Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Bola

Ramang, Tiang Gawang Patah (39)

12 Mei 2021   17:57 Diperbarui: 12 Mei 2021   18:06 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sastrawan Toha Mohtar secara manis menulis mengenai Ramang dalam salah satu karyanya. Sastrawan Indonesia yang meninggal dunia di Jakarta tahun 1992 dalam salah satu bukunya yang kemudian dikutip salah satu buku untuk Kelas VII SMP menulis begini:

''Sehabis latihan, anak-anak duduk bergerombol di pinggir lapangan (1987, pen.). Guntingan koran yang memuat berita kematian Ramang pindah dari tangan ke tangan. Bertus, Jono, Ula, Danggela, Dori, sibuk membicarakan kehebatan Ramang. Dul Peyot, bersandar pada pohon jambu dengan mata setengah tertutup menikmati semilirnya angin senja seperti tak acuh pada hangar-bingar anak-anak di dekatnya. Ceting, sang penjaga gawang yang tak banyak kata, membujur di atas rumput dengan bantal tangan. Mata menerawang ke langit, tetapi kedua kupingnya menampung segala yang menjadi pembicaraan anak-anak yang kini malahan menjadi debat tentang kemahiran Ramang.

Bertus yang suka celoteh berbicara lebih tinggi.

''Om saya di Persebaya bilang, bahwa Ramang pernah menendang bola begitu keras, hingga tiang gawang patah terkena terjangan bola''.

Dul Peyok yang cepat muak, dengar ribut anak-anak bangkit lalu ngeloyor (pergi) menendang bola.

''Kalian otak udang semua, debatkan perkara yang sama-sama tidak dikuasai. Akhirnya, cuma bualan yang keluar. Kau ke mana Dul''.

''Mandi dulu, jika kalian mau tunggu aku di rumah Kek Karta''.

Habis magrib anak-anak mendatangi rumah Kek Karta, dedengkot kampung yang konon di zaman mudanya pernah tinggal di kota besar dan jadi pemain bola yang punya nama. Dul Peyok tidak keliru. Dia tahu banyak tentang Ramang. Cuma Kek Karta dari seluruh kampungnya yang bisa cerita. Dan, anak-anak beruntung petang itu. Asma Kakek tidak sedang bangkit dan encok di kaki kanannya tidak lagi mengganggu. Wajahnya berseri-seri. Tawanya terkekeh-kekeh panjang.

Bertus langsung menyerahkan guntingan koran.

''Sudah baca kematian Ramang, Kek''.

Kakek Karta mengamati potret Ramang dengan matanya yang kecil. Dibawanya ke dekat lampu, mata itu mengedip-ngedip lama seperti dia ingin membangkitkan sesuatu yang telah lama mengendap di dasar ingatannya. Lalu ia manggut-manggut.

''Benar, Tus. Ini Ramang''.

''Apa betul, Ramang belum ada duanya?'' suara beberapa anak hampir bersamaan.

Bertus membaca dengan suaranya yang berat dan dalam. Kakek mendengarkan dengan kepala menunduk. Tampaknya Kakek sangat terharu mendengar kematian Ramang. Kepalanya tidak terangkat lagi, sampai Bertus selesai membaca.

''Apa benar dia juga paling besar`di Asia, Kek''. Sekarang Kakek segera mengangkat wajahnya, tetapi tidak segera menyahut. Matanya menerawang jauh di atas kepala anak-anak.

''Kalau saja kalian bisa saksikan dia di atas lapangan,'' kata Kakek Karta perlahan, ''tanpa bola Ramang seperti tidak ada artinya. Tubuhnya tidak lebih besar dari kau Peyok. Barangkali berat tubuhnya tidak lebih dari 50 kg. Kulitnya hitam, rambutnya selalu digunting pendek. Tetapi begitu ia menguasai bola, oh.. segalanya seperti mendadak menjadi lain sama sekali. Ia bisa lewat  dua tiga orang di depannya tanpa kesulitan. Licin seperti belut dan bola dibawa kakinya seperti hamba yang tunduk dan setia sekali. Tidak ada bola liar lahir dari kakinya. Dia bisa menendang bola dengan bagian mana pun kakinya. Bola serong, bola plintir, bola pisang, yang menyisir tanah, tidak bisa ditebak kapan detiknya ditembakkan begitu penjaga gawang melar mingkuk nyali dan napasnya.

''Benarkah Ramang belum ada duanya di sini, Kek. Koran itu bilang, dia juga paling hebat di Asia."

''Saya mau ceritakan bagian kehidupan Ramang yang saya ketahui, biar kalian bisa mendambakan pilihan sendiri. Kemunculannya dalam tim nasional, hampir-hampir seperti dongeng. Ia datang langsung bertengger di puncak. Ketika PSSI siap menghadapi lawatan  Asia Timur pada permulaan tahun 50-an, Tony Pogacnik merasa barisan belakang masih pincang. Ia minta tambahan pemain belakang.

''Siapa Tony Pogacnik, Kek?''

''Pelatih asal Yugoslavia yang menghabiskan umurnya di negeri ini bersama istrinya. Ia pelatih asing pertama yang paling baik dan pernah kita miliki''. Hari itu juga, PSSI kirim telegram ke Makassar minta kirim pemain belakang. Esok harinya datang seorang menyandang rangsel dari terpal hijau memasuki kantor PSSI.  Usianya belum lewat 22 tahun. Kulit hitam rambut pendek, itulah Ramang.

Tidak satu pun orang di dalam ruangan itu tahu siapa Ramang. Begitu yang datang diketahui bukan  pemain belakang yang diminta, hampir-hampir Ramang dikirim pulang kembali hari itu juga. Akan tetapi, Tony Pogacnik punya mata lain. Diam-diam dia mengamati gerak-gerik anak muda berkulit hitam itu. Kecekatan gerak tubuhnya, ketenangannya, tidak berubahnya rona muka oleh penolakan orang atas dirinya, sampai ke bentuk kakinya, dia sudah ingin menyaksikan anak muda itu bergerak dengan bola di lapangan.

''Anak ini mesti dicoba,'' pikirnya.

Petang harinya Ramang dicoba main dalam tim di lapangan Ikada, Gambir. Di seberangnya berdiri di bawah mistar kiper berkulit putih Van der Win, yang kelak menjadi kiper terbaik Asia. Sejak mulai latihan, mata Tony tidak lepas dari anak muda  asal Sulawesi yang tidak punya pengalaman itu. Ia amati bagaimana larinya tanpa bola, dengan bola, bagaimana menghentikan bola, bagaimana mengumpan, dan bagaimana menembakkan bola. Gerak tubuhnya tidak bisa ditebak. Larinya bukan kepalang cepatnya. Dalam 10 menit berlatih, Ramang sudah buat kejutan. Tendangan plintirnya mengecoh kiper yang tinggi semampai yang tidak gampang dikelabui. Tetapi anak yang masih hijau itu telah memperdayainya dengan sempurna.

Tony Pogacnik menarik napas dalam-dalam, ada getar di dalam dadanya. Seperti juga seorang pendulang emas yang tiba-tiba mendapatkan sebongkah logam langka itu di tangan. Begitulah kira-kira perasaan pelatih yang punya mata begitu tajam. Detik itu juga, tanpa ragu-ragu ia menetapkan Ramang sebagai pemain inti yang bakal dibawa serta dalam lawatan.''  (Bersambung).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun