setiap datang dukun tersebut selalu memberi Ramang akar-akar kayu untuk diminum airnya. Bahkan pertama kali, dukun itu memberi Ramang air putih saja. Sang dukun akan selalu datang ketika kurir Ramang  menjemputnya.

Setelah kunjungan pertama 4 November, pada 13 November 1981, saya bertandang lagi ke kediamannya. Kehadiran penulis yang terakhir ini  hanya untuk mengambil gambarnya saja, setelah kedatangan kami yang pertama Ramang menolak diwawancarai. Ramang sedikit kaget ketika melihat seorang anak muda sembari menyandang tustel masuk ke rumahnya. Saya tetap memperkenalkan diri, khawatir beliau sudah lupa mengingat kunjungan pertama penulis 4 November 1981. Beliau diam beberapa saat sebelum saya membuka pembicaraan.

'Boleh saya memotret Bapak untuk dimuat di suratkabar PR,'' kata saya.

''Untuk apa diambil lagi (maksudnya foto), sudah sering foto saya dimuat,'' katanya berusaha mengelak. Saya pun menjelaskan secara mendetail. Ramang pun mengerti.

''Hanya foto saja kan?,'' tanyanya pendek seperti masih curiga saya akan mewawancarainya. Saya pun mengangguk membenarkannya.

Beberapa menit kemudian, tidak terasa beliau terbawa oleh arus  pembicaraan saya seputar hasil pertandingan sepakbola Galatama. Lalu beralih ke masalah PSM Ujungpandang.

''Apa Bapak sering mengintip penampilan dan permainan anak-anak muda PSM sebelum ke Solo itu?,'' saya bertanya yang luput dari perhatian  Ramang bahwa wawancara sebenarnya mulai berjalan.

''Sering, dua tiga kali, ketika berlatih di Stadion Mattoanging,'' balasnya.

''Apa ada harapan mereka itu bisa menjadi pemain yang bagus,'' usut saya lagi karena melihat Ramang bersedia menjawab pertanyaan..

''Ya, ada. Tetapi tidak begitu muncul dan menonjol. Untuk menjadi pemain yang bagus memerlukan waktu yang panjang,'' kata ayah tujuh anak ini.

''Lalu bagaimana sebaiknya pembinaan pemain PSM pada masa mendatang?,'' usut penulis.

''PSM sekarang adalah klub penghasil pemain. Tempat mengasuh pemain,'' tukasnya.

Kata Ramang lagi, pemain yang sudah jadi kebanyakan lari ke Galatama dan beberapa klub lainnya di Jawa. Saat sekarang (1981) harus diakui, PSM adalah klub penempa pemain. Pembinaan pemain tidak bisa berdiri sendiri. Menyangkut masalah yang serba kompleks. Semua pihak harus terlibat. Hingga percakapan usai, Ramang tidak merasa bahwa ajakan berbincang-bincang model dialog tukang becak itu sebenarnya bagian dari wawancara. 

Ketika itu, di sela-sela masa istirahat panjangnya, darah bola Ramang sulit dibendung. Kalau tidak sempat ke lapangan atau tidak ada anak-anak yang latihan, dia kerap menyambangi Sekretariat PSM yang ketika itu di Jl.Jenderal Sudirman, di sekitar Kantor POM (dulu), di depan Gubernuran Makassar. Katanya, sekadar jalan-jalan dan bertukar pikiran dengan para Pembina PSM.

Inilah kesempatan emas yang saya peroleh mewawancarai Ramang semasa hidupnya. Ya, setelah upaya mewawancarainya pada tandangan yang pertama gagal. Ketika keinginan saya hendak melakukan wawancara, Ramang berkata pendek.

''Saya sudah tua. Lebih baik para pemain muda yang diwawancarai,'' elaknya.

Agaknya, kata 'tua' itulah yang kini kemudian menjadi ikon untuk menganalogikan seseorang yang pernah berprestasi pada masa lalu sudah menurun kemampuanhya. Hanya agak lucu, saat Ramang sudah sejak 1987 berpulang ke rakhmatullah, masyarakat masih menggunakan analogi itu.

''Toa mi Ramang''. Padahal, dia sudah  meninggal dunia yang fana ini sejak 26 September 1987. *** (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun