Petang harinya Ramang dicoba main dalam tim di lapangan Ikada, Gambir. Di seberangnya berdiri di bawah mistar kiper berkulit putih Van der Win, yang kelak menjadi kiper terbaik Asia. Sejak mulai latihan, mata Tony tidak lepas dari anak muda  asal Sulawesi yang tidak punya pengalaman itu. Ia amati bagaimana larinya tanpa bola, dengan bola, bagaimana menghentikan bola, bagaimana mengumpan, dan bagaimana menembakkan bola. Gerak tubuhnya tidak bisa ditebak. Larinya bukan kepalang cepatnya. Dalam 10 menit berlatih, Ramang sudah buat kejutan. Tendangan plintirnya mengecoh kiper yang tinggi semampai yang tidak gampang dikelabui. Tetapi anak yang masih hijau itu telah memperdayainya dengan sempurna.
Tony Pogacnik menarik napas dalam-dalam, ada getar di dalam dadanya. Seperti juga seorang pendulang emas yang tiba-tiba mendapatkan sebongkah logam langka itu di tangan. Begitulah kira-kira perasaan pelatih yang punya mata begitu tajam. Detik itu juga, tanpa ragu-ragu ia menetapkan Ramang sebagai pemain inti yang bakal dibawa serta dalam lawatan.'' Â (Bersambung).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H