Siapa menyangka Citigroup,  sebuah Perusahaan perbankan yang berada di ranking nomer 3 terbesar di Amerika Serikat , posisinya  dideretan papan atas seperti JP Morgan Chase, Bank of America, Wells Fargo.
Namun, pada tahun 2023,  Bank yang dipercaya sebagai bank yang tak mudah untuk gagal dalam bisnisnya,  turun atau merosot rankingnya menjadi nomer 36 menurut  Fortune 500.
Sekilas pada tahun 1998, sejarah mencatat  setelah merger antara Citibank dan Travelers dengan induknya Citicorp menjadi perusahaan multinasional yang bergerak di bidang investasi dan jasa perbankan ,
Dengan kepemimpinan CEO John S. Reed yang sangat terkenal memperkenalkan Citi 24-hour ATMs. Â Itulah yang menjadi cikal bakal di Indonesia dikenal dengan slogan "Citi Never Sleeps". Â Slogan yang menarik, orang membayangkan bagaimana perbankan melayani 24 jam, siapa yang akan melayani, ternyata ATM yang melayani.
Pada tahun 1998 Citicorp merger dengan Travelers, dengan brand baru yang bernama "Citi" dengan logo yang menarik payung merah di atas nama Citi. Â Bisnis asuransi yang hanya bersifat tahunan itu tidak menguntungkan sehingga dijual kembali .
Setelah melalui beberapa fase yang sulit seperti jatuhnya krisis keuangan "Subprime " pada tahun 2007, Â yang membuat keuangan makin ketat untuk bisnis "mortgage" di Amerika Serikat.
Restrukturisasi beberapa kali terjadi untuk mengurangi semua biaya yang tidak dibutuhkan. Bahkan hampir 100,000  karyawan dihentikan , saham yang cukup hancur mencapai USD$1  di bursa New York Stock Exchange.
Akhirnya di awal tahun 2009 Citigroup mengadakan reorganisasi kembali dengan membagii dua unit operasional yaitu bisnis untuk retail dan bisnis untuk perusahaan.
Inilah cikal bakal kebijakan yang diterapkan di Indonesia..Â
Perjalanan pengalaman  bekerja bersama Citi
Ketika saya pertama kali menginjak dan memasuki kantor Citibank yang saat itu masih di Gedung Oil Centre Building, di Jalan MH. Thamrin , letaknya yang sangat strategis dan sebagai pusat bisnis.
Bekerja di Perusahaan multi nasional dengan system kerja, remunerasi dan system karir yang sangat jelas sekali, membuat diri saya yang baru pertama kali kerja di perusahaan multi nasional  harus beradaptasi dengan cepat.
Budaya kerjanya di tahun sekitar 1980 sangat terbuka sekali.  Untuk  memanggil atasan tidak perlu panggil dengan Bapak atau Ibu, cukup panggil namanya. Â
Bekerja dengan ritme waktu yang sangat jelas , jika harus overtime itu karena keperluan emergency dari pekerjaan yang harus cepat diselesaikan.
Performance review tiap tahun jelas kriterianya, apa pencapaiannya dan bagaimana rating dari beberapa supervisor dan teman kerja , jadi selalu ada penilaian yang seimbang, bukan hanya subjektif satu orang yang menentukan saja.
Memberikan kesempatan kepada mereka yang punya talenta dan IQ yang tinggi untuk belajar dan bekerja untuk mencapai jenjang karir manajemen .
Namun, dibalik tutorial, training yang tiap tahun diberikan oleh Perusahaan, ada tuntutan dari Perusahaan untuk bisa implementasikan kepada pekerjaan. Jika kontribusi kita tidak banyak untuk Perusahaan, kita harus menyiapkan diri untuk bisa kena PHK atau pensiun dini. Â Di tahun terakhir sebelum saya pensiun, gelombang untuk persaingan antar orang yang direkrut baru dengan orang lama harus saling berkompetisi tinggi. Siapa tidak punya daya kompetensi, dia harus kalah untuk berhenti kerja.
Melejitnya nama "Citibank" sebagai training Centre , membuat  manajemen  bank lain melirik untuk dapat "hijack" pegawai yang sudah mendapat pelatihan yang baik dari Citibank.  Mereka ingin ilmu dari orang yang dihijack diterapkan di bank lain.
Perubahan di tahun 2023
Saya tak bisa mengikuti perkembangan bisnis Citi sejak saya sudah pensiun. Â Saya berpikir model bisnis Citi yang sering dijadikan role model sekarang ini sudah sering ketinggalan .Â
Citi sudah menerapkan digitalisasi saat saya masih bekerja, namun, belum sepenuhnya diimplementasikan. Â Mobile banking dan kartu kredit menjadi produk yang pernah melejit di tahun pertama Citi mengenalkannya. Â
Sayangnya, Â pesaing bank-bank lokal jauh lebih agresif mengambil ceruk bisnis retail yang mudah dikembangkan.Â
Kepercayaan dan mahalnya fee dari Citi menjadi salah satu faktor untuk mundurnya bisnis kartu kredit .
Saya tak mengikuti bisnis retail lagi karena saya berada di bagian korporasi.Â
Namun,  saya menbaca secara mendadak bahwa Citigroup telah melepaskan saham di Indonesia khususnya untuk retail bisnis kepada UOB Grop.  Akuisisi ini sangat berjalan cepat dan lancar sekali. Bahkan Batara Sianturi, CEO Citi Indonesia menyatakan alasan Citi Indonesia menjual  bisnis konsumernya karena pangsa pasar yang kecil bagi pemain asing.  "Terlalu kecil market share, jadi susah align", katanya.
Jadi jangan kaget jika bank-bank asing bukan hanya Citi, tetapi juga Commonwealth  menjual bisnisnya  (akuisisi) yang ada di Indonesia karena kerugian dari operation cost yang besar dibandingkan cost income yang mereka dapatkan.Bank asing kalah berasing dengan bank lokal.  Bagi bank global, bisnis consumer biasanya besar di home country.
Saya menutup tulisan ini,  slogan yang saya ingat selalu yaitu "Citi never Sleeps" itu tinggal kenangan saja, sekarang  Citi hanya dalam skala yang sangat kecil.  Paradigma "Too big to fail" harus diperingatkan setiap waktu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI