Suatu hari saya sedang menunggu antrian untuk konsultasi dokter.  Ada seorang ibu bersama anaknya.  Ibu ini masih tergolong muda, usia sekitar  25 tahun.  Anak disampingnya juga bermain dengan ceria dan lincah, usianya sekitar 2 l/2 tahun.
Percakapan ringan pun terjadi. Â Saya memulai pembicaraan, "Wah anaknya sudah gede" . Dijawab oleh ibunya dengannmuka agar sedikit muram : " Ya, sebentar lagi dalam usia yang kecil sudah harus berkompetisi untuk bisa masuk sekolah playgrup ternama. Â Padahal saya sudah "booking" Â dan masuk dalam antrian sejak anak ini berusia 2 tahun.
Agak terperanjat mendengar cerita ibu.  Dulu saya menyekolahkan anak tidak pernah berpikir untuk booking tempat jauh-jauh hari (2 tahun)  sebelum anak ini sekolah.  Masa tunggu kelompok kerja itu sampai beberapa tahun.  Bahkan ada yang mendaftar sejak ibunya hamil tujuh bulan.  Makin cepat mendaftar berarti kemungkinan mendapat slot lebih besar.  Nach dengan mendaftar artinya harus  bayar dulu uang pendaftaran Rp.750.000 dan mendapat antrean cukup lumayan, nomor 13.
APa yang terjadi? Kenapa harus jauh hari?  Pertanyaan yang menggebu dalam kalbu itu akhirnya dapat terjawab  dengan penjelasan dari ibu.
"Bu, saya sudah mengamati  sekolah untuk anak  saya  sejak saya mengikuti atau jadi follower selebrittas A.   Si A ini tiap hari memposting kegiatan anaknya yang sekolah di situ.  Wah hebat loh , anak itu diajarkan berbagai kegiatan kreativitas sejak dini.  Bahkan sudah bisa menulis dan menggambar yang biasanya baru bisa di;akukan anak kelas 1 SD.
Tetapi untuk bisa masuk sekolah itu ngga mudah loh! Â Persyaratan anak harus ditest dulu dengan observasi test kepribadian. Saat test observasi, anak itu dicek apakah dia menangis atau tidak ketika ibunya diminta meninggalkan ruangan . Â Jika ternyata anak itu menangis, artinya anak itu dianggap gagal untuk diterima. Â Setelah lulus pun, uang masuk dan uang SPP harus segera dilunasi., Rp.4 juta. Â Uang ini untuk SPP, biaya les robotic, mengaji setiap bulan. Â Jika tidak dilunasi, akan dianggap gagal dan antrian selanjutnya yang masuk."
Akhirnya saya mendapatkan kesimpulan bahwa pilihan sekolah seorang anak itu ditentukan oleh ambisi ibunya.  Ibunya punya persepsi bahwa anak selebrity yang pasti berhasil masa depannya karena  sekolah yang hebat.  Sekolah hebat akan membuat anak jadi hebat. Â
Masa depan anak ditentukan oleh sekolah?
Menjamurnya sekolah-sekolah playgroup swasta dengan pembayaran yang belasan juta dengan antrian panjang menjadi suatu fenomena yang lekat di ibu-ibu masa kini.
APalagi dengan ibu-ibu yang dekat dengan media sosial selebritas, menonton kegiatan sehari-hari . Aktivitas ibu dan anak di sekolah yang super mewah. Â Tontonan yang sebenarnya harus dicerna dengan baik apakah benar sekolah mahal itu merangkul anak untuk bisa mendapatkan masa depan yang baik karena makin tinggi kompetisinya.
Ada suatu contoh adegan yang membuat kita berpikir lebih lanjut, pantaskan anak kita harus masuk sekolah mahal?
Suatu ketika ibu guru bertanya kepada salah seorang murid yang sedang asyik menggambar.  "Hei, Arya (nama anak, nama samaran), mengapa kamu mewarnai langit itu merah  bukan biru?"
Anak yang menjawab dengan polosnya, Â langitnya merah karena ada pelangi . Â Â Ibu guru langsung membalas jawaban Arya: "Kamu tidak boleh memberi warna langit merah, langit itu selalu biru. Â Tidak ada langit merah!"
Itulah jawaban guru yang konservatif dan melihat jawaban hanya mandatory dan dari satu sisi saja . Jika guru dulu diajar bahwa langit itu biru, maka murid pun harus mengikut apa yang diajarkan kepada guru tanpa alasan apa pun.  Logic thinking terbatas dengan pengalaman , apa yang diketahuinya dan tidak melihat wawasan yang lebih luas.
Pertimbangan-pertimbangan sebelum memutuskan
Jika penilaian sekolah sebagai alat kesukesan anak di masa depan, hal itu perlu dipertimbangkan faktor-faktor lain yang cukup besar untuk bisa  mengubahnya.
1.Pengembangan karakter
Usia dini adalah tempat untuk menanamkan nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, kebangsaan, kesopanan, disiplin. Â Â Sekolah yang mengajarkan nilai-nilai ini justru lebih penting ketimbang mengejar Pelajaran seperti robotic, ekstra kurikuler yang terlalu padat.
2.Kurikulum nasional
Adanya orangtua yang berangkapan agar anak berakhlak baik, harus menyekolahkan di sekolah bersifat agamis.  Namun, pada kenyataannya  penerapan sangat bertentangan. Guru menerima  gratifikasi saat menerima rapor.
3.Rencanakan pendidikan tiap jenjang
Perencanaan untuk memetakan kebutuhan pembiayaan , di luar uang SPP tiap jenjang, dan kapan harus disiapkannya.
Contohnya untuk jenjang SD, masuk usia 6 tahun, harus disiapkan saat anak usia 5 tahun, berapa biayanya.
Lanjut SMP, perlu disiapkan dananya saat anak di kelas 6 SD, berapa biayanya dan apakah ada biaya tambahan les.
Lanjut SMA, harus disiapkan sejak anak kelas VIII, Â biaya untuk masuk SMA, apakah sekolah unggulan atau sekolah yang punya kemampuan mendidik anak belajar mandiri dan tanggung jawab
Lanjut perguruan tinggi, Â diingatkan kembali bahwa mendaftar di perguruan tinggi bukan sekedar mengejar gelar tetapi mendapatkan bekal ilmu untuk diterapkan dalam dunia kerja. Â Kejar terus belajar sampai setinggi-tingginya, tapi juga bukan untuk pamer banyak title atau gelar.
4. Kebutuhan anak jadi  prioritas utama
Seperti dijelaskan di atas, jangan sampai ada orangtua mendaftarkan anak ke sekolah yang dianggap "unggulan" atau "favorit" Â demi untuk bisa capai kesuksesan anak. Â Tak perlu mengikuti tren atau kadang-kadang ada orangtua yang sangat takut dengan ketinggalan atau FOMO (Fear of missing of). Beranggapan bahwa nanti anak jika tidak mendapatkan sekolah unggulan, bisa tidak sukses atau kurang sukses karena kesuksesan hanya diukur dengan sekolah favorit saja.
Kesukesan anak terletak bagaimana anak bisa mengembangkan kreativitas, daya kognitif yang berkembang, dan mampu mengedepankan solusi dari masalah dalam kehidupan.
5.Masa depan anak di tangan anak bukan orangtua
Satu hal yang perlu dicamkan oleh orangtua, tidak perlu ikut menyasar sekolah favorit demi masa depan anak. Â Â Masa depan anak ada di tangan anak itu sendiri . Ketika dia mampu mendapatkan pendidikan yang mendorong dia untuk bersikap dan menilai diri sebagai orang yang bertanggung jawab atas masa depannya, dia akan maju tanpa harus didorong dengan label sekolah favorit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H