''Benar, Tus. Ini Ramang''.
''Apa betul, Ramang belum ada duanya?'' suara beberapa anak hampir bersamaan.
Bertus membaca dengan suaranya yang berat dan dalam. Kakek mendengarkan dengan kepala menunduk. Tampaknya Kakek sangat terharu mendengar kematian Ramang. Kepalanya tidak terangkat lagi, sampai Bertus selesai membaca.
''Apa benar dia juga paling besar`di Asia, Kek''. Sekarang Kakek segera mengangkat wajahnya, tetapi tidak segera menyahut. Matanya menerawang jauh di atas kepala anak-anak.
''Kalau saja kalian bisa saksikan dia di atas lapangan,'' kata Kakek Karta perlahan, ''tanpa bola Ramang seperti tidak ada artinya. Tubuhnya tidak lebih besar dari kau Peyok. Barangkali berat tubuhnya tidak lebih dari 50 kg. Kulitnya hitam, rambutnya selalu digunting pendek. Tetapi begitu ia menguasai bola, oh.. segalanya seperti mendadak menjadi lain sama sekali. Ia bisa lewat  dua tiga orang di depannya tanpa kesulitan. Licin seperti belut dan bola dibawa kakinya seperti hamba yang tunduk dan setia sekali. Tidak ada bola liar lahir dari kakinya. Dia bisa menendang bola dengan bagian mana pun kakinya. Bola serong, bola plintir, bola pisang, yang menyisir tanah, tidak bisa ditebak kapan detiknya ditembakkan begitu penjaga gawang melar mingkuk nyali dan napasnya.
''Benarkah Ramang belum ada duanya di sini, Kek. Koran itu bilang, dia juga paling hebat di Asia."
''Saya mau ceritakan bagian kehidupan Ramang yang saya ketahui, biar kalian bisa mendambakan pilihan sendiri. Kemunculannya dalam tim nasional, hampir-hampir seperti dongeng. Ia datang langsung bertengger di puncak. Ketika PSSI siap menghadapi lawatan  Asia Timur pada permulaan tahun 50-an, Tony Pogacnik merasa barisan belakang masih pincang. Ia minta tambahan pemain belakang.
''Siapa Tony Pogacnik, Kek?''
''Pelatih asal Yugoslavia yang menghabiskan umurnya di negeri ini bersama istrinya. Ia pelatih asing pertama yang paling baik dan pernah kita miliki''. Hari itu juga, PSSI kirim telegram ke Makassar minta kirim pemain belakang. Esok harinya datang seorang menyandang rangsel dari terpal hijau memasuki kantor PSSI. Â Usianya belum lewat 22 tahun. Kulit hitam rambut pendek, itulah Ramang.
Tidak satu pun orang di dalam ruangan itu tahu siapa Ramang. Begitu yang datang diketahui bukan  pemain belakang yang diminta, hampir-hampir Ramang dikirim pulang kembali hari itu juga. Akan tetapi, Tony Pogacnik punya mata lain. Diam-diam dia mengamati gerak-gerik anak muda berkulit hitam itu. Kecekatan gerak tubuhnya, ketenangannya, tidak berubahnya rona muka oleh penolakan orang atas dirinya, sampai ke bentuk kakinya, dia sudah ingin menyaksikan anak muda itu bergerak dengan bola di lapangan.
''Anak ini mesti dicoba,'' pikirnya.