Sampah organik yang berada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menyumbang 20 % emisi methane, 80 kali terkuat seperti CO2 , seluruhnya berasal dari TPA .
Kontribusi sampah terhadap perubahan iklim sebesar 70% dari Emisi gas rumah kaca secara global disertai dengan semua produk yang melalui proses "life cycle" (mulai dari perilisan hingga penarikan kembali).
Inilah saatnya bagi kita semua untuk menjaga lingkungan dari limbah domestik seperti sampah rumah tangga.
Pentingnya Pengomposan untuk pengurangan iklim
Setiap kali bicara sampah, saya selalu teringat dengan peristiwa TPA Leuwigajah di CImahi pada tahun 2005. Timbunan sampah sepanjang 200 meter dan tinggi 60 meter. Ketika hujan turun deras, ditambah akumulasi gas metan, membuat sampah meledak dan longsor bagaikan tsunami menerjang manusia dan rumah pemulung , akibatnya 150 orang meninggal dunia.
Tragedi itu memberikan hikmah bahwa kita harus menjaga bumi dan mengelola sampah menjadi zero waste.
Cukup berat untuk memulainya karena kita adalah negara penghasil sampah makanan atau food waste nomor dua setelah Arab. Jumlah luar biasa besarnya, 13 juta ton pertahun atau setara 5000 kali berat monas.
Namun, kita tidak boleh lengah, menunggu sampai daratan kita  penuh dengan lautan sampah. YPBB mengadakan gerakan "Zero Waste Cities" . Beberapa kota seperti Bandung, Cimahi telah bergerak untuk memperkenalkan dan mengimplementasikan "Zero Waste Cities ".
Agar jumlah sampah organik di TPA itu berkurang,, kebijakan pengelolaan sampah daur ulang, pengomposan harus digalakkan untuk mengurangi total emisi .
Belajar Zero Waste Cities dari YPBB
Saya telah mengikuti webinar "Zero Waste Cities yang diselenggarakan oleh YPBB. YPBB sebuah organisasi non profit , non- pemerintah yang mempromosikan untuk membantu warga hidup selaras dengan alam.. Kampanye utama "Zero Waste Cities".